I. Karomah
Sayyidina Abu Bakar Shiddiq Ra
Kisah
1
‘Abdurrahman bin Abu Bakar r.a.
menceritakan bahwa ayahnya datang bersama tiga orang tamu hendak pergi makan
malam dengan Nabi Saw. Kemudian mereka datang setelah lewat malam. Istri Abu
Bakar bertanya, “Apa yang bisa kau suguhkan untuk tamumu?” Abu Bakar balik
bertanya, “Apa yang kau miliki untuk menjamu makan malam mereka?” Sang istri
menjawab, ‘Aku telah bersiap-siap menunggu engkau datang.” Abu Bakar berkata, “Demi Allah, aku tidak akan bisa menjamu mereka
selamanya.” Abu Bakar mempersilakan para tamunya makan. Salah seorang tamunya
berujar, “Demi Allah, setiap kami mengambil sesuap makanan, makanan itu menjadi
bertambah banyak. Kami merasa kenyang, tetapi makanan itu malah menjadi lebih
banyak dari sebelumnya.”
Abu Bakar melihat makanan itu tetap
seperti semula, bahkan jadi lebih banyak, lalu dia bertanya kepada istrinya,
“Hai ukhti Bani Firas, apa yang terjadi?” Sang istri menjawab, “Mataku tidak
salah melihat, makanan ini menjadi tiga kali lebih banyak dari sebelumnya.” Abu
Bakar menyantap makanan itu, lalu berkata, “Ini pasti ulah setan.” Akhirnya Abu
Bakar membawa makanan itu kepada Rasulullah Saw dan meletakkannya di hadapan
beliau. Pada waktu itu, sedang ada pertemuan antara katun muslimin dan satu
kaum. Mereka dibagi menjadi 12 kelompok, hanya Allah Yang Maha Tahu berapa
jumlah keseluruhan hadirin. Beliau menyuruh mereka menikmati makanan itu, dan
mereka semua menikmati makanan yang dibawa Abu Bakar. (HR Bukhari dan Muslim)
Kisah
2
‘Aisyah r.a. bercerita, ‘Ayahku (Abu
Bakar Shiddiq) memberiku 20 wasaq kurma (1 wasaq = 60 gantang) dari hasil
kebunnya di hutan. Menjelang wafat, beliau berwasiat, `Demi Allah, wahai
putriku, tidak ada seorang pun yang lebih aku cintai ketika aku kaya selain
engkau, dan lebih aku muliakan ketika miskin selain engkau. Aku hanya bisa
mewariskan 20 wasaq kurma, dan jika lebih, itu menjadi milikmu. Namun, pada hari
ini, itu adalah harta warisan untuk dua saudara laki-laki dan dua saudara
perempuanmu, maka bagilah sesuai aturan Al-Qur’an.’ Lalu aku berkata, `Ayah,
demi Allah, beberapapun jumlah harta itu, aku akan memberikannya untuk Asma’,
dan untuk siapa lagi ya?’ Abu Bakar menjawab, `Untuk anak perempuan yang akan
lahir.”‘ (Hadis sahih dari `Urwah bin Zubair).
Menurut Al Taj al-Subki, kisah di
atas menjelaskan bahwa Abu Bakar r.a. memiliki dua karamah. Pertama,
mengetahui hari kematiannya ketika sakit, seperti diungkapkan dalam
perkataannya, “Pada hari ini, itu adalah harta warisan.” Kedua, mengetahui
bahwa anaknya yang akan lahir adalah perempuan. Abu Bakar mengungkapkan rahasia
tersebut untuk meminta kebaikan hari `Aisyah r.a. agar memberikan apa yang
telah diwariskan kepadanya kepada saudara-saudaranya, memberitahukan kepadanya
tentang ketentuan-ketentuan ukuran yang tepat, memberitahukan bahwa harta
tersebut adalah harta warisan dan bahwa ia memiliki dua saudara perempuan dan
dua saudara laki-laki.
Indikasi yang menunjukkan bahwa Abu Bakar meminta
kebaikan hati ‘Aisyah adalah ucapannya yang menyatakan bahwa tidak ada seorang
pun yang ia cintai ketika ia kaya selain `Aisyah (putrinya). Adapun ucapannya
yang menyatakan bahwa warisan itu untuk dua saudara laki-laki dan dua saudara
perempuanmu menunjukkan bahwa mereka bukan orang asing atau kerabat jauh.
Kctika menafsirkan surah Al-Kahfi,
Imam Fakhrurrazi sedikit mengungkapkan karamah para sahabat, di antaranya
karamah Abu Bakar r.a. Ketika jenazah Abu Abu Bakar dibawa menuju pintu makam
Nabi Saw., jenazahnya mengucapkan “Assalamu alaika ya Rasulullah, Ini aku Abu
Bakar telah sampai di pintumu.” Mendadak pintu makam Nabi terbuka dan terdengar
suara tanpa rupa dari makam, “Masuklah wahai kekasihku.”
II. Karomah
Sayyidina Umar bin Khattab Ra
Kisah
1
Ibnu Abi Dunya meriwayatkan bahwa
ketika `Umar bin Khattab r.a. melewati pemakaman Baqi’, ia mengucapkan salam,
“Semoga keselamatan dilimpahkan padamu, hai para penghuni kubur. Kukabarkan
bahwa istri kalian sudah menikah lagi, rumah kalian sudah ditempati, kekayaan
kalian sudah dibagi.” Kemudian ada suara tanpa rupa menyahut, “Hai `Umar bin
Khattab, kukabarkan juga bahwa kami telah mendapatkan balasan atas kewajiban
yang telah kami lakukan, keuntungan atas harta yang yang telah kami dermakan,
dan penyesalan atas kebaikan yang kami tinggalkan.” (Dikemukakan dalam bab
tentang kubur)
Yahya bin Ayyub al-Khaza’i
menceritakan bahwa `Umar bin Khattab mendatangi makam seorang pemuda lalu
memanggilnya, “Hai Fulan! Dan orang yang takut akan saat menghadap Tuhannya,
akan mendapat dua surga (QS Al-Ralunan [55]: 46). Dari liang kubur pemuda itu,
terdengar jawaban, “Hai ‘Umar, Tuhanku telah memberikan dua surga itu kepadaku
dua kali di dalam surga.” (Riwayat Ibnu ‘Asakir)
Kisah
2
Al Taj al-Subki mengemukakan bahwa
salah satu karamah Khalifah ‘Umar al-Faruq r.a. dikemukakan dalam sabda Nabi
yang berbunyi, “Di antara umat-umat scbclum kalian, ada orang-orang yang
menjadi legenda. Jika orang seperti itu ada di antara umatku, dialah ‘Umar.”
Kisah
3
Diceritakan bahwa `Umar bin Khattab
r.a. mengangkat Sariyah bin Zanim al-Khalji sebagai pemimpin salah satu
angkatan perang kaum muslimin untuk menycrang Persia. Di Gerbang Nihawan,
Sariyah dan pasukannya terdesak karena jumlah pasukan musuh yang sangat banyak,
sehingga pasukan muslim hampir kalah. Sementara di Madinah, `Umar naik ke atas
mimbar dan berkhutbah.
Di tengah-tengah khutbahnya, ‘Umar berseru dengan suara
lantang, “Hai Sariyah, berlindunglah ke gunung. Barangsiapa menyuruh esrigala
untuk menggembalakan kambing, maka ia telah berlaku zalim!” Allah membuat
Sariyah dan seluruh pasukannya yang ada di Gerbang Nihawan dapat mendengar
suara `Umar di Madinah. Maka pasukan muslimin berlindung ke gunung, dan
berkata, “Itu suara Khalifah `Umar.” Akhirnya mereka selamat dan memperoleh
kemenangan.
Al Taj al-Subki menjelaskan bahwa
ayahnya (Taqiyuddin al-Subki) menambahkan cerita di atas. Pada saat itu, Ali
menghadiri khutbah `Umar lalu ia ditanya, “Apa maksud perkataan Khalifah `Umar
barusan dan di mana Sariyah sekarang?” Ali menjawab, “‘Doakan saja Sariyah.
Setiap masalah pasti ada jalan keluarnya.” Dan setelah kejadian yang dialami
Sariyah dan pasukannya diketahui umat muslimin di Madinah, maksud perkataan
`Umar di tengah-tengah khutbahnya tersebut menjadi jelas
Menurut al Taj al-Subki, `Umar r.a.
tidak bermaksud menunjukkan karamahnya ini, Allah-lah yang menampakkan
karamahnya, sehingga pasukan muslimin di Nihawan dapat melihatnya dengan mata
telanjang, seolah-olah `Umar menampakkan diri secara nyata di hadapan mereka
dan meninggalkan majelisnya di Madinah sementara seluruh panca indranya
merasakan bahaya yang menimpa pasukan muslimin di Nihawan. Sariyah berbicara
dengan `Umar seperti dengan orang yang ada bersamanya, baik `Umar benar-benar
bersamanya secara nyata atau seolah-olah bersamanya. Para wali Allah terkadang
mengetahui hal-hal luar biasa yang dikeluarkan oleh Allah melalui lisan mereka
dan terkadang tidak mengetahuinya. Kedua hal tersebut adalah karamah.
Kisah
4
Dalam kitab al-Syamil, Imain
al-Haramain menceritakan Karamah ‘Umar yang tampak ketika terjadi gempa bumi
pada masa pemerintahannya. Ketika itu, ‘Umar malah mengucapkan pujian dan
sanjungan kepada Allah, padahal bumi bergoncang begitu menakutkan. Kemudian
`Umar memukul bumi dengan kantong tempat susu sambil berkata, “Tenanglah kau
bumi, bukankah aku telah berlaku adil kepadamu.” Bumi kembali tenang saat itu
juga. Menurut Imam al-Haramain, pada hakikatnya `Umar r.a. adalah amirul
mukminin secara lahir dan batin juga sebagai khalifah Allah bagi bumi-Nya dan
bagi penduduk bumi-Nya, sehingga `Umar mampumemerintahkan dan menghentikan
gerakan bumi, sebagaimana ia menegur kesalahan-kesalahan penduduk bumi.
Kisah
5
Imam al-Haramain juga mengemukakan
kisah tentang sungai Nil dalam kaitannya dengan karamah ‘Umar. Pada masa
jahiliyah, sungai Nil tidak mengalir sehingga setiap tahun dilemparlah tumbal
berupa seorang perawan ke dalam sungai tersebut. Ketika Islam datang, sungai
Nil yang seharusnya sudah mengalir, tenyata tidak mengalir. Penduduk Mesir kemudian
mendatangi Amr bin Ash dan melaporkan bahwa sungai Nil kering sehingga diberi
tumbal dengan melempar seorang perawan yang dilengkapi dengan perhiasan dan
pakaian terbaiknya. Kemudian Amr bin Ash r.a. berkata kepada mereka,
“Sesungguhnya hal ini tidak boleh dilakukan karena Islam telah menghapus
tradisi tersebut.” Maka penduduk Mesir bertahan selama tiga bulan dengan tidak
mengalirnya Sungai Nil, sehingga mereka benar-benar menderita.
‘Amr menulis surat kepada Khalifah
`Umar bin Khattab untuk menceritakan peristiwa tersebut. Dalam surat jawaban
untuk ‘Amr bin Ash, ‘Umar menyatakan, “Engkau benar bahwa Islam telah menghapus
tradisi tersebut. Aku mengirim secarik kertas untukmu, lemparkanlah kertas itu
ke sungai Nil!” Kemudian Amr membuka kertas tersebut sebelum melemparnya ke
sungai Nil. Ternyata kertas tersebut berisi tulisan Khalifah ‘Umar untuk sungai
Nil di Mesir yang menyatakan, “Jika kamu mengalir karena dirimu sendiri, maka
jangan mengalir. Namun jika Allah Yang Maha Esa dan Maha Perkasa yang mengalirkanmu,
maka kami mohon kepada Allah Yang Maha Esa dan Maha Perkasa untuk membuatmu
mengalir.” Kemudian ‘Amr melempar kertas tersebut ke sungai Nil sebelum
kekeringan benar-bcnar terjadi. Sementara itu penduduk Mesir telah bersiap-siap
untuk pindah meninggalkan Mesir. Pagi harinya, ternyata Allah Swt. telah
mengalirkan sungai Nil enam belas hasta dalam satu malam.
Kisah
6
Imam al-Haramain menceritakan
karamah `Umar lainnya. ‘Umar pernah memimpin suatu pasukan ke Syam. Kemudian
ada sekelompok orang menghalanginya, sehingga ‘Umar berpaling darinya. Lalu
sekelompok orang tadi menghalanginya lagi, `Umar pun berpaling darinya lagi.
Sekelompok orang tadi menghalangi `Umar untuk ketiga kalinya dan ‘Umar
berpaling lagi darinya. Pada akhirnya, diketahui bahwa di dalam sekelompok
orang tersebut terdapat pembunuh ‘Utsman dan Ali r.a.
Kisah
7
Dalam kitab Riyadh al-Shalihin,
Imam Nawawi mengemukakan bahwa Abdullah bin `Umar r.a. berkata, “Setiap kali
`Umar mengatakan sesuatu yang menurut prasangkaku begini, pasti prasangkanya
itu yang benar.”
Saya tidak mengemukakan riwayat dari
Ibnu `Umar tersebut dalam kitab Hujjatullah ‘ala al-‘Alamin. Kisah
tentang Sariyah dan sungai Nil yang sangat terkenal juga disebutkan dalam kitab
Thabaqat al-Munawi al-Kubra. Dalam kitab tersebut juga dikemukakan
karamah ‘Umar yang lainnya yaitu ketika ada orang yang bercerita dusta
kepadanya, lalu `Umar menyuruh orang itu diam. Orang itu bercerita lagi kepada
`Umar, lalu Umar menyuruhnya diam. Kemudian orang itu berkata, “Setiap kali aku
berdusta kepadamu, niscaya engkau menyuruhku diam.”
Kisah
8
Diccritakan bahwa ‘Umar bertanya
kepada seorang laki-laki, “Siapa namamu?” Orang itu menjawab, “Jamrah (artinya
bara).” `Umar bertanya lagi, “Siapa ayahmu?” Ia menjawab, “Syihab (lampu).”
`Umar bertanya, “Keturunan siapa?” Ia menjawab, “Keturunan Harqah (kebakaran).”
‘Umar bertanya, “Di mana tempat tinggalmu?” Ia menjawab, “Di Al Harrah
(panas).” `Umar bertanya lagi, “Daerah mana?” Ia menjawab, “Di Dzatu Lazha
(Tempat api).” Kemudian `Umar berkata, “Aku melihat keluargamu telah terbakar.”
Dan seperti itulah yang terjadi.
Kisah
9
Fakhrurrazi dalam tafsir surah
Al-Kahfi menceritakan bahwa salah satu kampung di Madinah dilanda kebakaran.
Kemudian `Umar menulis di secarik kain, “Hai api, padamlah dengan izin Allah!”
‘Secarik kain itu dilemparkan ke dalam api, maka api itu langsung padam.
Kisah
10
Fakhrurrazi menceritakan bahwa ada
utusan Raja Romawi datang menghadap `Umar. Utusan itu mencari rumah `Umar dan
mengira rumah ‘Umar seperti istana para raja. Orang-orang mengatakan, “‘Umar
tidak memiliki istana, ia ada di padang pasir sedang memerah susu.” Setelah
sampai di padang pasir yang ditunjukkan, utusan itu melihat `Umar telah
meletakkan kantong tempat susu di bawah kepalanya dan tidur di atas tanah.
Terperanjatlah utusan itu melihat `Umar, lalu berkata, “Bangsa-bangsa di Timur
dan Barat takut kepada manusia ini, padahal ia hanya seperti ini.
Dalam hati ia
berjanji akan membunuh `Umar saat sepi seperti itu dan membebaskan ketakutan
manusia terhadapnya. Tatkala ia telah mengangkat pedangnya, tiba-tiba Allah
mengeluarkan dua harimau dari dalam bumi yang siap memangsanya. Utusan itu
menjadi takut sehingga terlepaslah pedang dari tangannya. ‘Umar kemudian
terbangun, dan ia tidak melihat apa-apa. ‘Umar menanyai utusan itu tentang apa
yang terjadi. Ia menuturkan peristiwa tersebut, dan akhirnya masuk Islam.
Menurut Fakhrurrazi,
kejadian-kejadian luar biasa di atas diriwayatkan secara ahad (dalam salah satu
tingkatan sanadnya hanya ada satu periwayat). Adapun yang dikisahkan secara
mutawatir adalah kenyataan bahwa meskipun `Umar menjauhi kekayaan duniawi dan
tidak pernah memaksa atau menakut-nakuti orang lain, ia mampu menguasai daerah
Timur dan Barat, serta menaklukkan hati para raja dan pemimpin. Jika anda
mengkaji buku-buku sejarah, anda tak akan menemukan pemimpin seperti ‘Umar,
sejak zaman Adam sampai sekarang. Bagaimana ‘Umar yang begitu menghindari sikap
memaksa bisa menjalankan politiknya dengan gemilang. Tidak diragukan lagi, itu
adalah karamahnya yang paling besar.
III. Karomah
Sayyidina Utsman Bin Affan Ra
Kisah
1
Dalam kitab Al-Thabaqat, Taj
al-Subki menceritakan bahwa ada seorang laki-laki bertamu kepada ‘Utsman.
Laki-laki tersebut baru saja bertemu dengan seorang perempuan di tengah jalan,
lalu ia menghayalkannya. ‘Utsman berkata kepada laki-laki itu, “Aku melihat ada
bekas zina di matamu.” Laki-laki itu bertanya, “Apakah wahyu masih diturunkan
sctelah Rasulullah Saw wafat?” `Utsman menjawab, “Tidak, ini adalah firasat
seorang mukmin.” `Utsman r.a. mengatakan hal tersebut untuk mendidik dan
menegur laki-laki itu agar tidak mengulangi apa yang telah dilakukannya.
Selanjutnya Taj al-Subki menjelaskan
bahwa bila seseorang hatinya jernih, maka ia akan melihat dengan nur Allah,
sehingga ia bisa mengetahui apakah yang dilihatnya itu kotor atau bersih. Maqam
orang-orang seperti itu berbeda-beda. Ada yang mengetahui bahwa yang dilihatnya
itu kotor tetapi ia tidak mengetahui sebabnya. Ada yang maqamnya lebih tinggi
karena mengetahui sebab kotornya, seperti ‘Utsman r.a. Ketika ada seorang
laki-laki datang kepadanya, `Utsman dapat melihat bahwa hati orang itu kotor
dan mengetahui sebabnya yakni karena menghayalkan seorang perempuan.
Artinya, setiap maksiat itu kotor,
dan menimbulkan noda hitam di hati sesuai kadar kemaksiatannya sehingga
membuatnya kotor, sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah, “Sekali-kali
tidak demikian, sesungguhnya apa yang mereka kerjakan itu mengotori hati mereka
(QS Al-Muthaffifin [83]: 14).
Semakin lama, kemaksiatan yang
dilakukan membuat hati semakin kotor dan ternoda, sehingga membuat hati menjadi
gelap dan menutup pintu-pintu cahaya, lalu hati menjadi mati, dan tidak ada
jalan lagi untuk bertobat, seperti dinyatakan dalam firman Nya, Dan hati
mereka telah dikunci mati, sehingga mereka tidak mengetahui kebahagiaan beriman
dan berjihad. (QS Al Taubah [9]: 87)
Sekecil apa pun kemaksiatan akan
membuat hati kotor sesuai kadar kemaksiatan itu. Kotoran itu bisa dibersihkan
dengan memohon ampun (istighfar) atau perbuatan-perbuatan lain yang dapat menghilangkannya.
Hal tersebut hanya diketahui oleh orang yang memiliki mata
batin yang tajam seperti ‘Utsman bin `Affan, sehingga ia bisa mengetahui
kotoran hati meskipun kecil, karena menghayalkan seorang perempuan merupakan
dosa yang paling ringan, `Utsman dapat melihat kotoran hati itu dan mengetahui
sebabnya. Ini adalah maqam paling tinggi di antara maqam-maqam lainnya. Apabila
dosa kecil ditambah dosa kecil lainnya, maka akan bertambah pula kekotoran
hatinya, dan apabila dosa itu semakin banyak maka akan membuat hatinya gelap.
Orang yang memiliki mata hati akan mampu melihat hal ini.
Apabila kita bertemu
dengan orang yang penuh dosa sampai gelap hatinya, tetapi kita tidak mampu
mengetahui hal tersebut, berarti dalam hati kita masih ada penghalang yang
membuat kita tidak mampu melihat hal tersebut, karena orang yang mata hatinya
jernih dan tajam pasti akan mampu melihat dosa-dosa orang tersebut.
Kisah
2
Ibnu `Umar r.a. menceritakan bahwa
Jahjah al-Ghifari mendekati ‘Utsman r.a. yang sedang berada di atas mimbar.
Jahjah merebut tongkat ‘Utsman, lalu mematahkannya. Belum lewat setahun, Allah
menimpakan penyakit yang menggerogoti tangan Jahjah, hingga merenggut
kematiannya. (Riwayat Al-Barudi dan Ibnu Sakan)
Dalam riwayat lain dikisahkan bahwa
Jahjah al-Ghifari mendekati `Utsman yang sedang berkhutbah, merebut tongkat
dari tangan `Utsman, dan meletakkan di atas lututnya, lalu mematahkannya.
Orang-orang menjerit. Allah lalu menimpakan penyakit pada lutut Jahjah dan
tidak sampai setahun ia meninggal. (Riwayat Ibnu Sakan dari Falih bin Sulaiman
yang saya kemukakan dalam kitab Hujjatullah `ala al-Alamin)
Kisah
3
Diceritakan bahwa Abdullah bin Salam
mendatangi `Utsman r.a. yang sedang dikurung dalam tahanan untuk mengucapkan
salam kepadanya. ‘Utsman bercerita, “Selamat datang saudaraku. Aku melihat
Rasulullah Saw dalam ventilasi kecil ini. Rasulullah bertanya, “Utsman, apakah
mereka mengurungmu?’ Aku menjawab, `Ya.’ Lalu beliau memberikan seember air
kepadaku dan aku meminumnya sampai puas. Rasulullah berkata lagi, `Kalau kau
mau bebas.niscaya engkau akan bebas, dan kalau kau mau makan bersama kami mari
ikut kami.’ Kemudian aku memilih makan bersama mereka.” Pada hari itu juga,
`Utsman terbunuh.
Menurut Jalaluddin al-Suyuthi, kisah
ini adalah kisah masyhur yang diriwayatkan dalam kitab-kitab hadis dengan
beberapa sanad berbeda, termasuk jalur sanad Harits bin Abi Usamah. Menurut
Ibnu Bathis, apa yang dialami ‘Utsman adalah mimpi pada saat terjaga sehingga
bisa dianggap karamah. Karena semua orang bisa bermimpi ketika tidur, maka
mimpi ketika tidur tidak termasuk kejadian luar biasa yang bisa dianggap
sebagai karamah. Hal ini disepakati oleh orang yang mengingkari karamah para
wali. (Dikutip dalam Tabaqat al-Munawi dari kitab Itsbat al-Karamah
karya Ibnu Bathis)
IV. Karomah
Sayyidina `Ali bin Abi Thalib k.w.
Kisah
1
Said bin Musayyab menceritakan bahwa
ia dan para sahabat menziarahi makam-makam di Madinah bersama `Ali. Ali lalu
berseru, “Wahai para penghuni kubur, semoga dan rahmat dari Allah senantiasa
tercurah kepada kalian, beritahukanlah keadaan kalian kepada kami atau kami
akan memberitahukan keadaan kami kepada kalian.” Lalu terdengar jawaban,
“Semoga keselamatan, rahmat, dan berkah dari Allah senantiasa tercurah untukmu,
wahai amirul mukminin. Kabarkan kepada kami tentang hal-hal yang terjadi
setelah kami.”
Ali berkata, “Istri-istri kalian sudah menikah lagi, kekayaan
kalian sudah dibagi, anak-anak kalian berkumpul dalam kelompok anak-anak yatim,
bangunan-bangunan yang kalian dirikan sudah ditempati musuh-musuh kalian.
Inilah kabar dari kami, lalu bagaimana kabar kalian?” Salah satu mayat
menjawab, “Kain kafan telah koyak, rambut telah rontok, kulit mengelupas, biji
mata terlepas di atas pipi, hidung mengalirkan darah dan nanah. Kami
mendapatkan pahala atas kebaikan yang kami lakukan dan mendapatkan kerugian
atas kewajiban yang yang kami tinggalkan. Kami bertanggung jawab atas perbuatan
kami.” (Riwayat Al-Baihagi)
Kisah
2
Dalam kitab Al-Tabaqat, Taj al-Subki
meriwayatkan bahwa pada suatu malam, `Ali dan kedua anaknya, Hasan dan Husein
r.a. mendengar seseorang bersyair:
Hai Zat yang mengabulkan doa orang
yang terhimpit kezaliman
Wahai Zat yang menghilangkan penderitaan, bencana, dan sakit
Wahai Zat yang menghilangkan penderitaan, bencana, dan sakit
Utusan-Mu tertidur di rumab Rasulullab sedang orang-orang kafir mengepungnya
Dan Engkau Yang Maha Hidup lagi Maha Tegak tidak pernah tidur
Dengan kemurahan-Mu, ampunilah dosa-dosaku
Wahai Zat tempat berharap makhluk di Masjidil Haram
Kalau ampunan-Mu tidak bisa diharapkan oleh orang yang bersalah
Siapa yang akan menganugerahi nikmat kepada orang-orang yang durhaka.
`Ali lalu menyuruh orang mencari si
pelantun syair itu. Pelantun syair itu datang menghadap Ali seraya berkata,
“Aku, ya Amirul mukminin!” Laki-laki itu menghadap sambil menyeret sebelah
kanan tubuhnya, lalu berhenti di hadapan All. Ali bertanya, “Aku telah
mendengar syairmu, apa yang menimpamu?” Laki-laki itu menjawab, “Dulu aku sibuk
memainkan alat musik dan melakukan kemaksiatan, padahal ayahku sudah
menasihatiku bahwa Allah mcmiliki kekuasaan dan siksaan yang pasti akan menimpa
orang-orang zalim. Karena ayah terus-menerus menasihati, aku memukulnya.
Karenanya, ayahku bersumpah akan mendoakan keburukan untukku, lalu ia pergi ke Mekkah
untuk memohon pertolongan Allah. Ia berdoa, belum selesai ia berdoa, tubuh
sebelah kananku tiba-tiba lumpuh. Aku menyesal atas semua yang telah aku
lakukan, maka aku meminta belas kasihan dan ridha ayahku sampal la berjanji
akan mendoakan kebaikan untukku jika Ali mau berdoa untukku. Aku mengendarai
untanya, unta betina itu melaju sangat kencang sampai terlempar di antara dua
batu besar, lalu mati di sana.”
`Ali lalu berkata, “Allah akan
meridhaimu, kalau ayahmu meridhaimu.” Laki-laki itu menjawab, “Demi Allah,
demikianlah yang terjadi.” Kemudian ‘Ali berdiri, shalat beberapa rakaat, dan
berdoa kepada Allah dngan pelan, kemudian berkata, “Hai orang yang diberkahi,
bangkitlah!” Laki-laki itu berdiri, berjalan, dan kembali sehat seperti sedia
kala. `Ali berkata, “Jika engkau tidak bersumpah bahwa ayahmu akan meridhaimu,
maka aku tidak akan mendoakan kebaikan untukmu.”
Kisah
3
Fakhrurrazi yang hanya sedikit
memasukkan cerita-cerita tentang karamah para sahabat dalam kitabnya, juga
meriwayatkan bahwa seorang budak kulit hitam penggemar `Ali mencuri. Budak itu
diajukan kepada Ali dan ditanya, “Betulkah kau mencuri?” la menjawab, “Ya,”
maka `Ali memotong tangannya.
Budak itu berlalu dari hadapan `Ali, kemudian
berjumpa dengan Salman al-Farisi dan Ibnu al-Kawwa’. Ibnu al-Kawwa’ bertanya,
“Siapa yang telah memotong tanganmu?” Ia menjawab, “Amirul mukminin, pemimpin
besar umat muslim, menantu Rasullah, dan suami Fatimah.” Ibnu al-Kawwa’
bertanya, “la telah memotong tanganmu dan kamu masih juga memujinya?” Budak itu
menjawab, “Mengapa aku tidak memujinya? Ia mcmotong tanganku sesuai dengan
kebenaran dan berarti membebaskanku dari neraka.”
Salman mendengarkan penuturan budak
itu, lalu menceritakannya kepada All. Selanjutnya Ali memanggil budak hitam
itu, lalu meletakkan tangan yang telah dipotong di bawah lengannya, dan
menutupnya dengan selendang, kemudian Ali memanjatkan doa. Orang-orang yang ada
di sana tiba-tiba mendengar seruan dari langit, “Angkat selendang itu dari
tangannya!” Ketika selendang itu diangkat, tangan budak hitam itu tersambung
kembali dengan izin Allah.
Kisah
4
Dalam kitab Al-I`tibar, Usamah bin
Munqidz mengemukakan kisah yang didengamya dari Syihabuddin Abu al-Fath,
pelayan Mu’izuddaulah bin Buwaihi di Mosul pada tanggal 18 Ramadhan 566 M.
Diceritakan bahwa ketika Syihabuddin berada di dalam Masjid Shunduriyah di
pinggir kota Anbar daerah Tepi Barat, Khalifah Al-Muqtafi datang berkunjung
bersama salah seorang menterinya. AI-Mugtafi memasuki masjid tersebut, yang
dikenal dengan sebutan Masjid Amirul Mukminin Ali, dengan memakai baju biasa
dan menyandang pedang yang hiasannya dari besi.
Tak seorang pun mengetahui
bahwa ia adalah seorang khalifah, kecuali orang-orang yang telah mengenalnya.
Pengurus masjid mendoakan sang menteri. Lalu sang menteri berkata, “Celaka,
doakanlah khalifah!”
Kemudian Khalifah Al-Mugtafi berkata
kepada menterinya, “Tanyakan sesuatu yang bermanfaat pada pengurus masjid itu.
Katakan padanya bahwa dulu pada masa pemcrintahan Maulana Al-Mustazhhir, aku
melihat la menderita sakit di wajahnya. Wajahnya penuh bisul schingga jika mau
makan, bisulnya harus ditutup dengan sapu tangan, agar makanan bisa masuk ke
mulutnya.”
Pengurus masjid itu menjelaskan,
“Seperti Anda ketahui, aku berulang kali datang ke masjid ini dari Anbar. Suatu
hari, ada seseorang menemuiku dan berkata, `Kalau engkau berulang kali menemui
si Fulan setiap datang dari Anbar, seperti engkau berulang kali datang ke
masjid ini, niscaya si Fulan akan memanggilkan tabib untukmu yang bisa
menghilangkan penyakit di wajahmu.’ Perkataan orang itu merasuk ke hatiku dan
menghimpit dadaku. Lalu aku tertidur pada malam itu dan bermimpi bertemu amirul
mukminin Ali bin Abi Thalib yang tengah berada dalam masjid tersebut seraya
bertanya, `Lubang apa ini?’ Maksudnya adalah sebuah lubang di tanah. Kemudian
aku mengadukan penyakit yang menimpaku tetapi `Ali berpaling dariku. Maka aku
kembali mengadukan penyakitku dan perkataan yang diucapkan oleh lelaki yang
menemuiku di masjid tadi. All berkata, `Engkau termasuk orang yang menginginkan
dunia.’ Kemudian aku terbangun, dan tiba-tiba bisul-bisul di wajahku lenyap.”
Khalifah Al-Mugtafi berkata, “Ia
benar,” lalu menoleh ke arah Syihabuddin dan berkata, “Bicaralah pada pengurus
masjid itu, cari tahu apa yang la minta, tuliskan permintaannya disertai tanda
tangannya, dan berikan padaku untuk kutandatangani.”
Selanjutnya Syihabuddin
berbincang-bincang dengan pengurus masjid itu, dan pengurus masjid itu
bercerita, “Aku memiliki istri yang sedang menyusui anak dalam keadaan hamil
dan beberapa anak perempuan. Setiap bulan, aku membutuhkan 3 dinar.”
Syihabuddin menuliskan permintaan pengurus masjid Ali itu beserta alamatnya dan
Al-Mugtafi menandatanganinya.
Al-Mugtafi kemudian menyuruh Syihabuddin untuk menyampaikan permintaan pengurus masjid itu ke dewan keuangan. Syihabuddin membawa berkas permintaan pengurus masjid itu ke dewan keuangan dan dewan menandatanganinya tanpa membacanya serta mengambil bagian tulisan khalifah Al-Mugtafi. Ketika sekretaris dewan membuka tulisan itu untuk dipindahkan, ia menemukan tulisan khalifah Al-Mugtafi di bawah tanda tangan pengurus masjid Ali yang berbunyi, “Seandainya ia meminta lebih dari itu, tentu akan diberi.”
Kisah
5
Kisah lainnya menceritakan bahwa
Nabi Muhammad Saw menyuruh Abu Dzar memanggil Ali. Sesampai di rumah Ali, Abu
Dzar melihat alat penggiling sedang menggiling gandum padahal tidak ada seorang
pun di sana. Kemudian Abu Dzar menceritakan hal tersebut kepada Nabi Saw Beliau
berkata, “Hai Abu Dzar! Tahukah kau bahwa Allah memiliki malaikat-malaikat yang
berjalan-jalan di bumi dan mereka diperintahkan untuk membantu keluarga Nabi
Muhammad Saw.” (Dikemukakan olch Al-Shubban dalam kitab Is`af al-Raghibin dan
Al Mala’ dalam kitab Sirahnya)
0 komentar:
Posting Komentar
WHAT IS YOUR OPINION?