SEORANG 'NABI' NEMBAK CEWEK DAN DITOLAK, KASIHAN BANGET !

‘WAHYU CINTA’ MIRZA GHULAM AHMAD
MIRZA GHULAM AHMAD - SANG NABI PALSU



Panjang lebar Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad menulis biografi Mirza Ghulam Ahmad  dalam Riwayat Hidup Mirza Ghulam Ahmad. Namun, di buku berjudul asli Sirat Masih Mau’ud as itu, Bashiruddin yang juga khalifatul masih II tak mencantumkan secuil pun fakta kisah cinta ayahnya.

Ada 88 kitab- termasuk Tadzkirah-yang dikarang Mirza Ghulam Ahmad, yang diantaranya merekam ‘wahyu-wahyu’ yang menjadi saksi kegagalan cinta Mirza Ghulam Ahmad. Tapi, bagaimana bisa meleset? Bukankah Mirza Ghulam Ahmad adalah nabi, rasul, almasih, almahdi, krishna, brahman avatar , titisan nabi-nabi sejak adam, mujaddid, imam zaman, dan lain-lain?

Abdullah Hasan Alhadar, dalam bukunya Ahmadiyah Telanjang bulat Dipanggung Sejarah, menuliskan kisah itu dengan judul ‘love Affair Mirza’. Dia menyebutnya ‘kisah 1001 malam’ dengan Mirza Ghulam Ahmad sebagai majnunnya. Roman ini, mulanya ditulis oleh penulis india, Sheikh Abu Bakar Najar, dalam risalah Do You Know About Mirza in Love?

Alkisah, pada suatu hari, Mirza Ghulam Ahmad yang sudah sakit-sakitan akibat diabetes, vertigo, gangguan penglihatan, dan lain-lain, melihat gadis bernama Muhammadi Begum. Dia putri paman ibu Mirza, Mirza Ahmad Beg. Jatuh cinta, Mirza Ghulam Ahmad, yang telah beristri dua, melamar gadis itu. Tapi betapa terkejutnya nabi Mirza, karena lamarannya ditolak.

Buntutnya, Mirza Ghulam Ahmad mengumumkan ‘wahyu’ yang susul-menyusul. Mulai yang berkonten persuasif, hingga mengancam dan mengultimatum.

Tadzkirah hlm 157 menyatakan: “maka Allah menyatakan kepadaku, hendaklah engkau melamar perempuannya yang paling besar untukmu, dan katakanlah kepadanya (Ahmad Beg) agar dia menjadikan engkau sebagai menantu lebih dahulu….dan jika engkau tidak menerima (lamaranku) maka ketahuilah bahwa Allah telah mengabarkan kepadaku bahwa (kalau kamu) menikahkan anakmu dengan laki-laki lain, maka tidak diberkahi dan juga kepadamu (ahmad Beg). Dan jika kamu merasa takut, maka akan ditimpakan kepadamu bencana-bencana. Dan bencana yang paling akhir adalah kematianmu, kamu akan mati setelah pernikahan itu tiga tahun bahkan kematian itu lebih dekat, dan mati itu akan datang sedang kamu dalam keadaan lalai. Begitu pula suaminya akan mati setelah dua tahun enam bulan….”

Dalam Izalatil Auham hlm.396, Mirza mengumumkan ‘wahyu’: “Bahwa putri Ahmad Beg akan menjadi salah seorang istrinya, tetapi keluarganya akan menentangmu dan akan berusaha supaya perkawinanmu tidak terlaksana. Tapi jangan khawatir karena Allah akan memenuhi janjinya dan menyerahkan putri itu padamu, dan tak ada seorang pun sanggup menghalangi apa yang menjadi kehendak Allah.”

Karena orang tua gadis iut tak terpengaruh, turun lagi wahyu seperti tertulis di Asmani Risalat hlm 40: “Aku Allah telah menikahkan gadis itu padamu, hai mirza! Tak ada perubahan atas kata-kata-Ku….”

Di kitab Tukhfah Baghdad hlm. 28, Mirza Ghulam Ahmad juga menulis wahyu: “bergembiralah engkau hai Mirza, bahwa Aku menikahkan engkau dan Aku telah kawinkan gadis itu dengan engkau.”

Karena wahyu-wahyu itu tak kesampaian, masyarakat mulai mengolog-olog Mirza Ghulam Ahmad. Mirza Ghulam Ahmad mengumumkan lalu ‘wahyu’ yang tercatat di Dafa Elwathawis hlm 228: “Biarlah mereka yang mengingkari kebenaran akan diperingatkan dan menyesali diri mereka, demikian ramalanku pasti tepat.”

‘wahyu’ terus turun, tapi Ahmad Beg memutuskan menikahkan putrinya dengan seorang pemuda, sultan Muhammad, Mirza Ghulam Ahmad lalu menulis surat berisi permohonan dan peringatan yang dikirimkan kepada sejumlah keluarga gadis itu. Tapi, penolakan tak berkurang.

Bahkan, istri anaknya, juga menolak. Buntutnya, Mirza Ghulam Ahmad meminta anaknya, Mirza Fadl menceraikan istrinya. Putra lainnya yang tidak menyukai cara-cara ayahnya, dihardik oleh Mirza dan tidak diberi hak waris. Peristiwa ini tertulis di Seeratul Mahdi hlm 22.

Pad 7 April 1892, ketika pengikut-pengikut Mirza Ghulam Ahmad sedang asyik berdoa di masjid agar perkawinan batal, diluar masjid terjadi keramaian. Resepsi pernikahan Muhammadi dengan Sultan sedang berlangsung.

Meresponsnya, turun lagi ‘wahyu’ yang tercatat di Tadzkirah hlm 160-161: “ Sesungguhnya dia akan dijadikan seorang janda, dan suaminya serta bapaknya akan mati tiga tahun kemudian setelah hari pernikahan. Kemudian kami akan mengembalikannya kepadamu setelah kematian mereka berdua…”

Waktu terus bergulir. Sembilan tahun sudah usia pernikahan Muhammadi-sultan, dan tak terjadi apa-apa. Pada 1 Agustus 1901, Mirza Ghulam Ahmad meunlis diharian Al Hakam Vol 5 No 29: Sesungguhnya gadis ini belum menjadi istriku, namun demikian jangan kira aku tidak akan mengawininya. Sebagaimana aku telah katakan sebelumnya. Dan barang siapa mencemooh aku, akan mendapat malu. Karena gadis ini masih hidup maka ia akan menemui aku dalam suatu perkawinan yang akan datang.”

Tahun 1908, Mirza Ghulam Ahmad meninggal. Adapun Muhammadi dan Sultan, tetap hidup. Bahkan Sultan ikut perang Dunia I. Dia memang mendapat luka-luka , tapi sembuh dan hidup bahagia bersama istrinya.

Nurrudin, khalifatul masih I, berapologi lewat media kalangan Ahmadiyah.org, Fathurrahman Ahmadi Djajasugita dalam tulisannya ‘tanggapan atas artikel-artikel’, menyebut kegagalan itu karena Ahamd Beg, sultan, dan Muhammadi adalah penganut Hindu dan sangat membenci Islam.

Hasan bin Mahmud Audah, mantan direktur umum seksi bahasa Arab Jemaat Ahmadiyah Pusat London, dalam bukunya, Ahmadiyah : kepercayaan-kepercayaan dan pengalaman-pengalaman menulis sedikit soal kisah ini. Dia menyatakan saat terpikat pada Muhammadi, usia Mirza Ghulam Ahmad 60 tahun.

“Di antara perkara yang mesti seseorang berhenti dalam pengamatannya terhadap kehidupan Mirza Ghulam, adalah bersikerasnya mengawini gadis berumur 17 tahun, “kata Audah yang telah keluar dari Ahmadiyah, dan melakukan berbagai upaya mengajak warga ahmadiyah kembali kepada Islam.

Soal Muhammadi Begum, dia menyatakan, “(Muhammadi Begum) seorang wanita muslimah dari kalangan famili Yang tidak membenarkan kenabian Mirza Ghulam Ahmad.” Keluarga Mirza Ghulam Ahmad yang juga tidak beriman pada kenabiannya adalah anak-anaknya sendiri, yaitu Mirza Sultan dan Mirza Fadl.

“Masalah ini (kisah Mirza Ghulam Ahmad-Muhammadi) jarang dibicarakan orang-orang Ahmadiyah,” kata mantan Mubaligh Ahmadiyah dan lama menetap di Qadian serta menikah dengan anak tokoh Ahmadiyah di sana.

SOURCE : PEACE
Share on Google Plus

About Rizal Palangiran

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

3 komentar:

  1. Jawaban tulisan diatas ada di Buku Bukan Sekedar Hitan Putih halaman 213, silakan buka :
    http://www.scribd.com/doc/170126323/Bukan-Sekedar-Hitam-Putih-m-a-Suryawan

    BalasHapus
  2. Jawaban tulisan diatas juga ada di Buku Tabayyun Tadzkirah, halaman 152 Silakan baca :
    http://www.scribd.com/doc/154251229/Tabayyun-tadzkirah-h-r-Munirul-Islam-Yusuf-Shd

    BalasHapus
  3. Kisah Cinta Muhammad SAW dgn Zainab "menantunya" sendiri pun pernah menjadi isue dikalangan Anti-Islam.
    https://www.facebook.com/notes/alex-aan/muhammad-tertarik-kepada-menantunya-sendiri/10150360538574344

    Jadi wajar jika Mirza Ghulam Ahmad as diisukan seperti itu juga.

    BalasHapus

WHAT IS YOUR OPINION?