SESATKAH JAMAAH TABLIGH ? BAG. 7 : BERMARKAS DI MASJID



Mereka berkata,“ mengapa jamaah tabligh bermarkas di masjid ? mengapa tidak berkantor di gedug tersendiri sehinggah tidak mengganggu kepengurusan mesjid ?”

          Kaum  Muslimin Dan Masjid
         Masjid memiliki kepentingan dan hak - hak yang perlu ditunaikan Oleh kaum muslimin. Sedangkan jamaah tabligh menjadikan mesjid sebagai markas dan pusat hampir seluruh kegiatan mereka, tentu tentu bukan tanpa alasan. Dan sikap tersebut. Seharusnya juga menjadi sikap kaum muslimin terhadap mesjid. Karena seluruh ummat beriman bertanggung jawab dalam memakmurkan mesjid. Allah berfirman, “hanyalah yang memakmurkan masjid-masjid Allah adalah orang – orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian…” “Orang –orang musyrikin itu, tidak akan memakmurkan masjid-masjid Allah.” “Di dalamnya (masjid) ada orang-orang yang ingin membersihkan atau menyucikan diri ; dan Allah menyukai orang –orang yang suci bersih.”

         Ayat – ayat di atas dengan tegas menyatakan hubungan yang sangat erat antara keimanan dengan kemakmuran mesjid, dan antara kemusyrikan dengan tidak memakmurkan masjid, juga antara kesucian diri dengan keaktifan di mesjid.          

Seorang yang beriman itu mesti memiliki hubungan yang istimewa terhadap masjid. Masjid adalah jantung bagi ummat Islam. Masjid bagi umat Islam di ibaratkan air bagi ikan. Di situlah keimanan kaum muslimin dapat hidup, dan mendapatkan habitat ideal bagi kehidupannya. Dan bagaimana mungkin ikan dapat hidup tanpa air ? Bagaimana mungkin, jiwa dan rohani seorang muslim dapat hidup tanpa mesjid ?  

      Kepentingan ini sangat diisyaratkan oleh Nabi saw. Baik melalui peistiwa Hijrah dengan sejarah masjid Quba dan mesjid Nabawi, juga melalui peristiwa Isra Mi’raj.Yaitu perjalanan Rasulullah saw. Ke
Sidratul Muntaha yang dilalui dari mesjid ke mesjid; dari masjidil Haram ke masjidil Aqsa kemudian naik ke Sidhratul Muntaha dan kembali lagi ke Masjididil Haram.

         Pada awal kedatangan Rasulullah saw.ke madinah, beliau demikian teliti mencari lahan yang cocok untuk pembangunan masjid. Sedangkan untuk keperluan tinggal pribadi, beliau menyerahkan lokasinya kepada unta beliau; dimana ia berhenti di situlah tandanya beliau akan menetap.

         Hal ini suatu isyarat yang sangat jelas dari Rasulullah saw., bahwa dalam keadaan lelah, lapar, tanpa harta dan tempat tinggal, Rasulullah saw. Lebih mengutamakan masjid sebagai symbol jantung kehidupan masyarakat.

         Demikianlah, ciri–ciri orang beriman. Rasulullah bersabda, “Tujuh orang yang Allah akan menaungi mereka yang hari itu tidak ada naungan kecuali naungan-Nya, salah satunya adalah,….…seseorang laki-laki yang hatinya bergantung pada mesjid-masjid .”
     
    Imam Malik rah.a.berkata,“dan seseorang yang hatinya terpaut (rindu) kepada mesjid apbila keluar darinya sampai kembali kepadanya.” Imam Nawali rah.a. berpendapat,“....maksudnya adalah cinta yang luar biasa serta melazimkan berjamaah di mesjid.”Imam Nawali rah.a. mengatakan,“Di dalamnya terdapat keutamaan bagi siapa yang menetapkan masjid untuk sholat berjamaah, karena mesjid adalah rumah Allah dan rumah para muttaqin. Kewajiban atas yang di kunjunginya adalah memuliakan si pengunjung, maka bagaimana mulianya jika dimuliakan oleh yang Maha Mulia ?”

         Sebagaian besar orang menganggap makmur masjidnya, pada saat shalat jum’at, sholat led, atau hari – hari besar islam. Padahal di luar itu, marak maksiat di empat penjuru sekitar masjid Dan masjid hanya jadi penonton yang tidak dapat berbuat apa-apa.

         Oleh sebab itu sudah selaknya, setiap muslim kembali kepada semangat masjid, sebagaimana masjid Nabawi Al – munawwarah, yaitu yang dapat mewarnai umat dengan nur islam, sebagaimana Nabi saw. Membina para sahabat di mesjid menjadi pijar – pijar cahaya yang berkeliling menyinari umat manusia.
             
         Membiasakan Ke Masjid

   
       Dari Abu Hurairah ra., Rasulullah saw. Bersabda,“tempat- tempat yang paling dicintai oleh Allah ialah masjid – masjid.  ” Syaikh Qutbuddin Ad- dahlawi berkata, “Artinya, orang yang senantiasa ke mesjid, senantiasa dalam naungan rahmat Allah dan dalam curahan kebaikan dan kebahagaian.
   
      Dari Sahl bin Sa’ad As – Sa‘adi ra., Rasulullah saw. Bersabda, “Bergembiralah orang-orang yang berjalan menuju masjid dalam kegelapan akan memperoleh cahaya yang sempurna pada hari kiamat.”Ath –thayyibi berkata,“Dalam mensifatkan cahaya dengan sempurna dan dikaitkannya dengan hari kiamat ialah menunjukkan isyarat kepada wajah – wajah orang beriman pada hari kiamat, akan bercahaya. Firman Allah,“Sedang cahaya mereka memancarkan di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan “Ya rabbi kami sempurnakanlah bagi kami cahaya kami.”
   
      Rasulullah saw. Bersabda barang siapa berwudhu di rumahnya dan menyempurnakan wudhunya, kemudian mendatangi mesjid, maka ia adalah tamu Allah, dan kewajiban bagi yang dikunjungi adalah memuliakan yang mengunjungi.”
   
      Dari abu Hurairah ra., Rasulullah saw. Bersabda,“Barang siapa berangkat dan pulang (bolak –balik) ke masjid,niscaya Allah sediakan Baginya istana di surga setiap kali ia berangkat dan pulang.”
Syaikh Mulla Ali Qari berkata,“Ini menunjukkkan kebiasaan bergerak ke masjid.Dan gerakan itu menyebabkan keberkahan. Dan berangkat itu mendatangkan pahala.”                              
         Dari Amru bin Maimun ra.,“Sesungguhnya rumah - rumah AllaH Di bumi adalah masjid – masjid dan sesungguhnya kewajiban bagi Allah untuk memuliakan bagi siapa yang mengunjunginya
di dalamnya.” 
 
         Dalam hadits mengenai doa masuk masjid yang berbunyi,“Ya Allah, bukakanlah bagiku pintu rahmat – mu.” (Muslim). Penyusun Mazhahiri Haq menyatakan,“orang yang senantiasa mendatangi masjid berarti tamu Allah. Pasti tidak akan terhalang dari rahmat-Nya.
    
     Dari Utsman bin Mazh’un ra., Rasulullah saw. Bersabda, “Kerahiban umatku adalah duduk di masjid seraya menunggu waktu  shalat”. Syaikh Qutbuddin Ad – Dahlawi berkata,“Para tokoh ahli kitab, mereka menempuh jalan kerahiban yaitu meninggalkan segala kelezatan dan segala kesibukan dunia, hingga mereka tidak mau menjumpai wanita ataupun dengan manusia.Rasulullah saw. Menyatakan bahwa kerahiban umat ini adalah dengan banyak banyak duduk di majelis antara waktu shalat ke shalat yang lainnya . Menjaga ketawajuhan kepada Allah, dengan demikian, selain dapat berlepas diri dari pengaruh manusia dan kebendaan, juga mendapat pahala dan karunia Allah yang besar. Sedangkan kerahiban cara ahli kitab yang disebutkan di atas, sangat bertentangan dengan fitrah manusia dan fitrah Islam, yang dapat menghancurkan urusan agama dan urusan dunia mereka.
     
              Sungguh keadaan masjid kaum muslimin dewasa ini tidak jauh dari apa yang sudah dinyatakan oleh rasulullah saw. Dari Anas ra., beliau bersabda, “Sesungguhnya diantara tanda – tanda hari kiamat, adalah manusia berbangga – bangga dengan (bangunan) masjid – masjid mereka (namun kosong dari jamaahnya).”  

         Rasulullah saw.juga bersabda,“Akan datang suatu masa pada umatku, di mana mereka saling bermegah – megahan dengan membangun masjid, namun sedikit yang memakmurkannya. Seharusnya kita merasa khawatir atas isyarat Nabi saw. tersebut. Beliau juga bersabda, “Masjid – masjid dibangun megah ,tetapi sepi dari hidayah Allah.”
 
         Dewasa ini, semangat membangun masjid baru atau merenovasi masjid lama, layak disyukuri. Namun, fisik masjid yang megah dengan beragam corak dan arsitektur, seharusnya disertai dengan semangat berlomba untuk memakmurkan shaff – shaff shalatnya dan meningkatkan keimanan serta keshalehan masyarakatnya.

Ada sebagian panitia yang rajin saat pembangunan masjid, tetapi sesudah  masjid berdiri, selesai juga tanggung jawabnya atas masjid. Yang lebih ironis lagi adalah para pekerja yang membangun masjid bahkan tinggal di masjid ketika pembangunannya, tetapi tidak kenal shalat. Bagi mereka, tidak ada bedanya antara kerja membangun diskotik dengan mendirikan masjid. Semestinya, setelah masjid berdiri, masjidilah yang membangun umat; ′Umat membangun masjid’,′masjid membangun umat’.  
       
  Membangun masjid, umat islam unggul. Namun untuk memakmurkan isinya umat islam mandul. Pembangunan fisik masjid, tidak dibarengi dengan pembangunan ruhani umat sekitarnya. Masjid ramai hanya pada Jum’at dan Ramadhan. Selebihnya. Hanya ditunggui segelintir orang tua, atau musafir yang mampir. Kaum muslimin justru tidak merasa betah untuk tinggal di rumah Allah. Setelah tertunaikan shalat fardhu,rata – rata jamaah terburu – buru untuk meninggalkan masjid, padahal tidak ada yang patut disegerakan dirumah kecuali menonton TV atau bersantai – santai. Persis sebagaimana yang di katakan oleh Nazar bin Saburah,″orang munafik di dalam masjid itu bagaikan burung di dalam sangkar.” Akhirnya masjid laksana museum yang dikunjungi semata untuk dinikmati keindahannya.

         Dari Abu Hurairah ra., Rasulullah saw. bersabda,“Ada empat keanehan di dunia ini, yaitu; Al- Qur’an di hati orang zhalim, masjid di kawasan orang – orang yang tidak menegakkan shalat di dalamnya, Mushaf Al – Qur’an di rumah yang tidak dibaca, dan orang shaleh di tengah kumpulan orang yang rusak.”

         Jika masjid sudah mandul, maka lewat apakah umat ini dapat diperbaiki? Dimana lagi umat ini akan dibina? Jika masyarakat enggan mendatangi masjid, dan ahli masjid enggan mendekati masyarakat, lalu apa yang terjadi pada umat?

         Keimanan umat akan menjadi lumpuh. Agama menjadi layu. Dan masyarakat pun semakin rusak. Kriminalitas, ketidaktaatan, kemaksiatan. Pergaulan bebas, semakin merajalela. Semua adalah gambaran buram umat yang jauh dari masjid.

               Sayangnya hal tersebut tidak pernah menjadikan masjid sebagai solusinya. Masjid tetap menjadi pajangan. Padahal akibat menjauhi sudah terbukti di depan mata.

Menghidupkan Suasana Masjid 
      
Siapakah yang mengingkari bahwa di masjid adalah suasana yang terbaik bagi manusia di muka bumi ini? Suasana yang dipenuhi oleh rahmat dan janji – janji Allah. Dari Abu Darda ra., Rasulullah saw. bersabda,“Sesungguhnya masjid – masjid adalah rumah orang yang bertaqwa, maka barang siapa menjadikan masjid – masjid sebagai rumahnya, niscalah Allah akan menjaminnya dengan ruh dan rahmat –Nya serta dimudahkan jalannya menuju surga.”

Dari Abu Hurairah ra., rasulullah saw. bersabda, “Tidaklah berkumpul suatu kaum di salah satu rumah Allah, membaca kitabullah dan saling membacakannya diantara mereka, melainkan diturunkan ketenangan ke atas mereka, mereka diliputi rahmat, dikerumuni para malaikat, dan mereka disebut – sebut oleh Allah SWT di  hadapan  (para  malaikat ) yang berada disisi – Nya.”

Hasan Al-Bashri rah.a. berkata,“Maskawin untuk bidadari di surga adalah membersihkan masjid dan memakmurkan masjid.”

Masjid akan mewarnai siapa pun pengunjungnya, sehingga masjid menjadi sumber hidayah dan keberkahan. Pada zaman Nabi saw.,  orang-orang kafir masuk Islam hanya karena memandang amalan masjid yang hidup.

Dari Utsman bin Abil Ash ra., bahwa kaum Tsaqif datang pada masa Rasulullah saw. dan mereka ditempatkan di dalam masjid agar tersentuh hati mereka.

Dari Athiyyah bin Sufyan bin Abdillah ra., telah datang orang-orang Tsaqif kepada Rasulullah saw. pada bulan Ramadhan. Mereka ditempatkan di salah satu kubah di dalam masjid. Begitu masuk Islam, mereka pun turut berpuasa bersama Rasulullah saw..

Dari Abu Hurairah ra., Rasulullah saw. pernah mengutus satu pasukan berkuda kea rah Najed.kemudian mereka membawa seseorang tawanan dari Bani Hanifah bernama Tsumamah bin Utsal—pemimpin penduduk Yamamah –lalu para sahabat mengikatnya di sebuah tiang masjid. Selanjutnya Rasulullah saw. Mendatanginya dan bertanya, “Apa kabarmu, haiTsumamah?”

Jawabnya, “Aku baik-baik saja, hai Muhammad. Jika engkau membunuhku, maka engkau menumpahkan darah.Jika engkau memberikan kesenangan (membebaskannya), maka engkau memberi kesenangan kepada orang yang pandai bersyukur. Dan jika engkau menginginkan harta, mintalah, pasti engkau akan diberi sesukamu.” Maka Rasulullah saw. membiarkannya. Keesokan harinya, beliau bertanya, “Apa kabar,hai tsumamah?” Tsumamah mengulangi lagi jawabannya seperti kemarin. Setelah itu dibiarkan lagi oleh beliau saw.. keesokan harinya lagi,beliau memeriksanya kembali,lalu beliau bersabda,“Lepaskanlah Tsumamah!” tsumamah pun pergike sebuah kebun dekat masjid. Di sana ia mandi. Kemudian ia memasuki masjid, dan berkata, “Aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah. Dan aku bersaksi bahwa Muhammah adalah hamba dan utusan – Nya.”

Jamaah tabligh berusaha memaksimalkan kekuatan efek masjid dalam menegakkan agama dan membina umat. Dengan lebih banyak menghidupkan amalan di masjid, akan timbul pegaruh-pengaruh kebaikan pada jiwa penghuninya.

Ibnu Mu’awiyah Al-Kindi berkata,“aku menghadap Umar ra. Di Syam. Beliau menanyaiku mengenai oang-orang. Ia berkata, “Hedaknya seseorang memasuki memasuki masjid sseperti seekor unta yang berjalan.Apabila melihat suatu majelis kaumnya dan ia melihat seseorang yang dikenalnya, ia duduk bersama mereka. Aku katakan,“Tidak,tetapi itu adalah berbagai majelis, mereka duduk dan belajar kebaikan dan mendiskusikannya.” Umar ra berkata, “Senantiasa kalian dalam kebaikan, selama kalian dalam keadaan seperti itu.”

Menghidupkan Amalan Masjid

         Allah berfirman,“Dalam masjid yang telah diizinkan allaH menghormatinya dan menyebut nama-Nya dalam masjid itu, serta  bertasbih di dalamnya pada waktu pagi dan petang. Laki-laki yang  tidak dilalaikan oleh peniagaan dan tidak pula oleh jual beli dari  mengingat Allah, dan dari mendirikan shalat dan dari membayar  zakat.”                                                                                                                                                                              
Pada masa Raasulullah saw., fisik masjid Nabawi sangatlah sederhana.lantai,dinding,atap dan tiangnya jauh dari nilai masjid yang layak pada zaman ini. Demikian sedehana masjid Nabawi pada saat itu, sehingga seorang Arab Badui pun tidak mengetahui bahwa itu adalah rumah Allah --tempat suci yang harus dijaga kesuciannya-, ia langsung buang air kecil di salah satu pojok masjid.

Namun di balik kesederhanaannya, terpancar cahaya hidayah yang begitu kuat. Dari masjid yang sangat sederhana dan becek di kal hujan itu, Rasulullah saw telah mampu menaklukkan jazirah Arab. Bahkan hinggah mampu menaklukkan dua peradaban besar saat itu,yaitu;Persia dan Romawi.  Dengan berpusat dari gerakan masjid.

       Fungsi masjid tidak sekedar sarana ‘ubbudiyah,tetapi lebih multi Fungsi untuk segala kebaikan. Rasulullah saw. benar-benar mengoptimalkan potensi para sahabat dari kehidupan masjid. Masjid adalah poros segala aktivitas.

       Ketika alam menampakkan murka Allah, baik hujan yang mencekam, atau awan gelap, mereka bersegera menuju masjid. Ketika terjadi krisis ekonomi, mereka bertawajjud di masjid. Ketika haus akan ilmu, mereka bersegera ke masjid. Ketika menyusun kekuatan, mereka siapkan di masjid. Ketika ketakutan, mereka mendapatkan ketenangan di masjid, ketika mereka dilanda kejahiliyaan agama, masjid melawannya denga dakwah, ta’lim dan amar ma’ruf niahi mungkar. Di situlah masjid mewujudkan tugas Nabi saw. sebagai ‘rahmatinlil’alamin’.

       Diriwayatkan bahwa setelah Umar ra. Menaklukkan negeri-negeri, maka beliau menulis surat kepada para pengusaha di daerahnya untuk menghidupkan masjid-masjid, seperti kepada Abu Musa Al-asy’ari di Bashrah, kepada Sa’ad bin Abi waqash di Kufah, kepada Amru bin Ash di Mesir, juga kepada penguasa kota Palestin,Urdon, Himsh, Damsyik dan lain-lainnya agar semuanya menghidupkan masjid-masjid di setiap kotanya.

       Setiap masjid mempunyai jamaah. Itulah umat masjid. Melalui potensi dan profesi umat yang beragam, semuanya disalurkan untuk menghidupkan suasana masjid. Potensi pemuda, potensi orang kaya, terutama potensi sebagai umat yang terbaik,sebagai da’I dan  khalifah – Nya di muka bumi ini.                                                                      
Menghidupkan Dakwah di Masjid
   
    Dakwah adalah indu segala amalan. Dari dakwah akan lahir lautan amal shaleh. Dari dakwah akan lahir ahli-ahli iman, ahli ibadah, ahli ilmu, ahli dzikir dan sebagainya.Sedangkan masjid adalah markas dakwah kaum muslimin. Rasulullah saw. senantiasa mengirimkan jamaah-jamaah dakwahnya dari masjid. Mereka bertolak dari masjid, dan kembali ke masjid.
  
     Abu Hurairah ra berkata,“pada suatu hari, ketika kami sedang berada di masjid, tiba-tiba keluarlah Rasulullah saw., dan bersabda, “Pergilah kalian menemui Yahudi. Dan beliau bersabda, “Islamilah kamu niscaya kamu akan selamat.”mereka berkata,“Engkau telah menyampaikan.” Beliu bersabda,“itulah yang kuinginkan.”beliau mengucapkannya hingga tiga kali.

       Pada suatu hari, Abu Hurairah ra. lewat di salah satu pasar di Madinah dan berhenti di sana sambil berkata,“wwahai orang-orang pasar apa yang membuat kalian lemah?” berkata Abu Hurairah, “Harta warisan Rasulullah saw. sedang dibagi-bagikan, dan kalian masih di sini? tidakkah kalian pergi dan mengambil bagianmu darinya?” mereka bertanya, “Di mana?” Berkata Abu Hurairah.,“ Di masjid.” Mereka pun bersegera (ke masjid). Abu Hurairah ra. berdiri sambil menunggu mereka kembali. (ketika kembali),

Abu Hurairah ra. Bertanya kepada mereka,“Ada apa?” jawab mereka,“Wahai Abu Hurairah,kami telah datang ke masjid, maka kami tidak melihat sesuatu pun sedang dibagikan.” Abu Hurairah ra.bertanya, “Apakah kalian tidak melihat seorang pun di masjid?” Mereka menjawab,“Ya! Kami melihat orang-orang sedang shalat, sebagian yang lain membaca alquran dan sebagian  yang lain bermudzakarah mengenai halal dan haram.” Maka Abu Hurairah ra. Berkata  kepada  mereka, “Celaka  kalian ! Itulah  warisan Rasulullah saw..”    
       Prof.DR. HAMKA dalam menjelaskan hukum shalat berjamaah, beliau menulis,‛kewajiban kita sekarang adalah mengadakan dakwah, agar kesadaran beragama itu timbul kembali. Jangan kita hanya mengharamkan orang yang shalat sendiri-sendiri di rumahnya, melainkan kita ajak, kita anjurkan dan kita pimpin, agar mereka sudi berkumpul, berjamaah di susun dan desa. Di lorong dan jalan-jalan kecil sebagai rukun tangga.Dengan begitulah baru semangat islam itu mulai timbul kembali. Dan jika kita biarkan saja satu kampung atau lorong tidak memiliki tempat shalat, walaupun surau kecil, akan berangsurlah hilang semangat agama itu.
       
Seandainya dulu, dari masjid Nabawi tidak dikirimkan jamaah-jamaah dakwah ke luar Madinah, dan mereka merasa cukup dengan beramal di masjid Nabawi, niscayanya islam tidak akan pernah tersebar luar, dan kita mungkin masih menjadi para penyembah berhala.

       Alhamdulillah, dengan adanya dakwah para sahabat ra, dari masjid Nabawi, dan menyebatr ke seluruh penjuru dunia, kita telah lahir di rumah-rumah Islam. Keberadaan kubur-kubur para sahabat yang tersebar di belahan dunia ini, adalah bukti yang tidak terbantahkan mengenai hal ini.

       Dengan dakwah ilallah yang berpusat di masjid, maka hamba- hamba yang jauh dari allah, menjadi dekat dengan-Nya. Dan berbagai kebaikan serta  keutamaan masjid akan meresep ke dalam jiwa-jiwa masyarakat sekitarnya.

       Demikianlah yang ditiru oleh Jamaah  Tabligh, dengan mengirimkan jamaah-jamaah dakwah ke berbagai tempat, diharapkan dapat mewarnai umat dengan keindahan islam.

       Menghidupkan Silaturrahmi Masjid         
    
       Rasulullah saw. bersabda, “Barang siapa pergi ke masjid dan kembali, Allah akan menyediakan tempat baginya di surga setiap dia pergi dan kembali dari masjid.”

       Masjid juga berfungsi sosial, untuk saling mendekatkan hati, memperkuat ukhuwah,dan saling menolong sesama muslimin  dengan dasar ketakwaan. Oleh sebab itu, masjid tak mengenal bangsa, golongan, warna kulit, bahasa, status, pangkat dan segala perbedaan.Semua dalam satu pondasi ,yaitu ‘Laailaha illlallah Muhammadur Rasulullah’.Bersama dalam barisan shaf  yang rapi.bersatu dalam sujud kepada-Nya. Meredam segala denam. Menanam rasa peduli dengan akhlak mulia.Membawa siapapun untuk ketakwaan dan keshalehan.

Di masjid rakyat dapat bertemu langsung dengan pemimpinnya, tanpa birokrasi yang bertele-tele. Dan pemimpin pun dapat mengetahui keadaan rakyatnya. Pemimpin yang jauh dari masjid, tidak akan dapat memahami keadaan rakyatnya dengan benar.

Pemimpin wilayah adalah iman masjidnya.Rasulullah saw menjadi iman di Madinah, dan para gubernur menjadi iman di Mekkah. Thaif,Yaman, Syam hingga ke kota-kota kecil. Mereka menjadikan masjid sebagai pusat pemerintahaan.

Namun masjid adalah sosok bangunan yang tidak dapat bergerak. Padahal di dalamnya penuh dengan kebaikan yang perlu ditawarkan kepada umat. Maka jamaah masjidlah yang perlu bergerak kepada umat, menawarkan segala kebaikan yang terdapat di masjid.

Silaturahmi dari masjid akan terasa lebih terus dalam menjalin hubungan antara pengurus dan jamaah masjid. Tanpa pengurus, masjid tidak akan terurus. Tanpa jajmaah, masjid akan kosong.

Menghidupkan Ta’alim Agama

Dari Utsman bin Affan ra., Rasulullah saw.Bersabda, “Sebaik-baik kamu adalah yang belajar Alquran dan yang mengajarkannya.”

Dari Abu Ummah ra., Rasulullah saw. bersabda, “Barang siapa pergi ke majid denga niat hanya untuk belajar kebaikan atau mengajarkannya, maka baginya pahala haji yang sempurna.”

Demikianlah Nabi saw. menghidupkan suasana belajar mengajar di dalam masjid Nabawi. Dari Abu Hurairah ra., rasulullah saw. bersabda, “Barang siapa datang ke masjidku ini. Dengan niat hanya untuk belajar kebaikan atau mengajarkannya, maka kedudukkannya seperti pejuang di jalan Allah. Dan barang siapa datang dengan niat selain itu, maka seperti orang yang melihat milik orang lain ( tidak berguna sama sekali ).”

Shofwan bin Assal berkata, “Aku mengunjungi Rasulullah.. Beliau di masjid sedang bersandar pada selimut merah.”Aku berkata, “Ya Rasulullah,aku datang untuk mencari ilmu.” Beliau bersabda, “Selamat datang wahai pencari ilmu. Sesungguhnya para malaikat membentangkan sayapnya untuk pecari ilmu. Kemudian mereka berbaris ke atas satu dengan yang lainnya sehingga mencapai langit dunia, karena kecintaan mereka terhadap apa yang ia cari.”

       Abu Waqid Al-Laisy meriwayatkan, “ Pada suatu hari Rasulullah saw. duduk beserta para sahabatnya di masjid. Tiba – tiba  datanglah tiga orang, yang dua duduk menghadap Rasulullah saw. dan orang yang ketiga langsung pergi. Adapun salah satu dari keduanya melihat tempat yang kosong dalam majelis tersebut, maka dia langsung mendudukinya. Sedangkan yang ke dua duduk di belakang para  sahabat, dan yang ketiga berpaling dan langsung pergi. Ketika  majelis  telah  selesai, Rasulullah  saw.  bersabda, “Tidakkah kuberitahu  kalian  mengenai  tiga orang  tersebut? Adapun (yang pertama) dia telah pergi menuju Allah,yakni duduk dalam majelis, maka Allah juga pergi (dengan rahmat-Nya) kepadanya. Yang kedua; dia merasa malu, maka allah pun malu kepada dia. Dan yang ketiga; dia telah berpaling , maka allah pun berpaling darinya.”
   
    Dari Uqbah bin Amir ra., Rasulullah saw. bersabda, “Pada waktu pagi mengapa tidak pergi salah satu diantara kalian ke masjid lalu mempelajari atau membaca dua ayat Alquran, yang demikian itu lebih baik baginya dari paa dua ekor unta. Tiga ayat lebih baik dari pada tiga ekor unta. Dan empat ayat lebih baik baginya dari pada empat ekor unta, dan jumlah yang sama dari unta-unta.”

      Anas ra. Meriwayatkan, “Pada suatu hari, Abu Thalhah peri menghadap, ternyata Nabi saw. sedang berdiri membacakan (ayat Alquran) kepada para ahli Shuffah dan di atas perutnya ada beberapa butir batu, yang dengannya tulang punggungnya bisa tegak, karena laparnya.”
  
     Abu Raja’ Al- Utharidi berkata, “Abu Musa Al-Asy’ari biasa berkeliling ke halaqah-halaqah kami di masjid jami’ Bashrahdan duduk dengan kami. Aku melihatnya di antara dua helai kain putih sambil mengajariku Alquran.Darinya aku dapat menghafal surat ini (Al – alaq).”
  
     Dari Ashim bin Muhammad dari ayahnya, ia berkata, “aku menyaksikan Abu Hurairah ra. keluar pada hari jum’at, kemudian beliau memegang kedua tiang mimbar sambil berdiri dan berkata, “Menyampaikan kepada kami Abu Qasim Rasulullah saw., Shadiqul Mushduq…”Dan beliau terus menyampaikan hadits-hadits Rasulullah saw., hingga terdengar suara pintu imam keluar untuk memulai shalat, barulah ia duduk.”
 
       Masih banyak lagi hadits-hadits yang menyebutkan tentang majelis-majelis ta’lim Rasulullah  saw.di masjid bersama para sahabatnya untuk memberi pengajaran kepada umat, seperti; Ubadah bin Shamit ra,
Abi Ubadah bin Al-jarrah ra., Mus’ab bin Umair ra.,Muadz bin Jabal ra. dan lain –lain.

       Hal ini menunjukkkan bahwa telah hidup di kalangan para sahabat ra.budaya belajar mengajar, sehingga apa-apa yang datang dari Nabi saw. dapat tersebar cepat di kalangan mereka. Mereka memiliki gairah mempelajarinya dan sekaligus menyampaikannya kepada yang tidak hadir.

       Pada masa itu, pusat- pusat ilmu pengetahuan beranjak dari masjid. Ilmu berkembang pesat ke penjuru dunia. Lahir dari rahimnya, ulama-ulama besar yang mengharumkan dunia.

       Selama usaha ajar mengajar dan dakwah ini hidup di kalangan kaum muslimin, maka selama itu pula ajaran islam ini akal kekal. Jika tidak, maka warisan kenabian ini sekedar menghias kitab-kitab saja, dan islam dalam bentuk pengamalan pun akan pudar.

       Menghidupkan Shalat Berjamaah   

       Segala aktivitas masjid mesti dalam bab ibadah kepada Allah. Dan induk peribadahan adalah shalat berjamaah fardhu lima waktu. Tanpa ada kewajiban shalat, tentu tidak akan terwujud masjid dalam Islam. Allah berfirman, “Dan dirikanlah olehmu shalat, dan keluarkanlah olehmu akan zakat, dan ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’.”

Prof.Dr Hamka berkata, ‘Masjid adalah tempat menegakkan jamaah. Supaya di dalam masjid dikerjakan shalat bersama-sama. Shalat menjadi tarikan untuk berkumpul.Jamaah paling penting untuk mengikis sikap hidup yang nafsi-nafsi, egois, mementingkan diri sendiri sehingga putus dengan masyarakat. Kalau shalat berjamaah tidak terdapat dalam suatu kampung, tanda syiar agama tidak tegak, tandanya akan berangsur habis.’
       Para ahli fiqih berbeda pendapat dalam menghukumi shalat jamaah. Ada yang menganggapnya fardhu kifayah atau fardhu ‘ain demikian, alim ulama sepakat bahwa ‘Menegakkan shalat jamaah di masjid-masjid adalah setinggi-tinggi ketaatan, seteguh- teguh ibadah dan sebesar-besar syi’ar islam’. Dan yang terendah adalah yang menghukuminya sebagai sunnah muakkadah.

 Perinciannya adalah berikut ini ;
♦ Pendapat Ulama Madzhab Maliki
       Pendapat Imam Maliki dan para pengikutnya mengenai hukum shalat berjamaah, di antara demikian :
1. Allamah Khalil bin Ishaq, berkata  :
“shalat jamaah yang difardhukan selain shalat Jum’at adalah sunnah  hukumnya.”
2. Hafizh Ibnu Jauzi Al-Gharbathi, berkata :  “…hukumnya adalah sunnah muakkadah, dan menurut ulama Zhahiriyah hukumnya wajib.”

Imam Ahmad bin Muhammad Addardir berkata, “Shalat berjamaah hukumnya fardhu, meskipun harus dilakukan oleh sekelompok orang (fardhu kifayah) seperti shalat janazah. Dan selain shalat jum’at hukumnya sunnah muakkadah.”
 
       Dikuatkan oleh pendapat Syaikh Ibnu Taimiyyah, bahwa shalat berjamaah adalah sunnah Muakkadah.”
       Ibnul Qayyim Al-Jauzirah berkata, ‘Sunnah muakkadah adalah siapa yang meninggalkan berdosa dan siapa yang melakukannya berpahala termasuk shalat berjamaah. Ini pun ada yang mengatakan bahwa hukum shalat berjamaah adalah wajib secara lafzhi.”
       
♦ Pendapat Ulama Mafzhab Hanafi
       Pendapat para pengikut Imam Hanafi, antara lain :
1.      Alaudin As-Samarqandi berkata, ‘shalat berjamaah itu wajib  
dan sebagian teman kami menyatakan sunnah muakkadah.dan sebenarnya kedua hukum itu sama saja.’
2.      Imam Abu Bakar Al-Kassani berkata, ‘Berkata para syaikh kami bahwa shalat berjamaah adalah wajib. Al-Kurkhi mengatakan bahwa shalat berjamaah itu sunnah. Berdasarkan hadits Nabi saw.,shalat jamaah itu lebih utama dari pada shalat sendirian.’ Dijadikan jamaah itu untuk mencapai keutamaan, dan ini adalah tanda kalau jamaah itu sunnah. 

Dan yang mengatakan wajib berdasarkan firman allah. “Ruku’lah bersama orang – orang yang ruku’. Hal itu menunjukkan keadaan bersama-sama ruku’ untuk menegakkan shalat berjamaah. Sebagaiman perintah mutlak yang harus di laksanakannya. Juga berdasarkan sabda Nabi saw., “Sungguh aku ingin memerintah seseorang untuk mengumpulkan kayu bakar… dan seterusnya.”

Ancaman seperti ini, tidak akan dilontarkan oleh Nabi kecuali bagi orang yang meninggalkan kewajiban. Dan yang diwariskan oleh umat, maka sesungguhnya umat mulai zaman Nabi saw. sampai saat hari ini, sangat menjaganya  dan akan memperoleh sanksi bagi yang meninggalkannya serta pelaksanaan yang terus-menerus dilakukan merupakan atas wajibnya.” ____ “Jamaah  Itu  sunnah. Tiada  keringanan  bagi  orang  yang   meninggalkannya, kecuali udzur. Dan berarti wajib di kalangan umum’.

3.      Abil Fadhi Abdullah Al-Maushuli berkata shalat berjamaah itu sunnah muakkadah. Rasulullah saw bersabda, ‘Sungguh aku ingin, dan seterusnya…; menunjukkan perintah yang ditekankan, dan Rasulullah saw. sendiri telah mengerjakan dengan rutin tanpa berusaha meninggalkannya kecuali udzur. Dan seandainya penduduk suatu negeri meninggalkannya, maka sebagian mereka diperintahkan untuk menegakkannya, jika mereka menerima perintah tersebut maka itu adalah kebaikan dan jika menolak, maka boleh diperangi karena shalat jamaah itu syiar Islam.

4.      Imam Jamaluddin Al-Munnaji mencantumkan judul dalam
kitabnya; Bab shalat Jamaah Sunnah Muakadah’. Dan yang pertama ia sebutkan dalam bab itu, hadits yang menetapkan sunnahnya kemudian menyebutkan hadits lainnya
(yaitu; sungguh aku ingin memerintahkan seseorang mengumpulkan kayu bakar …dan seterusnya) untuk menetapkan bahwa itu adalah sunnah muakkadah.

       Dan dalam kitab Al-Mufid dikatakan, “Shalat berjamaah itu wajib dan dinamakan sunnah, karena wajibnya itu berpegang teguh pada sunnah.

       Shahibul Bahr menambahkan, “Sesungguhnya kewajiban yang terendah dan sunnah yang tertinggi adalah sunnah muakkadah dan tanpa perselisihan.’

       ♦ Pendapat Ulama Madzhab Asy-Syafi’i        
1.      Imam As-Syafi’i berkata, “Tidaklah akan kuberi keringanan    bagi orang yang mampu untuk shalat berjamaah, lalu    meninggalkannya kecuali dengan udzur.” Beliau juga berkata, ‘Anak-anak kecil hendaknya diperintahkan untuk menghadiri masjid dan mengikuti shalat berjamaah untuk membiasakannya’.
2.      Sebagian muhaddistsin dari As-Syafi’iyyah berkata bahwa shalat berjamaah itu fardhu ‘ain. Imam Nawawi berkata, ‘…tetapi bukan merupakan syarat sahnya shalat.’ Pendapat ini di dukung oleh Abu Bakar bin Khuzaimah dan Ibnul mundzir.

Hafids Ibnu Hajar menambahkan bahwa yang berpendapat bahwa shalat berjamaah itu fadhu ‘ain, adalah sekelompok muhaditsin ( pengikut As – Syafi ’iyyah ) seperti   Abi  Tsauri,
Ibnu khuzaimah, Ibnu Al – Mundziri, dan Ibnu Hibban. Atha’,Al-Auzai’, Ahmad, Abu Tsaur dan Ibnu Mundzir mengatakan itu adalah kewajiban bagi penduduk suatu kota dan bukan merupakan
syarat sah shalat.

Yang lainnya berpendapat :
a.     Imam Abi Tsaur berkata, ‘shalat berjamaah itu wajib dan tiada keringatan bagi siapapun yang meninggalkannya kecuali udzur.’
b.     Imam Ibnu Khuzaimah mengemukakan hukum shalat berjamaah di dalam kitab Shahihnya yaitu pada bab-bab :
 
√   Bab: Perintah terhadap orang buta untuk menghadiri shalat
    Berjamaah walaupun ia takut terhadap hewan buas jika
    menghadiri shalat berjamaah pada malam hari.
√   Bab: Perintah terhadap orang buta untuk menghadiri shalat
    berjamaah walaupun rumah mereka jauh dari masjid serta
    tidak ada orang yang menuntutnya untuk mendatangi
    masjid, dan dalil bahwa shalat berjamaah itu wajib bukan
    fadhilah, yang tidak diperbolehkan untuk mengatakan tidak
    ada rukhsah bagi seorang dalam meninggalkan keutamaan.
√   Bab: ancaman bagi orang yang meninggalkan shalat
    Berjamaah.
√   Bab: kekwatiran  nifaq atas orang yang tidak menghadiri
    shalat berjamaah.
√   Bab : Dzikru shalat yang paling berat bagi orang munafik
    Dan kekhawatiran nifaq terhadap orang yang tidak
    menghadiri shalat Isya’ dan Shubuh dengan berjamaah.
√   Bab : Ancaman bagi orang yang meniggalkan shalat
    Berjamaah di suatu desa dan penguasa syetan terhadap          
    orang yang meninggalkannya.


Di sisi lain Imam Syafi’i menambahkan setelah menyebutkan
hadits –hadits yang menunjukkan kewajiban shalat berjamaah, maka berita – berita itu pula menunjukkan wajibnya shalat berjamaah atas orang yang tidak ada udzur.
         Imam Ibnu Hibban mengemukakan tentang hukum shalat berjamaah di dalam kitab shahihnya, diantanya :
         √   Bab : Kewajiban Berjamaah dan sebab –sebab yang
              membolehkan seseorang meninggalkannya.
         √   Ta’liq terhadap hadits Ibnu Ummi Maktum ra. Ketika Ibnu
              Ummi Maktum ra. Meminta rukhsah untuk tidak shalat
              Berjamaah,dan Nabi saw. bersabda, “datanglah walaupun
              Dengan merangkak…” ini adalah dalil terkuat yang
              menunjukkan perintah wajib bukan sunnah. Andai kata
              mendatangi jamaah bagi orang yang mendengar panggilan    
              itu wajib, pasti Nabi saw. akan mengabarkan rukhsah      
              kepadanya, karena sesungguhnya jawaban ini keluar atas
              perintah yang benar –benar. Dan jika shalat berjamaah itu
              bukan wajib, pastilah ia akan mendapatkan keringanan.
       Qadhi abu syuja ahmad bin AL-Hasan bin ahmad AL-Ashabani mengatakan bahwa shalat berjamaah itu hukumnya sunnah muakkadah.
           Imam An-nawawi mengatakan,’sahalat berjamaah itu fardu ‘ain termasuk shalat jumat. Adapun selain shalat wajib terdapat beberapa pendapat.Dan pendapat yg paling shahi tentang shalat berjamaah adalah fardu kifayah hukumnya.Pendapat kedua hukumnya sunah,dan yg ketiga hukumnya fardlu ‘ain.Hal ini dikatakan oleh sahabat-sahabat kami Ibnu Mundzir dan Ibnu Khuzaimah.Dikatakan pula,bahwa itu semua adalah pendapat imam Asy-Syafi’i.                
        
 Imam An-Nawawi menambahkan lagi yang di maksud dengan ucapan orang yang mengatakan itu adalah sunnah,maka itu adalah sunnah muakkadah.

♦ Pendapat Ulama Madzhab Hambali        
Imam Ahmad Ibnu Hambal berkata tentang orang yang di ketahui meninggalkan shalat berjamaah;sesungguhnya orang ituadalah seorang yang jelek.        
Ibnu Qudamah berkta; “Berjamah itu wajib bagi shalat lima Waktu” Ibnu Qudamah Al-Muqaddisi berkata,’’Berjamah itu wajib bagi orang lelaki mukallaf unuk shalat maktubah.’’

       Syaikh Ibnu Taimiyah berkata, “shalat berjamah yang ditegakkan di masjid-masjid merupakan Syiar Islam yang nyata dan sunnuah-sunnah Al-Hadi (Nabi saw) seperti yang tecantum dalam hadits shahi dari Ibnu Mas’ud,’’Sesungguhnya shalat lima waktu di masjid yang di tegakkan di dalamnya, merupakan shalat sunnah-sunnah Al-Huda…..yaitu shalat-shalat yang sudah di tuntun oleh Rasulullah saw. yang memperoleh bimbingan langsung dari
ALLAH swt…
       
‘Atha, HasanBishry, Al-Auza’iy, Asy-Syafi’I,dan Ahmad, menetapkan bahwa,’ “Berjamaah di masjid pada shalat fardhu adalah fardhu ‘ain, tetapi bukan syarat sah shalat.’’ ‘Atha menambahkan’’ tidak ada bagi seorang mahkluk Allah’di kota dan di dusun mendapat ijin untuk meninggalkan jamaah, apabila ia mendengar suara adzan.’’

       Imam Asy-Syafi’I rah.a. berkata dalam Mukthashar Al-Muzany, ‘’adapun jamaah,maka tidak ku maafkan seorang meninggalkannya, terkecuali karena udzur.’’Beliau juga berkata dalam Al-Umm,’’ALLAH menerangkan perihal adzan kepada shalat dengan firman-Nya.
‘’Dan apabila kamu seru kepada shalat, maka mereka kaum musyrikin, menjadikannya olok-olok dan main-mainan saja.’’

ALLAH mewajibkan kita datang ke majelis Jum’at. Rasulullah saw. pun telah mensyariatkan adzan untuk shalat-shalat fardhu. Hal ini, menegaskan bahwa tidak halal shalat fardhu di kerjakan kecuali dengan berjamaah. Oleh karna itu, hendaknya setiap orang, baik mukmin maupun musafir, menekankan shalat berjamaah. Dan tidak di bolehkan seorang yang mampu untuk tidak menghadiri jamaah, kecuali jika udzur. Namun jika ia sempat shalat sendirian. Maka tidak di wajibkan baginya untuk mangulangi shalatnya itu.’’
Ibnu Ummi Maktum ra. berkata kepada Rasulullah saw., “Ya Rasulullah, aku seorang yang bermata kabur lagi jauh rumah dari majid dan aku mempunyai seorang penuntun yang tidak cocok denganku, maka adakah rukhshah bagiku untuk shalat di rumah ku?” Nabi saw. bertanya, “Apakah engkau mendengar adzan?’’ Jawabku, “Ya, aku mendengarnya .’’ sabda beliau, ‘’Aku tidak mendapat rukhshahmu untuk shalat di rumah.’’ Bahkan Nabi saw.menegaskan dengan bersabda,’’Apabila engkau mendegar adzan, maka penuhilah seruannya. Usahakanlah walaupun dengan merangkak.’’
  
     Apabila orang buta tidak diijinkan untuk meningalkan jamaah, tentuilah orang yang sempurna fisiknya, lebih lagi tidak memperoleh keijinan itu. Itu menunjukkan kepada fardhunya berjamaah.

       Mengingat kepentingan shalat berjamaah di masjid, maka para pejabat daerah hendaknya menerangi warga yang sengaja meninggalkannya. Abu Hurairah ra. Meriwayatkan bahwa Nabi saw. bersabda ketika menjumpai ada beberapa orang yang tidak shalat berjamaah, “Sungguh aku ingin menyuruh para pemuda untuk mengumpulkan kayu bakar, lalu kusuruh didirikan shalat, dan diadzankan untuknya. Kemudian kusuruh seseorang untuk menjadi iman, dan aku pergi kepada mereka yang tidak berjamaah, lalu kubakar rumah mereka bersama mereka di dalamnya.”
   
    Ibnul Qayyim berkata, “Sangat tidak patut Nabi saw. ingin membakar rumah seseorang yang berbuat dosa kecil. Jika demikian, berarti meninggalkan shalat berjamaah di masjid adalah dosa besar. Allah telah menyuruh kita berjamaah dalam keadaan khauf (darurat), berarti berjamaah dalam keadaan aman lebih wajib. Dan hadist-hadist yang menyatakan boleh tidak menghadiri jamaah bagi orang yang udzur, menunjukkan tidak boleh sekali-kali hal itu bagi orang yang tidak udur. Apabila udzur dengan tidak udzur disamakan, tentu tidak berarti aturan orang yang udzur boleh meninggalkan jamaah. Nabi saw. bersabda, “Siapa yang mendengar adzan dan tidak memenuhinya, maka tiada shalat baginya.”
  
   Suatu ketika Umar ra. Tidak mendapati seseorag dalam jamaah shalat shubuh di masjid, maka umar ra. Mendatangi rumah laki-laki itu. Laki-laki itu pun keluar memenuhi Umar ra.. Umar ra, bertanya, “Apa yang menghalangimu menghadiri jamaah ?” jawab laki-laki, “Aku sakit, ya Amirul mukminin, seandainya bukan suaramu yang kudengar di luar, tentu aku tidak keluar.” Umar ra berkata, “Engkau telah tinggalkan seruan yang lebih wajib, dan menyambut seruan Umar ini, yaitu seruan Allah.”
       Beliau juga berkata ketika mendapati ada beberpa golongan tidak shalat berjamaah, “Mengapa mereka tidak datang? Datanglah ke masjid, atau akan aku kirim kepada mereka orang yang akan menebas batang leher mereka?!”datangilah jamaah !!”
      
 Ali bin Abi Thalib ra.berkata, “Siapa tetangga masjid yang mendengar adzan, lalu ia tidak memenuhiya sedangkan ia sehat tanpa udzur, maka tidak ada shalat baginya.”
       Aisyah ra. Berkata, “Barang siapa mendengar adzan, lalu ia tidak memenuhinya tanpa ada udzur, maka ia tidak mendapat kebajikan dan tidak dikehendaki kebajikan itu untuknya.”
  
     Ibnu Abbasra berkata, “ Barang siapa mendengar adzan, dan ia tidak memenuhinya tanpa ada udzur, maka ia tiada shalat baginya.”
Beliau pernah ditanya, “Aku seseorang yang berpuasa di siang hari, shalat di malam harinya, tetapi ia tidak jawab Ibnu Abbas ra., “ia di dalam neraka.” Keesokan harinya, orang tidak mengulangi lagi pertanyaannya. Jawab Ibnu Abbas ra., “Siapa yang tidak menghadiri Jum’at, di dalam neraka.”

       Dari Zaid bin Tsabit ra., Rasulullah saw. bersabda “Wahai manusia, shalatlah kalian di rumah –rumah kalian. Sesungguhnya seutama-utama shalat adalah shalat seseorang di rumahna, kecuali shalat fardhu.”
   
    Abu Hurairah ra., berkata “lebih baik kedua telinga anak Adam  itu dipenuhi dengan timah cair, dari pada ia mendengar adzan kemudian ia tidak memenuhinya.”

       Ibnu Mas’ud ra. berkata “barang siapa suka menjumpai Allah pada hari Kiamat sebagai seorang muslim, hendaklah ia memelihara setiap shalat setiap diserukan kepadanya. Karena menegakkan shalat jamaah itu adalah ‘Sunanul Hadyi’ sesungguhnya Allah telah mensyariatkan bagi Nabimu beberapa ‘Sunanul Hadyi’. Jika kamu shalat dirumahnya ini, berarti kamu telah meninggalkan sunnah Nabim. Jika kamu tinggalkan sunnah Nabimu, berarti kamu telah sesat ! Tiadalah seorang laki-laki yang membaguska wudhu’nya, kemudia ke masjid dari masjid-masjid, melainkan Allah menuliskan baginya dari setiap lagkah yang ia langkahkan suatu kebajikan. Dan mengangkat dengannya suatu derajat, dan menghilangkan dengannya suatu derajat, dan menghilangkan dengannya suatu kesalahan. Sungguh kamitelah melihat jamaahmu semua hadir, tidak ada yang tidak datang untuk menghadirinya, kecuali orag munafik yang sudah terang kemunafikannya. Dan pernah seorang laki-laki dipapah ke jamaah terhuyung- huyung di antara dua orang, sehingga ditegakkan ke dalam shaf.”
       Demikianlah penekanan hadits-haditsmengenai shalat fardhu berjamaah di masjid. Adapun orang yang berhalasan bahwa ia tidak akan khusyu’ jika shalat berjamaah, sehingga ia memilih shalat sendirian, maka katakan kepadanya bahwa jamaah itu menghidupkan syi’ar Islam. Adakah Nabi saw. diriwaatkan pernah shalat fardhu sendirian ? Seandainya boleh meninggalkan berjamaah dengan alasan tidak khusyu’, tentu akan banyak orang yang meninggalkan jamaah sehingga masjid kehilangan fungsinya.

       Alim ulama memandang bahwa luput shalat berjamaah adalah suatu   bencana  besar.  Jika  terjadi  hal  itu  pada  diri  mereka, maka  sekurang-kurangnya tujuh hari mereka akan berkabung. Dan jika mereka terluput dari Takbiratul Ula bersama iman, sekurang-kurangnya tiga hari mereka bersedih. Sebagian ulam shaleh berkata, “Seseoang tidak akan meninggalkan shalat berjamaah, melainkan karena sesuatu dosa yang telah menimpanya.”

       Jamaah Tabligh dan Masjid
       Atas alas an semua itu, maka jamaah Tabligh menjadikan masjid sebagai pusat pembinaan dan aktivitas umat, untuk membawa merka kepada kehidupan yang diridhai oleh Allah.
       Hasil darinya sudah mulai terbukti. Beberapa masjid yang tadinya hanya diisi oleh segelintir manusia, sekarang sudah jauh lebih baik. Geliat masjid sudah mulai muncul. Amaliyah masjid, seperti ; shalat-shalat berjamaah lima waktu, majelis Ta’lim harian, musyawarah harian, silaturrahmi jamaah, pengiriman jamaah dakwah untuk mengkatkan keimanan, bahkan madrasah-madrasah tahfizh Alquran juga semakin marak di masjid-masjid.
       Demikianlah yang terjadi, walaupun hal itu masih jauh dari apa yang ideal di sis Allah dan Rasul – Nya, juga masih jauh dari apa yang diharapkan oleh Syaikh Ilyas rah.a., sebagaimana ucapannya, “Masjid-masjid adalah anak-anak masjid Nabawi.Oleh karena itu, harus dihidupkan kerja-kerja agama yang telah berjalan di masjid Nabawi. Selain untuk mendirikan shalat, rasulullah saw. telah meggunakan masjid sebagai tempat pendidikan dan tarbiyah. Dan semua kerja yang berhubungan dengan dakwah pun telah diadakan di masjid. Penthablighan agama, ta’lim, pengiriman pasukan, juga diadakan di masjid. Bahkan pengaturan tentara pun dilakukan di masjid. Dan kita menginginkan agar masjid – masjid  kita pun sibuk dengan cara kerja yang sama.”
       Sekian. Wallahu a’lam.!
Sumber : e-book pikir sesaat untuk agama

Share on Google Plus

About Rizal Palangiran

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar:

Posting Komentar

WHAT IS YOUR OPINION?