Anjuran makan berjamaah
Allah berfirman yang artinya, “Tidak ada halangan bagi kamu makan bersama-sama mereka atau sendirian.” (QS. an-Nur: 61)
Ketika al-Qurthubi menafsirkan ayat ini, beliau mengatakan,
“Dikatakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Bani Laits bin Bakr
yang merupakan keturunan Bani Kinanah. Ada salah seorang dari mereka
yang tidak mau makan sendirian. Beberapa waktu lamanya dia menahan
lapar, sampai ada orang yang mau diajak makan bersama.”
Dalam al-Muharra al-Wajiz 11/328 Ibnu Athiyyah mengatakan,
“Makan dengan bersama-sama merupakan tradisi Arab yang turun-temurun
dari Nabi Ibrahim. Beliau tidak mau makan sendirian. Begitu pula
sebagian orang-orang Arab ketika kedatangan tamu, mereka tidak mau
makan kecuali bersama tamunya. Lalu turunlah ayat di atas yang
menjelaskan adab makan yang benar dan membatalkan segala perilaku orang
Arab yang menyelisihi ayat ini. Ayat ini secara tegas membolehkan makan sendirian,
suatu hal yang diharamkan oleh bangsa Arab sebelumnya. Tentang ayat di
atas Ibn Katsir menyatakan, “Ini merupakan keringanan dari Allah.
Seorang boleh makan dengan cara sendiri-sendiri atau bersama beberapa
orang dalam satu wadah makanan meski makan dengan cara yang kedua itu
lebih berkah dan lebih utama.”
Syekh Yahya bin Ali al-Hajuri mengatakan, “Inilah pendapat kami.
Makan dengan berjamaah itu lebih utama di samping hal tersebut termasuk
perangai dan akhlak orang Arab yang luhur. Terlebih lagi jika
dipraktekkan ketika ada acara pertemuan. Kami tidak berpendapat bahwa
makan dengan cara sendiri-sendiri adalah haram, karena tidak ada
seorang pun ulama yang berpendapat demikian sepengetahuan kami kecuali
jika dikaitkan dengan perilaku menyerupai orang-orang kafir. Menyerupai
mereka adalah merupakan suatu hal yang diharamkan berdasarkan
dalil-dalil yang tegas.
Berikut ini adalah hadits-hadits yang menunjukkan pentingnya makan
berjamaah, karena hal tersebut telah disyariatkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dari Tsauban, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Hampir saja banyak orang mengerumuni kalian seperti orang-orang yang hendak makan mengerumuni sebuah piring besar.” (HR Abu Dawud, shahih)
Hadits ini menunjukkan bahwa di antara kebiasaan orang-orang Arab
adalah beberapa orang makan dari satu piring. Ini merupakan cara makan
yang diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di samping merupakan adab kebiasaan orang Arab.
Dari Nafi’ beliau mengatakan, “Ibnu Umar memiliki kebiasaan tidak
memakan kecuali bersama orang miskin. Suatu ketika aku mengajak
seseorang untuk menemani beliau makan. Ternyata orang tersebut makan
dalam porsi yang besar. Sesudah itu Ibnu Umar mengatakan, “Wahai Nafi’
janganlah kau ajak orang ini untuk menemani aku makan, karena aku
mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Orang beriman itu makan dengan menggunakan satu lambung sedangkan orang yang kafir makan dengan menggunakan tujuh lambung.” (HR. Bukhari no. 5393, dan Muslim no. 2060)
Ibnu Umar adalah salah seorang sahabat yang dikenal sebagai orang yang teguh menjalankan sunnah-sunnah Nabi. Sedangkan hadits di atas menunjukkan bahwa beliau hanya mau makan bila ditemani seorang yang miskin.
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, aku menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa khazirah
(sejenis masakan daging dicampur dengan tepung) yang sudah aku masak
untuk beliau. Aku katakan kepada Saudah yang berada di sebelah Nabi,
“Ayo makan.” Namun Saudah enggan memakannya. Karena itu, aku katakan,
“Engkau harus makan atau makanan ini aku oleskan ke wajahmu.” Mendengar
hal tersebut Saudah tetap tidak bergeming, maka aku ambil makanan
tersebut dengan tanganku lalu aku oleskan pada wajahnya.”
Hal ini menyebabkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tertawa lalu menyodorkan makanan tersebut kepada Saudah seraya mengatakan, “Balaslah olesi juga wajahnya.” Akhirnya Nabi pun tertawa melihat wajah Aisyah yang juga dilumuri makanan tersebut. Setelah itu Umar lewat, sambil berkata, “Wahai Abdullah, wahai Abdullah.” Nabi mengira kalau Umar hendak masuk ke rumah maka beliau bersabda, “Basuhlah muka kalian berdua.” Aisyah mengatakan, “Sejak saat itu aku merasa segan kepada Umar karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menaruh rasa hormat kepada beliau.” (HR. Abu Ya’la, dengan sanad yang hasan)
Hal ini menyebabkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tertawa lalu menyodorkan makanan tersebut kepada Saudah seraya mengatakan, “Balaslah olesi juga wajahnya.” Akhirnya Nabi pun tertawa melihat wajah Aisyah yang juga dilumuri makanan tersebut. Setelah itu Umar lewat, sambil berkata, “Wahai Abdullah, wahai Abdullah.” Nabi mengira kalau Umar hendak masuk ke rumah maka beliau bersabda, “Basuhlah muka kalian berdua.” Aisyah mengatakan, “Sejak saat itu aku merasa segan kepada Umar karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menaruh rasa hormat kepada beliau.” (HR. Abu Ya’la, dengan sanad yang hasan)
Pesan yang terkandung dalam hadits ini:
- Suami makan bersama istri-istrinya dari satu piring.
- Bersenda-gurau dengan istri, kedua hal ini dianjurkan dalam rangka menjaga keharmonisan rumah tangga.
- Berlaku adil di antara istri dan bersikap adil terhadap pihak yang teraniaya meskipun dengan nada bergurau.
Hadits-Hadits tentang makan berjamaah
Dari Abdullah bin Sa’ad radhiyallahu ‘anhu, “Aku bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
tentang menemani makan istri yang haidh maka beliau bersabda,
“Temanilah makan istri yang sedang haidh.” (HR. Turmudzi, Abu dawud dan
Ibn Majah, hasan). Penulis kitab Aunul Ma’bud, syarah Abu Dawud dan penulis Tuhfah al Ahfadzi, Syarah sunan Turmudzi sepakat bahwa yang dimaksud menemani makan adalah makan bersama.
Hadits ini menunjukkan bahwa badan dan keringat wanita yang sedang
haidh itu suci demikian pula menunjukkan pula bahwa di antara kiat
menjaga keharmonisan hubungan suami istri adalah makan bersama dari
satu wadah. Inilah di antara petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dari Ibnu Abi Aufa beliau mengatakan, “Kami ikut perang bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
sebanyak tujuh atau enam kali dan kami makan belalang bersama beliau.”
(HR. Muslim no. 1952) al-Hafidz Ibn Hajar al-Atsqalani mengatakan,
“Yang dimaksud kami makan belakang bersama beliau, ada dua kemungkinan,
pertama, bersama dalam perang tidak dalam masalah makan. Kedua,
bersama dalam makan. Kemungkinan yang kedua ini dikuatkan oleh riwayat
Abu Nuaim dalam kitab at-Tib dengan redaksi, “Dan beliau makan bersama
kami.”
Singkatnya kemungkinan makna yang benar adalah kemungkinan yang
kedua. Sehingga hadits di atas menunjukkan betapa akrabnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan para sahabat. Untuk menjalin keakraban sesama mereka Nabi tidak segan untuk duduk makan bersama mereka.
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
tidaklah makan siang dan makan malam dengan menggunakan roti dan
daging kecuali dalam hidangan sesama banyak orang.” (HR. Ahmad, Abu
Ya’la, Ibn Hibban dengan sanad shahih)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu beliau berkata, “Ada seorang sahabat Anshar yang tinggal di Quba mengundang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
kami lalu berangkat bersama beliau ketika beliau telah selesai makan
dan mencuci kedua tangannya, beliau berdoa…” hadits ini juga
diriwayatkan oleh Imam Bukhari no. 5458 dari Abu Umamah dengan redaksi,
“Apabila maidah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah disingkirkan beliau berdoa…”
Al-Maidah adalah meja makan untuk satu atau dua orang. Akan tetapi ketika menafsirkan ayat yang artinya, “Wahai Rabb kami, turunkanlah maidah dari langit untuk kami”, Ibn Katsir menyebutkan pendapat mayoritas salaf tentang makna maidah. Mereka mengatakan maidah adalah hidangan yang dinikmati oleh banyak orang. Makna seperti ini juga disebutkan oleh Ibnu Mamduh dalam karyanya, Lisanul Arab.
Sedangkan hadits sebelumnya juga berkaitan dengan makan bersama karena
dalam hadits tersebut dinyatakan, “Kami lalu berangkat bersama
beliau.”
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bangkit menuju kamar Shafiyah aku mengundang kaum muslimin untuk
menghadiri acara walimah nikah beliau dengan Shafiyah. Rasulullah
memerintahkan untuk membentangkan alas dari kulit. Di atasnya
dituangkan kurma, keju dan lemak.” (HR. Bukhari dan Muslim) Hadits ini
jelas menunjukkan acara makan bersama di atas alat kulit dan bolehnya
membentangkan alas dan kulit untuk makan.
Dari Jabir bin Abdillah, beliau bercerita ada seorang perempuan
Yahudi dari penduduk Khaibar meracuni daging kambing bakar. Daging
kambing tersebut lalu dihadiahkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Rasulullah lalu memilih kaki kambing, beliau makan dari kambing yang
dihadiahkan tersebut bersama sahabat yang lain.” (HR Darimi, dengan
sanad yang mursal namun memiliki beberapa hadits penguat)
Hadits di atas di samping menunjukkan bahwa di antara kebiasaan Nabi
adalah makan bersama para sahabat juga menunjukkan bahwa Nabi itu tidak
mengetahui hal yang gaib. Pada awal mulanya, Nabi tidak tahu kalau
daging kambing yang disuguhkan itu beracun. (Disarikan dari buku Makan Berjamaah -edisi terjemah- karya Syaikh Yahya bin Ali al-Hajuri, Penerbit Pustaka An-Najiyah)
source : SAwaH
source : SAwaH
0 komentar:
Posting Komentar
WHAT IS YOUR OPINION?