Setiap kali nama Thalhah disebut, nama Zubair juga disebut. Dan setiap kali disebut nama Zubair, nama Thalhah pun pasti disebut.
Sewaktu
Rasulullah SAW mempersaudarakan para sahabatnya di Makkah sebelum
hijrah, beliau mempersaudarakan Thalhah dengan Zubair. Sudah sejak lama
Nabi SAW bersabda tentang keduanya secara bersamaan, seperti sabda
beliau, “Thalhah dan Zubair adalah tetanggaku di surga.”
Keduanya masih kerabat Rasulullah. Thalhah masih keturunan kakek buyut Rasulullah yang bernama Murrah bin Ka’ab, sedangkan Zubair masih keturunan kakek buyut Rasulullah yang bernama Qusai bin Kilab. Shafiyah, ibu Zaubair, juga bibi Rasulullah.
Thalhah dan Zubair mempunyai banyak kesamaan dalam menjalani roda kehidupan. Masa remaja, kekayaan, kedermawanan, keteguhan dalam beragama dan keberanian mereka hampir sama. Keduanya termasuk orang-orang yang masuk Islam di masa-masa awal, dan termasuk sepuluh orang yang dikabarkan oleh Rasul masuk surga, termasuk enam orang yang diamanahi Khalifah Umar untuk memilih khalifah pengganti. Bahkan, hingga saat kematian keduanya sama persis.
Seperti yang telah kita sebutkan, Zubair termasuk orang-orang yang masuk Islam di masa-masa awal, karena ia termasuk tujuh orang pertama yang masuk Islam, dan sebagai perintis perjuangan di rumah Arqam. Usianya waktu itu baru 15 tahun. Ia telah diebri petunjuk, cahaya, dan kebaikan saat remaja.
Ia ahli menunggang kuda dan memiliki keberanian, sejak kecil. Bahkan, ahli sejarah menyebutkan bahwa pedang pertama yang dihunuskan untuk membela Islam adalah pedang Zubair bin Awwam.
Di masa-masa awal, saat jumlah kaum muslimin masih sedikit dan masih bermarkas di rumah Arqam, terdengar berita bahwa Rasulullah terbunuh. Zubair langsung menghunus pedang lalu berkeliling kota Makkah laksana tiupan angin kencang, padahal usianya masih muda belia.
Yang pertama kali dilakukannya adalah mengecek kebenaran berita tersebut. Seandainya berita itu benar, ia bertekad menggunakan pedangnya untuk memenggal semua kepala orang-orang kafir Quraisy atau ia sendiri yang gugur.
Di satu tempat, di bagian kota Makkah yang agak tinggi, ia bertemu Rasulullah. Rasulullah menanyakan maksudnya. Ia menceritakan berita yang ia dengar dan menceritakan tekadnya. Maka, beliau berdoa agar Zubair selalu diberi kebaikan dan pedangnya selalu diberi kemenangan.
Sekalipun Zubair seorang bangsawan terpandang, namun ia juga merasakan penyiksaan Quraisy. Orang yang disuruh menyiksanya adalah pamannya sendiri. Ia pernah diikat dan dibungkus tikar lalu diasapi hingga kesulitan bernapas. Di saat itulah sang paman berkata, “Larilah dari Tuhan Muhammad, akan kubebaskan kamu dari siksa ini.”
Meskipun masih muda belia, Zubair menjawab dengan tegas, “Tidak! Demi Allah, aku tidak akan kembali kepada kekafiran untuk selama-lamanya.”
Zubair ikut dalam perjalanan hijrah ke Habasyah dua kali. Kemudian ia kembali, untuk mengikuti semua peperangan bersama Rasulullah, hingga tidak satu pun peperangan yang tidak ia ikuti.
Banyaknya bekas luka pedang dan tombak di tubuhnya adalah bukti keberanian dan kepahlawanannya.
Marilah kita dengarkan cerita seorang rekannya yang melihat bekas luka yang hampir memenuhi sekujur tubuhnya.
“Aku pernah bersama Zubair bin Awwam dalam satu perjalanan dan aku melihat tubuhnya. Ada banyak bekas sabetan pedang. Di dadanya ada beberapa lubang bekas tusukan tombak dan anak panah. Aku berkata kepadanya, ‘Demi Allah, yang kulihat ditubuhmu belum pernah kulihat di tubuh orang lain.’ Ia menjawab, “Demi Allah, semua luka-luka ini kudapat bersama Rasulullah dalam peperangan membela agama Allah.”
Seusai Perang Uhud, dan pasukan Quraisy sedang dalam perjalanan pulang ke Makkah, Zubair dan Abu Bakar diperintahkan Rasulullah memimpin kaum muslimin mengejar mereka agar mereka menganggap kaum muslimin masih mempunyai kekuatan, sehingga mereka tidak berpikir untuk menyerbu Madinah.
Abu Bakar dan Zubair membawa 70 tentara muslim. Sekalipun Abu Bakar dan Zubair sebenarnya sedang mengikuti satu pasukan yang menang perang dan berjumlah jauh lebih besar, namun kecerdikan dan siasat yang dipergunakan keduanya berhasil mengecoh mereka. Mereka menyangka bahwa pasukan yang dipimpin Abu Bakar dan Zubair adalah pasukan perintis dan di belakang pasukan ini masih ada pasukan yang jauh lebih besar. Tentu saja ini membuat mereka takut. Mereka pun mempercepat langkah menuju Makkah.
Di perang Yarmuk, Zubair memerankan satu pasukan tersendiri. Ketika banyak prajuritnya yang lari ketakutan melihat jumlah pasukan Romawi yang begitu banyak, ia berteriak, “Allaahu Akbar”, lalu menyerbu pasukan Romawi sendirian dengan pedangnya.
Ia sangat rindu untuk syahid. Ia berkata, “Thalhah bin Ubaidillah memberi nama anak-anaknya dengan nama nabi-nabi padahal tidak ada nabi setelah Muhammad SAW. Karena itu, aku memberi nama anak-anakku dengan nama para syuhada dengan harapan mereka syahid.”
Ada yang diberi nama Abdullah dari nama Abdullah bin Jahsy. Ada yang diberi nama Mundzir dari nama Mundzir bin Amru. Ada yang diberi nama Urwah dari nama Urwah bin Amru. Ada yang diberi nama Hamzah dari nama Hamzah bin Abdul Muthalib. Ada yang diberi nama Ja’far dari nama Ja’far bin Abi Thalib. Ada yang diberi nama Mushab dari nama Mushab bin Umair. Ada yang diberi nama Khalid dari nama Khalid bin Sa’id. Seperti itulah, semua anaknya diberi nama dengan nama-nama para syuhada dengan harapan bisa syahid seperti mereka.
Disebutkan dalam buku sejarah, “Zubair tidak pernah menjadi bupati atau gubernur. Tidak pernah menjadi petugas penarik pajak atau cukai. Ia tidak pernah menduduki jabatan kecuali sebagai pejuang perang membela agama Allah.”
Ia sangat percaya dengan kemampuannya di medan perang dan itulah kelebihannya. Meskipun pasukannya berjumlah 100 ribu prajurit, namun ia seakan-akan sendirian di arena pertempuran. Seakan-akan dia sendiri yang memikul tanggung jawab perang.
Keteguhan hati di medan perang dan kecerdasannya dalam mengatur siasat perang adalah keistimewaannya.
Ia melihat gugurnya sang paman, yaitu Hamzah, di Perang Uhud, di Perang Uhud. Ia juga melihat bagaimana tubuh pamannya dicabik-cabik oleh pasukan kafir. Ia berdiri dekat jenazah sang paman. Gigi-giginya terdengar gemeretak dan genggaman pedangnya semakin erat. Hanya satu yang dipikirkannya, yaitu balas dendam. Akan tetapi, wahyu segera turun melarang kaum muslimin melakukan balas dendam.
***
Ketika pengepungan terhadap bani Quraidzah sudah berjalan lama tanpa membawa hasil, Rasulullah menugaskan Zubair dan Ali bin Abi Thalib. Keduanya berdiri di depan benteng musuh yang kuat dan berkata, “Demi Allah, mari kita rasakan apa yang dirasakan hamzah. Atau, akan kita buka benteng mereka.” Keduanya melompat ke dalam benteng. Dengan kecerdasannya, ia berhasil membuat takut orang-orang yang berada dalam benteng dan berhasil membuka pintu benteng sehingga pasukan Islam berhamburan menyerbu ke dalam benteng.
***
Di perang hunain, suku Hawazin yang dipimpin Malik bin Auf menderita kekalahan yang memalukan. Tidak bisa menerima kekalahan yang diderita, Malik beserta beberapa prajuritnya bersembunyi di sebuah tempat, mengintai pasukan Islam, dan bermaksud membunuh para panglima Islam. Ketika Zubair mengetahui kelicikan Malik, ia langsung menyerang mereka seorang diri dan berhasil mengobrak-abrik mereka.
Rasulullah sangat sayang kepada Zubair. Beliau bahkan pernah menyatakan kebanggaannya atas perjuangan Zubair. “Setiap nabi mempunyai pembela dan pembelaku adalah Zubair bin Awwam.”
Bukan karena sebagai saudara sepupu dan suami dari Asma binti Abu Bakar yang bergelar “Dzatun Niqatain” (memiliki dua selendang), melainkan karena pengabdiannya yang luar biasa, keberaniannya yang tiada dua, kepemurahannya yang tidak terkira, dan pengorbanan diri serta hartanya untuk Allah, Tuhan alam semesta.
***
Ia seorang yang berbudi tinggi dan berakhlak mulia. Keberanian dan kepemurahannya bagai dua kuda yang digadaikan.
Ia seorang pebisnis sukses. Harta kekayaannya melimpah ruah. Semuanya ia dermakan untuk kepentingan Islam hingga saat mati mempunyai utang.
Kedermawanan, keberanian, dan pengorbanannya bersumber dari sikap tawakalnya yang sempurna kepada Allah. Karena dermawannya, sampai-sampai ia rela mendermakan nyawanya u. Islam.
Sebelum meninggal, ia berpesan kepada anaknya untuk melunasi utang-utangnya, “Jika kamu tidak mampu melunasinya, mintalah kepada pelindungku.”
Sang anak bertanya, “Siapa pelindung yang ayah maksud?”
Zubair menajwab, “Allah! Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong.”
Di kemudian hari, sang anak bercerita, “Demi Allah, setiap kali aku kesulitan membayar utangnya, aku berkata, ‘Wahai Pelindung Zubair, lunasilah utangnya.’ Maka Allah melunasi utangnya.”
Di perang Jamal, seperti yang tersebut dalam kisah Thalhah, perjalanan hidup Zubair berakhir.
Setelah ia mengetahui duduk permasalahannya, lalu meninggalkan peperangan, ia dikuntit oleh sejumlah orang yang menginginkan perang tetap berkecamuk. Ketika Zubair sedang melaksanakan shalat, mereka menikam Zubair.
Setelah itu, si pembunuh pergi menghadap Khalifah Ali, mengabarkan bahwa ia telah membunuh Zubair. Ia berharap kabar itu menyenangkan hati Ali karena yang ia tahu, Ali memusuhi Zubair.
Ketika Ali mengetahui ada pembunuh Zubair yang hendak menemuinya, ia langsung berseru, “Katakanlah kepada pembunuh Zubair putra Shafiah bahwa orang yang membunuh Zubair tempatnya di neraka.”
Ketika pedang Zubair ditunjukkan kepada Ali, ia menciumnya. Lalu ia menangis dan berkata, “Demi Allah, sekian lama pedang ini melindungi Nabi dari marabahaya.”
***
Adakah kata yang lebih indah dari kata-kata Khalifah Ali untuk melepas kepergian Zubair?
Salam sejahtera untukmu, wahai Zubair, di alam kematian.
Beribu salam sejahtera untukmu, wahai pembela Rasulullah. [sumber : 60 Sirah Sahabat Rasulullah SAW]
7. Abbad bin Bisyr
Abbad
bin Bisyr adalah seorang sahabat yang tidak asing dalam sejarah dakwah
Islam. Ia tidak hanya termasuk di antara para ‘abid (ahli ibadah), tapi
juga tergolong kalangan para pahlawan yang gagah berani dalam menegakkan
kalimah Allah. Tidak hanya itu, ia juga seorang penguasa yang cakap,
berbobot dan dipercaya dalam urusan harta kekayaan kaum Muslimin.
Ketika
Islam mulai tersiar di Madinah, Abbad bin Bisyr Al-Asyhaly masih muda.
Dalam kegiatan sehari-hari dia memperlihatkan tingkah laku yang baik,
bersikap seperti orang-orang yang sudah dewasa, kendati usianya belum
mencapai dua puluh lima tahun.
Dia
mendekatkan diri kepada seorang dai dari Makkah, yaitu Mush’ab bin
Umair. Dalam tempo singkat, hati keduanya terikat dalam ikatan iman yang
kokoh. Abbad mulai belajar membaca Al-Qur'an kepada Mush’ab. Suaranya
merdu, menyejukkan dan menawan hati. Oleh karena itu, ia terkenal di
kalangan para sahabat sebagai imam dan pembaca Al-Qur'an.
Pada
suatu malam ketika Rasulullah Saw sedang melaksanakan shalat tahajud di
rumah Aisyah yang berdempetan dengan masjid. Terdengar oleh beliau
suara Abbad bin Bisyr membaca Al-Qur'an dengan suara yang merdu.
“Ya Aisyah, suara Abbad bin Bisyrkah itu?” tanya Rasulullah.
“Betul, ya Rasulullah!” jawab Aisyah.
Rasulullah berdoa, “Ya Allah, ampunilah dia!”
Abbad
bin Bisyr turut berperang bersama Rasulullah Saw dalam tiap peperangan
yang beliau pimpin. Dalam peperangan-peperangan itu dia bertugas sebagai
pembawa Al-Qur'an.
Ketika
Rasulullah kembali dari Perang Dzatur Riqa’, beliau beristirahat dengan
seluruh pasukan Muslim di lereng sebuah bukit. Setibanya di tempat
perhentian di atas bukit Rasulullah bertanya, “Siapa yang bertugas jaga
malam ini?”
Abbad
bin Bisyr dan Ammar bin Yasir berdiri, “Kami, ya Rasulullah!” kata
keduanya serentak. Rasulullah telah menjadikan keduanya bersaudara
ketika kaum Muhajirin baru tiba di Madinah.
Ketika keduanya keluar ke pos penjagaan, Abbad bertanya kepada Ammar, “Siapa di antara kita yang berjaga terlebih dahulu?”
“Aku yang tidur lebih dahulu,” jawab Ammar yang bersiap-siap untuk berbaring tidak jauh dari tempat penjagaan.
Dalam
suasana malam yang tenang dan hening, Abbad shalat malam dan larut
dalam manisnya ayat-ayat Al-Qur'an yang dibacanya. Dalam shalat itu ia
membaca surat Al-Kahfi dengan suara memilukan bagi siapa saja yang
mendengarnya.
Ketika
Abbad tenggelam dalam mahabbah dengan Rabb-nya, seorang laki-laki
datang dengan tergesa-gesa dan melihat seorang hamba Allah sedang
beribadah. Lelaki itu yakin bahwa Rasulullah ada di tempat itu dan orang
yang sedang shalat itu adalah pengawal yang bertugas jaga.
Orang
itu menyiapkan anak panah dan memanah Abbad dengan tepat mengenai
tubuhnya. Abbad mencabut anak panah yang bersarang di tubuhnya sambil
meneruskan bacaan dan tenggelam dalam shalat. Orang itu memanah lagi dan
mengenai Abbad dengan jitu. Abbad kembali mencabut anak panah lalu
meneruskan ibadahnya. Kemudian orang itu memanah lagi. Abbad mencabut
lagi anak panah dari tubuhnya seperti dua anak panah terdahulu.
Giliran
jaga bagi Ammar bin Yasir pun tiba. Abbad merangkak ke dekat saudaranya
yang tidur, lalu membangunkannya seraya berkata, “Bangunlah! Aku
terluka parah dan lemas.”
Sementara
itu, melihat mereka berdua, si pemanah buru-buru melarikan diri. Ammar
menoleh ke arah Abbad dan melihat darah bercucuran dari tiga luka di
tubuhnya. “Subhanallah! Mengapa engkau tidak membangunkan aku ketika
panah pertama mengenaimu?” tanyanya keheranan.
“Aku
sedang membaca Al-Qur'an dalam shalat. Aku tidak ingin memutuskan
bacaanku sebelum selesai. Demi Allah, kalaulah tidak karena takut akan
menyia-nyiakan tugas jaga yang dibebankan Rasulullah, menjaga pos
perkemahan kaum Muslimin, biarlah tubuhku putus daripada memutuskan
bacaan dalam shalat,” jawab Abbad.
Ketika
perang memberantas orang-orang murtad berkecamuk pada masa Khalifah Abu
Bakar Ash-Shiddiq, khalifah menyiapkan pasukan besar untuk menindas
kekacauan yang ditimbulkan oleh Musailamah Al-Kadzab. Abbad bin Bisyr
termasuk pelopor dalam pasukan tersebut.
Abbad
dan pasukannya menyerbu dan memecah pasukan musuh, serta menebar maut
dengan pedangnya. Kemunculannya menyebabkan pasukan Musailamah Al-Kadzab
terdesak mundur dan melarikan diri ke Kebun Maut.
Di
sana, dekat pagar tembok Kebun Maut, Abbad gugur sebagai syahid.
Tubuhnya penuh dengan luka bekas bacokan pedang, tusukan lembing, dan
panah yang menancap. Para sahabat hampir tak ada yang mengenalinya,
kecuali setelah melihat beberapa tanda di bagian tubuhnya yang lain.
8.Tsabit bit Qais
Juru Bicara Rasulullah saw.
Hassan
adalah penyair Rasulullah dan penyair Islam. Sedangkan Tsabit adalah
juru bicara Rasulullah dan juru bicara Islam. Kalimat dan kata-kata yang
keluar dari mulutnya kuat, padat, keras, tegas dan mempesonakan.
Pada tahun datangnya utusan-utusan dari berbagai penjuru Semenanjung Arabia, datanglah ke Madinah perutusan Bani Tamim yang mengatakan kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam, “Kami datang akan berbangga diri kepada anda, maka idzinkanlah kepada penyair dan juru bicara kami menyampaikannya.” Maka Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam tersenyum, lalu katanya, “Telah kuidzinkan bagi juru bicara kalian, silakan!”
Juru bicara mereka Utharid bin Hajib pun berdirilah dan mulai membanggakan kelebihan-kelebihan kaumnya. Setelah selesai, Nabi pun berkata kepada Tsabit bin Qeis, “Berdirilah dan jawablah!”
Tsabit bangkit menjawahnya, “Alhamdulillah, segala puji bagi Allah. Langit dan bumi adalah ciptaan-Nya, dan titah-Nya telah berlaku padanya. Ilmu-Nya meliputi kerajaan-Nya, tidak satu pun yang ada, kecuali dengan karunia-Nya. Kemudian dengan qodrat-Nya juga, dijadikanNya kita golongan dan bangsa-bangsa. Dan Ia telah memilih dari makhluk-Nya yang terbaik seorang Rasul-Nya. Berketurunan, berwibawa dan jujur kata tuturnya. Dibekali-Nya Al-Quran, dibebani-Nya amanat. Membimbing ke jalan persatuan ummat. Dialah pilihan Allah dari yang ada di alam semesta. Kemudian ia menyeru manusia agar beriman kepada-Nya, maka berimanlah orang-orang muhajirin dari kaum dan karib kerabatnya, yakni orang-orang yang termulia keturunannya, dan yang paling baik amal perbuatannya. Dan setelah itu, kami orang-orang Anshar, adalah yang pertama pula memperkenankan seruannya. Kami adalah pembela-pembela Agama Allah dan penyokong-penyokong Rasul-Nya….”
Di Medan Jihad
Tsabit
telah menyaksikan perang Uhud bersama Rasulullah Shallallahu Alaihi
Wassalam dan peperangan-peperangan penting sesudah itu. Corak
perjuangannya menakjubkan, sangat menakjubkan! Dalam
peperangan-peperangan menumpas orang-orang murtad, ia selalu berada di
barisan terdepan, membawa bendera Anshar, dan menebaskan pedangnya yang
tak pernah menumpul dan tak pernah berhenti.
Di perang Yamamah, Tsabit melihat terjadinya serangan mendadak yang dilancarkan oleh tentara Musailamatul Kaddzab terhadap Muslimin di awal pertempuran, maka berserulah ia dengan suaranya yang keras memberi peringatan, “Demi Allah, bukan begini caranya kami berperang bersama Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam!” Kemudian ia pergi tak seberapa jauh, dan tiada lama kembali sesudah membalut badannya dengan balutan jenazah dan memakai kain kafan, lain berseru lagi, “Ya Allah, sesungguhnya aku berlepas diri kepada-Mu dari apa yang dibawa mereka, yakni tentara Musailamah, dan aku memohon ampun kepada-Mu dari apa yang diperbuat mereka, yakni Kaum Muslimin yang kendor semangat dalam peperangan!”
Maka segeralah bergabung kepadanya Salim bekas sahaya Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam, sedang ia adalah pembawa bendera muhajirin.
Keduanya menggali lobang yang dalam untuk mereka berdua. Kemudian mereka masuk dengan berdiri di dalamnya, lain mereka timbunkan pasir ke badan mereka sampai menutupi setengah badan… Demikianlah mereka berdiri tak ubah bagai dua tonggak yang kokoh, setengah badan mereka terbenam ke dalam pasir dan terpaku ke dasar lobang, sementara setengah bagian atas dadanya, kening dan kedua lengan mereka siap menghadapi tentara penyembah berhala dan orang-orang pembohong. Tak henti-hentinya mereka memukulkan pedang terhadap setiap tentara Musailamah yang mendekat, sampai akhirnya kedua mereka mati syahid di tempat itu, dan reduplah sudah sinar sang surya mereka!
Peristiwa syahidnya kedua pahlawan ra ini bagaikan pekikan dahsyat yang menghimbau Kaum Muslimin agar segera kembali kepada kedudukan mereka hingga akhirnya mereka berhasil menghancurkan tentara Musailamah, mereka tersungkur menutupi tanah bekas mereka berpijak.
9.Suhail bin Amr
Ketika
masih musyrik ia adalah seorang yang sangat gigih dan keras menentang
perjuangan dakwah Rasulullah Saw. Melihat Suhail berada dalam barisan
tawanan Perang Badar, Umar bin Khathab berkata kepada Rasulullah Saw.
“Wahai Rasulullah, biarkan aku menjatuhkan dua gigi depan Suhail supaya
dia tidak menghinamu lagi sejak saat ini.”
“Wahai Umar” jawab Rasul dengan lembut, “Semoga suatu saat Suhail akan berada dalam kondisi yang engkau sukai”.
Saat perjanjian Hudaibiyah, Suhail bin Amr kembali berkonfrontasi dengan kaum muslimin. Ia menjadi juru bicara dari kalangan Musyrikin. Perjanjian Hudaibiyah yang terjadi pada bulan Zulkaedah tahun keenam hijrah (628 M) ditandatangani antara pihak Musyrikin Mekah yang diwakili oleh Suhail dengan Rasulullah. Perjanjian ini berisi janji untuk melakukan gencatan senjata selama sepuluh tahun.
Ucapan Nabi kepada Umar saat perang Badar tentang Suhail bin Amr terbukti saat Fathu Makkah tahun 8 H. Setelah masuk islam, kehidupan Suhail benar-benar berubah. Ia menjadi seorang yang pemurah, dermawan, banyak melaksanakan shalat, puasa, sedekah, membaca Al-Quran dan menangis karena takut kepada Allah. Ia adalah seorang pejuang yang gagah berani dan perkasa di medan laga. Ia juga menjadi seoarang ahli pidato yang sangat terkenal dalam Islam.
Suhail memperoleh syahid pada saat perang Yarmuk tahun 15 H. Ia mati syahid bersama Ikrimah bin Abi Jahal dan Al Harits bin Hisyam. Saat itu mereka bertiga kehausan. Para sahabat membawa air kepada Ikrimah. Melihat Suhail kehausan, Ikrimah meminta memberikan air itu kepada Suhail. Suhail sangat ingin minum. Namun di titik nafas penghabisan itu ia melihat Al-Harits bin Hisyam juga sedang kehausan. Ia minta air itu diberikan saja kepada Al Harits. Ketika air itu tiba, ternyata Al Harits sudah meninggal. Air itu segera dibawa ke Ikrimah lagi, ternyata dia sudah tak bernafas. Langsung dibawa kepada Suhail, ternyata kondisi Suhail pun sama, sudah tak bernyawa.
Akhirnya mereka bertiga syahid tanpa ada satupun yang meminum air tersebut. Meninggal dalam pengorbanan dan kesetiaan kepada sahabat. Mereka tetap setia hingga nafas yang terakhir.
10.Mus’ab bin Umair
Mus’ab
bin Umair adalah sahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam yang
sangat berjasa dan menjadi teladan kepada umat Islam sepanjang zaman.
Sebelum memeluk Islam, dia berperawakan lemah lembut, suka berpakaian
kemas, mahal dan indah. Malah dia selalu bersaing dengan kawan-kawannya
untuk berpakaian sedemikian. Keadaan dirinya yang mewah dan rupanya yang
kacak menyebabkan Mus’ab menjadi kegilaan gadis di Makkah. Mereka
sentiasa berangan-angan untuk menjadi isterinya.
Mus’ab sebenarnya adalah anak yang paling disayangi ibunya berbanding adik adiknya yang lain. Apa sahaja permintaannya tidak pernah ditolak. Oleh itu tidaklah mengherankan apabila ibunya begitu marah selepas mendapat tahu Mus’ab telah menganut Islam. Ibunya telah mengurung dan menyiksa Mus’ab selama beberapa hari dengan harapan dia akan meninggalkan Islam. Tindakan ibunya tidak sedikit pun menimbulkan rasa takut pada Mus’ab, sebaliknya dia tidak jemu-jemu membujuk ibunya memeluk Islam kerana sayang pada ibunya. Mus’ab membuat pelbagai usaha tetapi semua tindakannya hanya menambahkan lagi kemarahan dan kebencian ibunya.
Pada suatu hari Mus’ab melihat ibunya dalam keadaan pucat lesu. Dia pun menanyakan sebabnya. Kata ibunya, dia telah berniat di hadapan berhala bahwa dia tidak akan makan dan minum sehingga Mus’ab meninggalkan Islamnya. Mendengar jawaban ibunya, Mus’ab berkata kepada ibunya: “Andaikata ibu mempunyai seratus nyawa sekalipun, dan nyawa ibu keluar satu demi satu, nescaya saya tetap tidak akan meninggalkan Islam sama sekali”.
Mendengar jawaban Mus’ab yang begitu tegas dan berani, ibunya pun mengusir Mus’ab dari rumah, maka Tinggallah Mus’ab bersama-sama Rasulullah dan sahabat-sahabat yang sangat daif ketika itu. Untuk meneruskan kehidupannya, Mus’ab berusaha sendiri bekerja mencari nafkah dengan menjual kayu api. Apabila sampai berita ini kepada ibunya, dia merasa amat marah dan malu kerana kebangsawanannya telah dicemari oleh sikap Mus’ab. Adik-beradik Mus’ab juga sering menemui dan memujuknya supaya kembali menyembah berhala. Tetapi Mus’ab tetap mempertahankan keimanannya.
Sewaktu ancaman dan seksaan kaum Quraisy ke atas kaum Muslim menjadi-jadi, Rasulullah telah mengarahkan supaya sebahagian sahabat berhijrah ke Habysah. Mus’ab turut bersama-sama rombongan tersebut. Sekembalinya dari Habsyah, keadaan beliau semakin berubah. Kurus kering dan berpakaian compang-camping lantaran penyiksaan Quraisy ke atasnya. Keadaan itu menimbulkan rasa sedih di dalam hati Rasulullah. Kata-kata Rasulullah mengenai Mus’ab sering disebut-sebut oleh sahabat:, “Segala puji bagi bagi Allah yang telah menukar dunia dengan penduduknya. Sesungguhnya dahulu saya melihat Mus’ab seorang pemuda yang hidup mewah ditengah-tengah ayah bondanya yang kaya raya. Kemudian dia meninggalkan itu semua kerana cinta kepada Allah dan Rasul-Nya”.
Apabila ibu Mus’ab mendapat tahu mengenai kepulangannya, dia memujuk anaknya supaya kembali kepada berhala. Dia mengutuskan adik Mus’ab yang bernama Al-Rum untuk memujuknya. Namun Mus’ab tetap dengan pendiriannya. Bagaimanapun tanpa pengetahuan ibunya, Al-Rum juga sudah memeluk Islam tetapi dia merahsiakannya. Mus’ab, adalah orang pertama diutus oleh Nabi ke Madinah untuk berdakwah. Hasil dakwahnya, pada tahun tersebut 12 orang Madinah Masuk Islam dan bertemu dengan Nabi di Musim Haji untuk mengikat janji setia dengan Nabi (Perjanjian A’qabah 1). Pada tahun berikutnya 70 lagi orang Madinah masuk Islam dan datang ke Mekah di musim Haji untuk berjanji setia dengan Nabi (Perjanjian A’qabah 2). Kejayaan cemerlangnya inilah, pembuka jalan kepada Nabi dan para sahabat untuk berhijrah ke Madinah.
Sewaktu terjadi peperangan Uhud, Mus’ab ditugaskan memegang bendera-bendera Islam. Peringkat kedua peperangan telah menyebabkan kekalahan di pihak tentera Muslimin. Tetapi Mus’ab tetap tidak berganjak dari tempatnya dan menyeru: Muhammad adalah Rasul, dan sebelumnya telah banyak diutuskan rasul.
Ketika itu, seorang tentera berkuda Quraisy, Ibn Qamiah menyerbu ke arah Mus’ab dan menetak tangan kanannya yang memegang bendera Islam. Mus’ab menyambut bendera itu dengan tangan kirinya sambil mengulang-ulang laungan tadi. Laungan itu menyebabkan Ibn Qamiah bertambah marah dan menetak tangan kirinya pula. Mus’ab terus menyambut dan memeluk bendera itu dengan kedua-dua lengannya yang kudung. Akhirnya Ibn Qamiah menikamnya dengan tombak. Maka gugurlah Mus’ab sebagai syuhada’ Uhud.
Al-Rum, Amir ibn Rabiah dan Suwaibit ibn Sad telah berusaha mendapatkan bendera tersebut daripada jatuh ke bumi. Al- Rum telah berjaya merebutnya dan menyaksikan sendiri syahidnya Mus’ab. Al- Rum tidak dapat lagi menahan kesedihan melihat kesyahidan abangnya. Tangisannya memenuhi sekitar bukit Uhud. Ketika hendak dikafankan, tidak ada kain yang mencukupi untuk menutup jenazahnya. Keadaan itu menyebabkan Rasulullah tidak dapat menahan kesedihan hingga bercucuran air mata baginda. Keadaannya digambarkan dengan kata-kata yang sangat masyhur:
“Apabila ditarik kainnya ke atas, bahagian kakinya terbuka. Apabila ditarik kainnya ke bawah, kepalanya terbuka. Akhirnya, kain itu digunakan untuk menutup bahagian kepalanya dan kakinya ditutup dengan daun-daun kayu.”
Demikian kisah kekuatan peribadi seorang hamba Allah dalam mempertahankankebenaran dan kesucian Islam. Beliau jugalah merupakan pemuda dakwah yangpertama mengetuk setiap pintu rumah di Madinah sebelum berlakunya hijrah.
Kisahnya mempamerkan usaha dan pengorbanannya yang tinggi untuk menegakkan kebenaran. Semua itu adalah hasil proses tarbiyah yang dilaksanakan oleh Rasulullah.
Mus’ab telah menjadi saksi kepada kita akan ketegasan mempertahankan aqidah yang tidak berbelah bagi terhadap Islam sekalipun teruji antara kasih sayang kepada ibunya dengan keimanan. Mus’ab lebih mengutamakan kehidupan Islam yang serba sederhana berbanding darjat dan kehidupan serba mewah. Dia telah menghabiskan umurnya untuk Islam, meninggalkan kehebatan dunia, berhijrah zahir dan batin untuk mengambil kehebatan ukhrawi yang sejati sebagai bekalan akhirat. .... Bersambung.
source : here!
0 komentar:
Posting Komentar
WHAT IS YOUR OPINION?