Banyak
orang berusaha menerjemahkan tanda-petanda yang terhampar di jagat
semesta. Semua berpedoman pada satu keyakinan: bahwa tak ada yang
diciptakan secara kebetulan. Alloh ‘Azza wa Jalla menciptakan segala
sesuatu dengan kadar ukuran yang telah ditetapkan.
"Dan Kami telah menghamparkan bumi dan menjadikan padanya gunung-gunung dan Kami tumbuhkan padanya segala sesuatu menurut ukuran." [QS. Al
"Dan Kami telah menghamparkan bumi dan menjadikan padanya gunung-gunung dan Kami tumbuhkan padanya segala sesuatu menurut ukuran." [QS. Al
Hijr: 19]
"Dan tidak ada sesuatu pun melainkan pada sisi Kami-lah khazanahnya; dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran yang tertentu." [QS. Al Hijr: 21]
"... dan dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya." [QS. Al Furqon: 2]
"Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran." [QS. Al Qomar: 49]
"Sungguh, Alloh memperhitungkan segala sesuatu." [QS. An-Nisaa': 86]
Semua ayat-ayat Alloh yang tertulis maupun yang tidak tertulis, yang terdapat dalam Al Quran dan Sunnah (ayat Qouliyah) serta yang terhampar di seluruh alam raya (ayat kauniyah), tidak ada yang diciptakan secara sia-sia. Semua punya arti, punya maksud, punya makna. Semua sudah diperhitungkan, sudah direncanakan, dan diatur olehNya. Tidak luput semili pun. Rahasia ilmu Alloh itu ada yang bisa langsung dipahami oleh manusia (ilham dari Alloh) dan ada juga yang membutuhkan penafsiran. Saat manusia menafsirkan, bisa jadi makna sebenarnya dari ayat-ayat Alloh itu tersingkap, tapi mungkin juga penafsiran itu tidak atau belum mencapai makna sebenarnya, atau malah jelas-jelas salah. Yang pasti, Alloh memerintahkan kita untuk terus menelaah dan mengakaji ayat-ayatNya.
Kita (manusia) gak tau, itu karena kita bodoh, gak mau nyari tau, atau bisa juga karena Alloh yang MahaTahu tidak memberi tahu kepada kita, membiarkannya tetap menjadi rahasiaNya. Atau karena Alloh yang maha luas ilmuNya hanya memberi secuil ilmu pada makhlukNya, karena akal kita yang terbatas tidak mampu menjangkau ketak-berhinggaan ilmuNya. Jadi ya wajar kalo kita nggak tau. Belum lagi campur tangan iblis dan setan (dari golongan jin dan manusia) yang berusaha memelintir ilmu-ilmu Alloh, mendistorsikannya, melebih-lebihkannya, menguranginya, dan memutar-balikkannya, manusia benar-benar dibuat bingung dan tersesat karenanya.
Di ranah numerologi misalnya, ada orang yang menderita Triskaidekaphobia, takut pada angka tiga belas. Ada yang benci pada angka-angka tertentu karena dianggap membawa sial, ada juga yang malah menganggap angka-angka tertentu suci, keramat, pembawa keberuntungan, dan seterusnya. Dari pythagoras, fengshui, sampai neptu. Dari filsafat kuno, astronomi sampai perhitungan ramalan nasib. Dari peradaban-peradaban kuno, suku-suku terdahulu, hingga tradisi-tradisi agama. Numerologi dan daya “magis” angka telah menarik perhatian umat manusia selama ribuan tahun lamanya.
Matahari, bulan, dan bintang, sebagai tanda-tanda dalam buku agung alam semesta selalu menjadikan manusia merasa bahwa angka-angka adalah sesuatu yang sangat khusus, bukan hanya mengelilingi dan menentukan ruang dan waktu dalam rumusan-rumusan abstrak, melainkan juga menjadi bagian dari sebuah sistem hubungan-hubungan yang misterius dengan fenomena alam lainnya.
Generasi-generasi terdahulu selalu memandang fenomena-fenomena ini berkaitan dengan roh-roh, dewa-dewa atau setan-setan. Bagi mereka, mengetahui angka-angka dan kekuatan-kekuatan yang inheren di dalamnya memungkinkan untuk mendapatkan bantuan dari roh-roh, menggunakan ilmu sihir, atau membuat doa-doa menjadi lebih efisien dengan mengulang-ulang mantra dalam jumlah tertentu.
Manusia di jaman kuno yang mampu menghasilkan peradaban dengan bangunan-bangunan dan arsitektur yang megah mungkin tidak memperhitungkan dan tidak mengetahui sesuatu pun tentang relasi-relasi matematis, namun mereka mengandalkan “naluri” matematisnya. Naluri matematis inilah yang kemudian diabstraksikan dan dirumuskan dalam bentuk-bentuk geometris. “Semangat matematika” adalah sebuah kekayaan primordial manusia yang selalu memperlihatkan dirinya di mana pun manusia hidup atau di mana ada sisa-sisa materi kehidupan sebelumnya. Pengetahuan tentang makna rahasia angka tercermin dalam flokor dan kesusastraan yang tinggi, mahakarya arsitektur yang indah, dan dalam musik yang dianggap memanifestasikan harmoni kehidupan.
Simbolisme angka teramat sangat beraneka ragam. Dan uniknya, kesamaan yang menakjubkan dalam menafsirkan angka-angka, dapat ditemukan di antara kebudayaan dan tradisi yang berbeda.
Di peradaban terdahulu, orang merasa bahwa angka-angka adalah sebuah realitas yang mengandung medan magnetik: angka-angka itu dapat “bekerja”. Atau, seperti disebutkan di India kuno, angka pun “bertabiat Brhama”, yang berarti bahwa angka serupa dengan Dewa. Bahkan, dalam teks-teks tertentu di India kuno, angka-angka pun disembah: “Sambutlah Yang Tunggal, sambutlah angka 2..., sambutlah angka 100...”, dst.
Kepercayaan pada ciri khusus angka seperti ini telah diwariskan dari generasi ke generasi, dan pada angka-angka dilekatkan kekuatan-kekuatan rahasia yang membuatnya menjadi mantra-mantra magis dan tentu saja untuk kepentingan ramalan-ramalan astrologis. Dalam magi, di mana para pelakunya melafalkan rumus-rumus tertentu untuk memengaruhi peristiwa demi keuntungan mereka atau kerugian orang lain, pemakaian angka-angka dengan cara yang tepat memainkan peran besar, karena setiap angka dilihat dalam medan kekuatannya, hubungan kosmisnya, jumlah pengulangan dan rumus magisnya, jumlah penyucian dan gerak melingkarnya, yang kesemuanya dinggap menentukan keberhasilan magisnya.
Pythagoras dan Plato sepakat bahwa angka-angka mengandung kunci-kunci tertentu untuk memecahkan misteri-misteri alam semesta. Ide-ide Pythagorean dan Platonik mengalir ke dalam Neoplatonisme, sistem-sistem Gnostik dan Kabbalistik, serta melahirkan mistisisme angka yang memengaruhi sifat tertentu yang ditata dengannya. Dengan demikian, angka menjadi mediator antara Pencipta dan ciptaanNya. Karenanya, jika seseorang melakukan berbagai operasi angka, operasi-operasi ini juga bekerja pada segala sesuatu yang berkaitan dengan angka-angka yang digunakan. Dengan cara ini, setiap angka menumbuhkan sebuah karakter khusus, sebuah mistiknya sendiri, dan sebuah makna metafisis khusus.
Aliester Crowley diabad Modern, dalam karyanya yang popular, Liber Agis atau Book of The Law pada bab THELEMA, memuat tentang kata sakral berkekuatan magis yang ia peroleh dari dewa Horus (Setan Jin) langsung yakni “ABRAHADABRA”. Dimana secara metode gematria Abrahadabra memiliki nilai sacral numeric 418. Menurut interpretasi Aramaik kata tersebut bermakna "I will create as I speak." Kata itu semakna dengan perkataan Allah “Kun fa ya kun” dalam Arabik Islam.
Seni menafsirkan huruf dan angka (gematria) dikenal dari inskripsi-inskripsi Babylonia pada masa Sargon II (723-705 SM). Seni ini bisa digunakan secara beraneka ragam yang tak terhingga jumlahnya dengan mempertukarkan kata atau huruf yang mempunyai nilai numerik sama, melakukan permutasi kata-kata, atau menciptakan kata-kata baru dari setiap huruf dalam sebuah kata atau nama. Jumlah permainan angka pun hampir tak terhingga, dan banyak diantaranya yang menunjukkan keindahannya. Kita mungkin menyebut rumusan-rumusan itu sebagai permainan yang cerdas, tapi jangan lupa, bahwa kepercayaan pada sebuah dunia yang tertata secara matematis, telah mengantarkan banyak astronom pada penemuan-penemuan yang spektakuler. Sebuah harmoni antara manusia, bumi, dan kosmos yang diatur oleh angka.
Jika Rosululloh shollallohu ‘alayhi wasallam pernah bersabda, “Sesungguhnya Alloh itu witir dan Dia mencintai yang witir (yang berjumlah ganjil)” [HR. al Bukhari, no. 6410 dan Muslim, no. 2677], maka sesungguhnya, kajian genap dan ganjil telah lebih dulu menarik perhatian para pemikir yang hidup berabad-abad tahun sebelum Masehi.
Kaum Pythagorean misalnya, mereka sangat terpesona dengan perbandingan antara harmoni-harmoni sederhana (1:2, 3:4). Mereka melangkah begitu jauh untuk membagi segala sesuatu di alam semesta ini menjadi dua kategori: angka ganjil di sisi kanan, yang diasosiasikan dengan kebaikan, lurus, dan cahaya, sementara angka-angka genap berada di sisi kiri yang infinitif dan diasosiasikan dengan kejahatan, kegelapan, dan setan.
Kecintaan pada angka-angka ganjil ini menumbuhkan adat-kebiasaan bahwa ritus, doa, mantra, dan lain sebagainya diulang-ulang dalam jumlah ganjil. Orang melakukan ritus-ritus magis dan mengulang doa sebanyak 3 atau 7 kali. Di jaman dahulu, para fisikawan dan ahli kesehatan biasa memberikan pil dalam jumlah ganjil. Talmud dan Injil memberikan banyak sekali contoh dengan menggunakan angka ganjil dan dihindarinya angka genap. Untuk mempraktikkan sihir atau ilmu hitam (black magic) diperlukan orang-orang dengan jumlah ganjil, dan bahkan sampai sekarang, setidaknya di Eropa, masih berlaku adat untuk mengirimi seseorang buket-buket bunga dengan jumlah ganjil. Angka ganjil mempunyai kedudukan penting dalam kepercayaan masyarakat kuno (hingga saat ini) serta dalam spekulasi-spekulasi teologis.
Tampaknya, yang pertama-tama menggunakan ide-ide Neoplatonik dan Pythagorean secara ekstensif di dunia Islam adalah kelompok proto-Isma’ili Ikhwan ash-Shafa, sebuah persaudaraan suci di Bashrah yang menghasilkan risalah-risalah ensiklopedik pada abad ke-10. Menurut mereka, Pythagoras adalah seorang bijak dari Harran, dan mereka percaya bahwa Nabi yang diutus untuk orang-orang Sabian di Harran adalah IDRIS ‘Alayhissalam, yakni Hermes Trismegistos yang, menurut mereka, benar-benar mengetahui mistisisme angka.
Bagi persaudaraan suci Ikhwan Ash-Shafa, numerologi adalah cara untuk memahami prinsip kesatuan yang melatari segala sesuatu. Numerologi adalah ilmu yang sagat dimuliakan dan akar dari seluruh ilmu lainnya. Dalam numerologi, hubungan antara Tuhan dan dunia, atau Yang Suci dan eksistensi, disamakan dengan hubungan antara angka 1 dan angka-angka lainnya. Meskipun Ikhwan Ash-Shafa tidak menciptakan sistem numerologi yang rumit seperti sistem Kabbalah, mereka sangat menyadari pentingnya angka-angka seperti yang tampak dalam musik dan keteraturan kosmos.
Numerologi menyimpan rahasianya sendiri. Lalu bagaimana Islam menyikapi hal ini?
Alloh subhaanahu wa ta’ala pernah bersumpah demi Asy-Syaf’u wal Watru (yang genap dan ganjil).
• “Demi fajar, dan malam yang sepuluh, dan (demi) asy-syaf’u (yang genap) dan al-watru (yang ganjil)." [QS. Al Fajr (89): 1 - 3]
Dalam hadits shohih juga disebutkan, dari Abu Huroiroh berkata, Rosululloh shollallohu ‘alayhi wasallam bersabda:
• “Dan Alloh memiliki sembilan puluh sembilan nama, seratus kurang satu, barangsiapa menghitungnya (menghafal dan mentafakkurinya) akan masuk surga. Dia itu Witir (ganjil) dan menyukai yang ganjil ” [HR. Bukhori-Muslim]
Lalu ayat-ayat yang menerangkan angka, jumlah, hitungan dalam Al Quran dan Hadits tak terhitung jumlahnya. Misalnya, Alloh menciptakan 7 lapis langit (QS. Nuh: 15), Alloh menciptakan bumi dalam 6 masa (QS. Al A’rof: 54), Nabi Yusuf yang bermimpi melihat 11 bintang (QS. Yusuf: 4), 7 ayat yang dibaca berulang-ulang (QS. Al Hijr: 87), sunnah diulang sebanyak 3 kali, berdzikir setelah sholat (tasbih, tahmid, dan takbir) masing2 sebanyak 33 kali, dan masih banyak lagi.
Tidak ada penjelasan secara khusus dalam ayat-ayat Qouliyah tentang rahasia angka-angka, tidak ada tuntunan yang mengajarkan kita, umat Islam, untuk menganggap sebuah angka suci, baik, buruk, pembawa sial, dan seterusnya. Kita hanya mempercayai apa yang datang dari Alloh dan RosulNya, meyakini dan melakukan apa-apa yang disyari’atkan, dan menggali setiap hikmah yang terhampar dalam ayat-ayat Kauniyah. Rahasia segala perkara ghaib ada pada Alloh, Tuhan semesta alam, maka Akbarlah Tuhan Yang tidak bersedia memberikan kepada makhlukNya cara-cara untuk mendapatkan pengetahuan tentangNya kecuali lewat ketidakmampuan untuk mencapai pengetahuan tentangNya.
Menelaah, memilah, dan kemudian memutuskan untuk memilih yang benar dan yang salah memang tidak mudah. Kebenaran hanya datang dari Alloh dan RosulNya. Manusia berusaha, dan klimaksnya adalah hidayah.
“Dan sesungguhnya Kami telah menurunkan kepada kamu ayat-ayat yang memberi penerangan, dan contoh-contoh dari orang-orang yang terdahulu sebelum kamu dan pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa.”[Q.S An Nuur:34]
MILISI OPOSISI NAGA 9-7-2012
"Dan tidak ada sesuatu pun melainkan pada sisi Kami-lah khazanahnya; dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran yang tertentu." [QS. Al Hijr: 21]
"... dan dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya." [QS. Al Furqon: 2]
"Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran." [QS. Al Qomar: 49]
"Sungguh, Alloh memperhitungkan segala sesuatu." [QS. An-Nisaa': 86]
Semua ayat-ayat Alloh yang tertulis maupun yang tidak tertulis, yang terdapat dalam Al Quran dan Sunnah (ayat Qouliyah) serta yang terhampar di seluruh alam raya (ayat kauniyah), tidak ada yang diciptakan secara sia-sia. Semua punya arti, punya maksud, punya makna. Semua sudah diperhitungkan, sudah direncanakan, dan diatur olehNya. Tidak luput semili pun. Rahasia ilmu Alloh itu ada yang bisa langsung dipahami oleh manusia (ilham dari Alloh) dan ada juga yang membutuhkan penafsiran. Saat manusia menafsirkan, bisa jadi makna sebenarnya dari ayat-ayat Alloh itu tersingkap, tapi mungkin juga penafsiran itu tidak atau belum mencapai makna sebenarnya, atau malah jelas-jelas salah. Yang pasti, Alloh memerintahkan kita untuk terus menelaah dan mengakaji ayat-ayatNya.
Kita (manusia) gak tau, itu karena kita bodoh, gak mau nyari tau, atau bisa juga karena Alloh yang MahaTahu tidak memberi tahu kepada kita, membiarkannya tetap menjadi rahasiaNya. Atau karena Alloh yang maha luas ilmuNya hanya memberi secuil ilmu pada makhlukNya, karena akal kita yang terbatas tidak mampu menjangkau ketak-berhinggaan ilmuNya. Jadi ya wajar kalo kita nggak tau. Belum lagi campur tangan iblis dan setan (dari golongan jin dan manusia) yang berusaha memelintir ilmu-ilmu Alloh, mendistorsikannya, melebih-lebihkannya, menguranginya, dan memutar-balikkannya, manusia benar-benar dibuat bingung dan tersesat karenanya.
Di ranah numerologi misalnya, ada orang yang menderita Triskaidekaphobia, takut pada angka tiga belas. Ada yang benci pada angka-angka tertentu karena dianggap membawa sial, ada juga yang malah menganggap angka-angka tertentu suci, keramat, pembawa keberuntungan, dan seterusnya. Dari pythagoras, fengshui, sampai neptu. Dari filsafat kuno, astronomi sampai perhitungan ramalan nasib. Dari peradaban-peradaban kuno, suku-suku terdahulu, hingga tradisi-tradisi agama. Numerologi dan daya “magis” angka telah menarik perhatian umat manusia selama ribuan tahun lamanya.
Matahari, bulan, dan bintang, sebagai tanda-tanda dalam buku agung alam semesta selalu menjadikan manusia merasa bahwa angka-angka adalah sesuatu yang sangat khusus, bukan hanya mengelilingi dan menentukan ruang dan waktu dalam rumusan-rumusan abstrak, melainkan juga menjadi bagian dari sebuah sistem hubungan-hubungan yang misterius dengan fenomena alam lainnya.
Generasi-generasi terdahulu selalu memandang fenomena-fenomena ini berkaitan dengan roh-roh, dewa-dewa atau setan-setan. Bagi mereka, mengetahui angka-angka dan kekuatan-kekuatan yang inheren di dalamnya memungkinkan untuk mendapatkan bantuan dari roh-roh, menggunakan ilmu sihir, atau membuat doa-doa menjadi lebih efisien dengan mengulang-ulang mantra dalam jumlah tertentu.
Manusia di jaman kuno yang mampu menghasilkan peradaban dengan bangunan-bangunan dan arsitektur yang megah mungkin tidak memperhitungkan dan tidak mengetahui sesuatu pun tentang relasi-relasi matematis, namun mereka mengandalkan “naluri” matematisnya. Naluri matematis inilah yang kemudian diabstraksikan dan dirumuskan dalam bentuk-bentuk geometris. “Semangat matematika” adalah sebuah kekayaan primordial manusia yang selalu memperlihatkan dirinya di mana pun manusia hidup atau di mana ada sisa-sisa materi kehidupan sebelumnya. Pengetahuan tentang makna rahasia angka tercermin dalam flokor dan kesusastraan yang tinggi, mahakarya arsitektur yang indah, dan dalam musik yang dianggap memanifestasikan harmoni kehidupan.
Simbolisme angka teramat sangat beraneka ragam. Dan uniknya, kesamaan yang menakjubkan dalam menafsirkan angka-angka, dapat ditemukan di antara kebudayaan dan tradisi yang berbeda.
Di peradaban terdahulu, orang merasa bahwa angka-angka adalah sebuah realitas yang mengandung medan magnetik: angka-angka itu dapat “bekerja”. Atau, seperti disebutkan di India kuno, angka pun “bertabiat Brhama”, yang berarti bahwa angka serupa dengan Dewa. Bahkan, dalam teks-teks tertentu di India kuno, angka-angka pun disembah: “Sambutlah Yang Tunggal, sambutlah angka 2..., sambutlah angka 100...”, dst.
Kepercayaan pada ciri khusus angka seperti ini telah diwariskan dari generasi ke generasi, dan pada angka-angka dilekatkan kekuatan-kekuatan rahasia yang membuatnya menjadi mantra-mantra magis dan tentu saja untuk kepentingan ramalan-ramalan astrologis. Dalam magi, di mana para pelakunya melafalkan rumus-rumus tertentu untuk memengaruhi peristiwa demi keuntungan mereka atau kerugian orang lain, pemakaian angka-angka dengan cara yang tepat memainkan peran besar, karena setiap angka dilihat dalam medan kekuatannya, hubungan kosmisnya, jumlah pengulangan dan rumus magisnya, jumlah penyucian dan gerak melingkarnya, yang kesemuanya dinggap menentukan keberhasilan magisnya.
Pythagoras dan Plato sepakat bahwa angka-angka mengandung kunci-kunci tertentu untuk memecahkan misteri-misteri alam semesta. Ide-ide Pythagorean dan Platonik mengalir ke dalam Neoplatonisme, sistem-sistem Gnostik dan Kabbalistik, serta melahirkan mistisisme angka yang memengaruhi sifat tertentu yang ditata dengannya. Dengan demikian, angka menjadi mediator antara Pencipta dan ciptaanNya. Karenanya, jika seseorang melakukan berbagai operasi angka, operasi-operasi ini juga bekerja pada segala sesuatu yang berkaitan dengan angka-angka yang digunakan. Dengan cara ini, setiap angka menumbuhkan sebuah karakter khusus, sebuah mistiknya sendiri, dan sebuah makna metafisis khusus.
Aliester Crowley diabad Modern, dalam karyanya yang popular, Liber Agis atau Book of The Law pada bab THELEMA, memuat tentang kata sakral berkekuatan magis yang ia peroleh dari dewa Horus (Setan Jin) langsung yakni “ABRAHADABRA”. Dimana secara metode gematria Abrahadabra memiliki nilai sacral numeric 418. Menurut interpretasi Aramaik kata tersebut bermakna "I will create as I speak." Kata itu semakna dengan perkataan Allah “Kun fa ya kun” dalam Arabik Islam.
Seni menafsirkan huruf dan angka (gematria) dikenal dari inskripsi-inskripsi Babylonia pada masa Sargon II (723-705 SM). Seni ini bisa digunakan secara beraneka ragam yang tak terhingga jumlahnya dengan mempertukarkan kata atau huruf yang mempunyai nilai numerik sama, melakukan permutasi kata-kata, atau menciptakan kata-kata baru dari setiap huruf dalam sebuah kata atau nama. Jumlah permainan angka pun hampir tak terhingga, dan banyak diantaranya yang menunjukkan keindahannya. Kita mungkin menyebut rumusan-rumusan itu sebagai permainan yang cerdas, tapi jangan lupa, bahwa kepercayaan pada sebuah dunia yang tertata secara matematis, telah mengantarkan banyak astronom pada penemuan-penemuan yang spektakuler. Sebuah harmoni antara manusia, bumi, dan kosmos yang diatur oleh angka.
Jika Rosululloh shollallohu ‘alayhi wasallam pernah bersabda, “Sesungguhnya Alloh itu witir dan Dia mencintai yang witir (yang berjumlah ganjil)” [HR. al Bukhari, no. 6410 dan Muslim, no. 2677], maka sesungguhnya, kajian genap dan ganjil telah lebih dulu menarik perhatian para pemikir yang hidup berabad-abad tahun sebelum Masehi.
Kaum Pythagorean misalnya, mereka sangat terpesona dengan perbandingan antara harmoni-harmoni sederhana (1:2, 3:4). Mereka melangkah begitu jauh untuk membagi segala sesuatu di alam semesta ini menjadi dua kategori: angka ganjil di sisi kanan, yang diasosiasikan dengan kebaikan, lurus, dan cahaya, sementara angka-angka genap berada di sisi kiri yang infinitif dan diasosiasikan dengan kejahatan, kegelapan, dan setan.
Kecintaan pada angka-angka ganjil ini menumbuhkan adat-kebiasaan bahwa ritus, doa, mantra, dan lain sebagainya diulang-ulang dalam jumlah ganjil. Orang melakukan ritus-ritus magis dan mengulang doa sebanyak 3 atau 7 kali. Di jaman dahulu, para fisikawan dan ahli kesehatan biasa memberikan pil dalam jumlah ganjil. Talmud dan Injil memberikan banyak sekali contoh dengan menggunakan angka ganjil dan dihindarinya angka genap. Untuk mempraktikkan sihir atau ilmu hitam (black magic) diperlukan orang-orang dengan jumlah ganjil, dan bahkan sampai sekarang, setidaknya di Eropa, masih berlaku adat untuk mengirimi seseorang buket-buket bunga dengan jumlah ganjil. Angka ganjil mempunyai kedudukan penting dalam kepercayaan masyarakat kuno (hingga saat ini) serta dalam spekulasi-spekulasi teologis.
Tampaknya, yang pertama-tama menggunakan ide-ide Neoplatonik dan Pythagorean secara ekstensif di dunia Islam adalah kelompok proto-Isma’ili Ikhwan ash-Shafa, sebuah persaudaraan suci di Bashrah yang menghasilkan risalah-risalah ensiklopedik pada abad ke-10. Menurut mereka, Pythagoras adalah seorang bijak dari Harran, dan mereka percaya bahwa Nabi yang diutus untuk orang-orang Sabian di Harran adalah IDRIS ‘Alayhissalam, yakni Hermes Trismegistos yang, menurut mereka, benar-benar mengetahui mistisisme angka.
Bagi persaudaraan suci Ikhwan Ash-Shafa, numerologi adalah cara untuk memahami prinsip kesatuan yang melatari segala sesuatu. Numerologi adalah ilmu yang sagat dimuliakan dan akar dari seluruh ilmu lainnya. Dalam numerologi, hubungan antara Tuhan dan dunia, atau Yang Suci dan eksistensi, disamakan dengan hubungan antara angka 1 dan angka-angka lainnya. Meskipun Ikhwan Ash-Shafa tidak menciptakan sistem numerologi yang rumit seperti sistem Kabbalah, mereka sangat menyadari pentingnya angka-angka seperti yang tampak dalam musik dan keteraturan kosmos.
Numerologi menyimpan rahasianya sendiri. Lalu bagaimana Islam menyikapi hal ini?
Alloh subhaanahu wa ta’ala pernah bersumpah demi Asy-Syaf’u wal Watru (yang genap dan ganjil).
• “Demi fajar, dan malam yang sepuluh, dan (demi) asy-syaf’u (yang genap) dan al-watru (yang ganjil)." [QS. Al Fajr (89): 1 - 3]
Dalam hadits shohih juga disebutkan, dari Abu Huroiroh berkata, Rosululloh shollallohu ‘alayhi wasallam bersabda:
• “Dan Alloh memiliki sembilan puluh sembilan nama, seratus kurang satu, barangsiapa menghitungnya (menghafal dan mentafakkurinya) akan masuk surga. Dia itu Witir (ganjil) dan menyukai yang ganjil ” [HR. Bukhori-Muslim]
Lalu ayat-ayat yang menerangkan angka, jumlah, hitungan dalam Al Quran dan Hadits tak terhitung jumlahnya. Misalnya, Alloh menciptakan 7 lapis langit (QS. Nuh: 15), Alloh menciptakan bumi dalam 6 masa (QS. Al A’rof: 54), Nabi Yusuf yang bermimpi melihat 11 bintang (QS. Yusuf: 4), 7 ayat yang dibaca berulang-ulang (QS. Al Hijr: 87), sunnah diulang sebanyak 3 kali, berdzikir setelah sholat (tasbih, tahmid, dan takbir) masing2 sebanyak 33 kali, dan masih banyak lagi.
Tidak ada penjelasan secara khusus dalam ayat-ayat Qouliyah tentang rahasia angka-angka, tidak ada tuntunan yang mengajarkan kita, umat Islam, untuk menganggap sebuah angka suci, baik, buruk, pembawa sial, dan seterusnya. Kita hanya mempercayai apa yang datang dari Alloh dan RosulNya, meyakini dan melakukan apa-apa yang disyari’atkan, dan menggali setiap hikmah yang terhampar dalam ayat-ayat Kauniyah. Rahasia segala perkara ghaib ada pada Alloh, Tuhan semesta alam, maka Akbarlah Tuhan Yang tidak bersedia memberikan kepada makhlukNya cara-cara untuk mendapatkan pengetahuan tentangNya kecuali lewat ketidakmampuan untuk mencapai pengetahuan tentangNya.
Menelaah, memilah, dan kemudian memutuskan untuk memilih yang benar dan yang salah memang tidak mudah. Kebenaran hanya datang dari Alloh dan RosulNya. Manusia berusaha, dan klimaksnya adalah hidayah.
“Dan sesungguhnya Kami telah menurunkan kepada kamu ayat-ayat yang memberi penerangan, dan contoh-contoh dari orang-orang yang terdahulu sebelum kamu dan pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa.”[Q.S An Nuur:34]
MILISI OPOSISI NAGA 9-7-2012
wahh keren
BalasHapus