Para Ustadz Perusak Harga Pasar
Sudah tidak asing bagi kita, diantara sekian banyak ustadz-ustadz yang memiliki niat yang besar untuk memperbaiki umat ini, diantaranya tidak sedikit juga yang mencari peruntungan disana. Dilihat dari kaca mata pelaku bisnis, status ustadz memang cukup layak dijadikan komuditas usaha. Banyaknya permintaan dari mesjid dan musholla hampir-hampir tidak dapat terpenuhi. Tak ayal lagi untuk mencarter seorang ustadz terkenal di masyarakat harus jauh-jauh hari sebelum hari H nya.
Hal ini pulalah yang menyebabkan bermunculan badan-badan atau organisasi-organisasi yang mengumpulkan para ustdz dalam sebuah wadah formal. Dengan adanya wadah ini para pengurus musholla atau mesjid tidak direpotkan lagi untuk mencari ustadz-ustadz untuk mengisi wirid mingguan atau bulanannya. Pengurus mesjid tidak perlu susah payah lagi mencari khatib tiap jum’atnya. Panitia romadhon musholla atau mesjid tidak kasak kusuk menghubungi ustadz untuk mengisi santapan rohani romadhon tiap malam di bulan romadhon.
Wadah-wadah seperti ini patut diacungkan jempol ditengah-tengah kehidupan umat islam yang cenderung hedonis ini. Dimana umat islam sudah semakin jauh dari nilai-nilai agama, umat islam tidak punya waktu untuk menggali islam karena disibukkan oleh aktifitas dunia, semuanya sibuk mencari kesenangan dan kenikmatan hidup didunia.
Namun saat ini ada pergesaran nilai diantara ustadz-ustadz, unsur bisnisnya terkadang lebih dominan dari pada unsur agamanya. Penyakit umat pun telah menular ke beberapa ustadz. Pernah seorang ustdz berucap didepan pengajian wirid ibu-ibu bahwa ia tidak akan datang jika di undang ceramah tapi tidak diberikan amplop. Beberapa kali saya mengikuti ceramahnya, ustadz ini cukup terkenal ditengah masyarakat, dan ceramahnya cukup menarik.
Ada lagi ustadz terkenal lainnya, diundang untuk ceramah ba’da ashar, pada pembukaan ceramahnya ia sudah mengatakan bahwa ia saat itu harus mengisi ceramah didua tempat, jika ditotalkan waktu ceramahnya, mulai pembukaan sampai salam tidak sampai 20 menit, ia kemudian minta maaf untuk menyudahi ceramahnya. Dengan rasa kesal seorang utusan dari jemaah menemani ustadz keluar dari mesjid dan memberikan “salam tempel” kepada ustadz tersebut. semakin kesal tatkala melihat muka tidak bersalah ustadz tersebut ketika menerima amplot tersebut.
Dua contoh diatas merupakan potret dari sebagian ustadz saat ini. Kita tidak bisa lantas menyalahkan para ustadz ketika ia mulai berprinsip ekonomi. Juga tidak bisa menyalahkan wadah-wadah penyalur ustadz. Menurut salah satu ustadz yang tergabung dalam salah satu wadah penyalur ustadz, saat ini tidak bisa terlalu ketat menyeleksi ustadz untuk bergabung, karena peminatnya pun sedikit, sementara permintaan kebutuhan ustadz di masyarakat cukup banyak.
Hal ini memang cukup terasa ditengah masyarakat, kalau diperhatikan tiap jum’at, sekitar 1 dari 5 ustadz saja yang memiliki kompetensi sebagai ustadz, baik dilihat dari segi kedalaman materi atau sifat dan sikapnya. Bahkan beberapa kali ditemui ustadz yang tidak mencukupi rukun khutbahnya ketika menjadi khatib yang sepertinya karena kedangkalan ilmunya.
Dari beberapa hal yang telah dipaparkan diatas, ada yang lebih menyedihkan lagi yang terjadi dikalangan para ustadz. Yakni adanya perasaan bersaing atau disaingi oleh ustadz dan para pendakwah agama yang murni ingin menegakkan islam. Para ustadz atau pendakwah agama ini tidak meminta upah dari seruannya bahkan menolaknya. Bahkan lagi sampai-sampai kalau perlu hartanya juga ikut berkurang dalam rangka menyampaikan seruan agama. Seseorang telah meyampaikan bahwa ia pernah mendengar percakapan tersebut dari ustadz-ustadz di salah satu sekretariat wadah penyalur ustadz. Ustadz-ustdz ini merasa kehadiran para ustadz tanpa bayaran ini sebagai perusak harga pasar dan menjadi saingan berat di pasaran jika semakin banyaknya para ustadz gratisan ini. Ironis.. sungguh ironis.
Memang tidak dipungkiri sudah mulai banyak para penda’wah agama yang murni berkorban diri dan hartanya. Bahkan beberapa ustadz yang pada mulanya masih mengambil upah terhadap ceramahnya, kini dengan hidayah dan penuh kesadaran ia mulai tidak mengambil upah dari seruannya. Sebenarnya ustadz-ustadz ini bukannya tidak berkeinginan mendapat imbalan dari apa yang ia serukan, namun ia lebih memilih imbalan itu disimpan di kehidupan yang abadi nanti dari Tuhannya.
Sebagai penutup saya kutip ceramah seorang kiyai di tanah jawa :
Dahulu, ketika seorang ustadz pulang dari memberi seruan agama, maka istrinya menyambutnya dengan pertanyaan :
“wes muleh mas, entok piro ? ( udah pulang bang, dapat berapa ?)
Kemudian setelah suaminya menjadikan dirinya da’i agama ini, maka istrinya menyambutnya dengan pertanyaan :
“wes muleh mas, entek piro ? ( udah pulang mas, habis berapa ? )
Baca juga yang ini : Dakwah Koq Dibayar
== icun bin abdullah ==
0 komentar:
Posting Komentar
WHAT IS YOUR OPINION?