Mereka Berkata, “Khuruj untuk
Berdakwah Adalah Rasulullah Saw. Dan Para Sahabatnya.”
Apakah makna bid’ah yang mereka
tuduhkan itu ? Apakah bid’ah dalam arti segala perbuatan baik atau buruk yang
tidak pernah ada pada zaman Rasulullah saw ?
Syaikh Muhammad Zakariyya rah.a.
berkata, “Apapun usaha untuk penyebaran agama semuanya termasuk dalam kategori
jihad. Maka jangan katakan bahwa cara ini tidak pernah ada pada zaman Nabi
saw.. Inilah adalah pernyataan yang salah.
Apakah madrasah-madrasah, metode
pendidikan dengan pembagian jam dan disiplinnya, ujian semester, ujian tahunan
dan lain-lain sebagainya yang pada zaman ini sangat penting dalam dunia
pendidikan, apakah telah ada pada zaman Rasulullah saw? Juga penerbitan
kitab-kitab syarah dan buku-buku pelajaran agama, apakah cara-cara tersebut
pernah ada pada zaman Rasulullah saw? Juga penetapan waktu shalat, yaitu
seandainya makmum sudah menunjukkan waktu shalat masuk, maka makmum langsung
melalui shalat tanpa menunggu imam; apakah ini semua ada pada zaman Rasulullah
saw?
Dan siapakah ilmuan yang dapat
mengatakan bahwa pada zaman Nabi pernah ada pistol, meriam dalam peperangan
mereka? Jika demikian, maka semuanya adalah bid’ah. Kalau berperang hendaknya
mesti dengan panah, tombak dan pedang. Namun pada sat sekarang ini tidak ada
satu pun yang menyebutkan bahwa hal-hal tersebut adalah bid’ah.
Oleh sebab itu tidak sepatutnya kita
sembaraangan memvonis suatu perbuatan itu bid’ah, sebelum memahami makna bid’ah
yang sesungguhnya.
Makna Bid’ah
Syaikh Aiman Abu Syadi menjelaskan
hal ini, dengan mengutip pernyataan beberapa ulama besar mengenai bid’ah, --
yang saya ringkas—berikut ini;
a.
Bid’ah
menurut Lughowi (Bahasa)
Menurut Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani
rah.a., Bid’ah secara bahasa adalah ‘Segala sesuatu yang tidak memiliki
persamaan sebelumnya’. Menurut defenisi ini, termasuk bid’ah adalah segala
sesuatu yang dianggap baik ataupun buruk, jika hal itu tidak pernah dilakukan
sebelumnya. Namun menurut kebiasaan para ahli syar’i, bid’ah hanya dikhususkan
untuk perbuatan-perbuatan yang tercela. Jika itu adalah perbuatan terpuji, maka
ia termasuk dalam makna bid’ah secara bahasa.
Beliau berkata, “Lafazh bid’ah pada
asalnya digunakan untuk sesuatu yang diada-adakan tanpa ada contoh sebelumnya.
Sedangkan Imam ‘Aini rah.a. berkata, “Bid’ah secara bahasa adalah
segala sesuatu yang dilaksanakan tanpa contoh sebelumnya.”
b.
Bid’ah
Menurut Syar’I (Syariat)
Imam Syathibi ra.a. berkata, “Bid’ah
adalah cara beribadah yang dibuat-buat di dalam agama yang menyerupai cara
syar’I dengan maksud untuk melebih-lebihkan dalam beribadah kepada Allah.”
Bid’ah menurut defenisi ini hanya
memiliki satu makna, yaitu sesuatu yang diada-adakan setelah (zaman) Nabi saw.,
dengan menganggapnya sebagai bagian dari agama dan syariat, dengan menambah
atau mengurangi yang telah ada padanya, dengan menta’wilkan atau melaksanakan
suatu perbuatan syubhat yyang tidak memiliki dasar syar/I dan tidak biasa
dilaksanakan.’
Agama adalah aturan tentang ibadah,
mu’amalah, aqidah, dan akhlak yang dibuat oleh Allah melalui sunnah Rasulullah
saw. demikianlah syarat yang terkandung dalam defenisi di atas. Berbeda dengan
sesuatu yang dibuat untuk sekedar urusan duniawi, seperti membuat kendaraan
bermotor, pesawat terbang atau produk lainnya yang tidak ada pada zaman dahulu.
Semua itu tidak disebut bid’ah. Bid’ah hanya dikhususkan untuk sesuatu yang
diada-adakan tanpa ada contoh terdahulu dan tidak memiliki ashal syar’I
padanya.
Oleh sebab itu, tidak boleh disebut
bid’ah, semua ilmu yang dibuat untuk mencapai syariat, seperti ilmu fiqih,
ushul fiqih, ilmu riwayat, nahwu, shorof, ilmu hadist, tafsir dan semua cabang
ilmu yang tidak ada pada zaman Nabi saw, namun ilmu-ilmu tersebut memiliki
ahal dalam agama, dan sangat diperlukan keberadaanya. Hal-hal seperti ini
dapat disebut bid’ah menurut bahasa, yaitu ‘Sesuatu yang diada-adakan tanpa ada
contoh terdahulu’.
Semua cabang ilmu dan amal perbuatan
yang diada-adakan setelah zaman Nabi saw., yang terpuji dan nyata tercela,
adalah bid’ah Loughowi. Contoh yang terpuji adalah ucapan Umar ra. yang
berkata, ‘Sebaik-baiknya bid’ah adalah shalat Tarawih.”
Orang yang sembarangan menyebutkan
bid’ah tanpa mengikuti defenisi bid’ah di atas, maka tuduhan tersebut tidak
bisa dijadikan dasar (alasan). Demikian pula dakwah khuruj fi sabilillah.
Perbuatan tersebut tidak dapat disebut bid’ah, meskipun pada zaman dahulu tidak
pernah ada, sebab dasarnya terdapat dalam kandungan syariat.
Apakah Semua Bid’ah itu Dhalalah?
Terdapat
berbagai pendapat para ulama yang mengatakan bahwa ‘Bid’ah Dhalalah’
adalah sebutan khusus untuk ‘amalan baru yang tercela’ saja. Hal tersebut
diperhatikan dari beberapa pendapat berikut ini ;
·
Pendapat
Imam Asy-Syafi’i rah.a
1.
Dari
Ibnu Asakir, Rabi’ bin Sulaiman berkata,”Imam Asy-Syafi’I berkata, “Bid’ah
terbagi menjadi dua :
o
Bid’ah
yang menyalahi Alquran, hadist, astar sahabat, dan ijma’. Bid’ah ini dinamakan
bid’ah dhalalah.
o
Bid’ah
berupa kebaikan. Bid’ah ini tidak ada seorang pun yang mengatakannya buruk,
semua mengatakannya balik. Sebagaimana ucapan Umar ra. tentang shalat Tarawih,
“Sebaik-baiknya bid’ah adalah ini (Shalat Tarawih).
2.
Abu
Nu’aim meriwayatkan, Imam Syafi’I berkata, “Bid’ah terbagi dua : Bid’ah terpuji
(mahmudah) dan bidah tercela (madzamumah). Bid’ah yang sesuai dengan sunnah
disebut bid’ah terpuji. Dan bid’ah yang tidak sesuai dengan sunnah disebut
bid’ah tercela.
3.
Imam
Asy-Syafi’i rah.a. berkata, “Sesungguhnya yang diada-adakan itu terbagi menjadi
dua:
§
Sesuatu
yang diada-adakan yang tidak sesuai dengan Al-Kitab, As-Sunnah, atsar atau
ijma’, maka bid’ah ini disebut bid’ah dhalalah.
§
Sesuatu
yang diada-adakan dari segala jenis kebaikan yang tidak disebut dengan Bid’ah
ghairu madzumah (tidak tercela).
·
Pendapat
Imam An-Nawawi rah.a
Ia berkata, “Bab: Orang yang berbuat
Baik atau Buruk, dan Orang yang Mengajak kepada Petunjuk atau Kesesatan, yaitu
sabda Nabi saw., “Barang siapa berbuat perbuatan baik….., dan barang siapa
berbuat perbuatan buruk…., dan seterusnya.” Atau dalam hadist lain, dengan
lafazh, “Barang siapa mengajak kepada petunjuk atau kesesatan…” Kedua hadist
ini dengan sangat jelas menerangkan tentang dianjurkan melakukan hal-hal yang
baik dan larangan melakukan hal-hal yang buruk. Pelaku kebaikan akan
mendapatkan pahala yang sama dengan orang yang meniru kebaikannya hingga hari
kiamat. Dan pelaku keburukan akan mendapatkan dosa yang sama dengan orang yang
meniru keburukannya. Begitu pula orang yang menyeru ke jalan yang benar akan
mendapatkan pahala para pengikutnya. Dan orang yang mengajak kepada kesesatan,
akan mendapatkan dosa para pengikutnya, baik kebenaran atau kesesatan itu baru
akan ia lakukan ataupun sudah pernah ia lakukan. Baik kebaikan itu berupa
penyampaian ilmu, ibadah, adab-adab, ataupun yang lainnya. Nabi saw. Bersabda,
“…yang meniru, baik perbuatan itu dilakukan ketika dia (yang ditiru) masih
hidup atau setelah mati.”
Jelas, bahwa berbuat baik itu
dianjurkan oleh sunnah. Dan bukanlah para ahli Jamaah Tabligh juga termasuk di
dalamnya?
·
Pendapat
Iamam Al-‘Aini rah.a
Ia berkata, “Bid’ah secara bahasa
adalah segala sesuatu yang dilakukan tanpa contoh yang mendahuluinya. Dan
bid’ah menurut syara’ adalah mengada-adakan sesuatu yang tidak ada asalnya pada
zaman Rasulullah saw..bid’ah terbagi menjadi dua, yaitu : (a) Bid’ah Dhalalah,
(b) Bid’ah Hasanah.”
·
Pendapat
Imam Al-Hadidi rah.a.
Ia berkata, “Lafazh bid’ah digunakan
untuk dua pemahaman :
o
Segala
sesuatu yang melanggar Al-Kitab dan As-Sunnah, seperti berpuasa pada hari Idul
Adha, dan pada hari Tasyriq, karena berpuasa pada hari-hari tersebut dilarang
oleh syariat.
o
Sesuatu
yang tidak terdapat nash, atau nash diam tanpa menyebutkan hukumnya, lalu hal
itu dilakukan oleh kaum muslimin setelah Rasulullah saw. Makna bid’ah yang
diambil dari sabda Rasulullah saw., “Semua bid’ah sesat. Dan setiap yang sesat
itu akan masuk neraka,” dimaksudkan untuk defenisi bid’ah yang memang sejak
awalnya adalah sesuatu yang bertentangan dengan Alquran dan hadist.
Sedangkan perkataan Umar ra. Tentang
shalat Tarawih, “Sesungguhnya shalat Tarawih itu bid’ah. Danb sebaik-baik
bid’ah adalah ini, “Kalimat itu adalah contoh bagi bid’ah dengan defenisi yang
kedua.
Pendapat
Imam Zarkasyi rah.a.
Di dalam Qawa’idnya, ia berkata,
“Bid’ah secara syar’I hanya ditujukan untuk sesuatu yang baru dan tercela.”
·
Pendapat
As-Syyaidus Sanad di dalam At-Ta’rifat;
Ia berkata, “Bid’ah adalah sesuatu
yang diada-adakan, yang tidak pernah dilakukan oleh para sahabat dan tabi’in
dan tidak berasal dari dalil-dalil syariat.”
Dari defenisi-defenisi di atas
tersebut, maka bid’ah menurut para Imam memiliki dua pengertian :
o
Bid’ah
secara khusus (Syar’i), yaitu sesuatu yang baru yang tercela, yang bertentangan
dengan Alquran, hadist ijma’, dan kaidah-kaidah syariat. Semua jenis bid’ah ini
tercela, sesuai dengan sabda Nabi saw., “Semua bid’ah itu sesat. “Dan sabdanya,
“Barang siapa mengada-ada dalam perkara kami ini, sesuatu yang bukan darinya,
maka itu tertolak.”
o
Bid’ah
secara umum (lughawi), yaitu segala sesuatu yang diada-adakan setelah
Rasulullah saw., wafat, baik itu perbuatan baik atau buruk. Bid’ah ini terbagi
menjadi dua bagian, yaitu : Bid’ah terpuji dan Bid’ah tercela (dhalalah).
Bid’ah yang sesuai dengan Alquran
dan hadist Nabi saw., serta kaidah-kaidah syariat, disebut bid’ah
terpuji. Bid’ah Dhalalah, yaitu amal perbuatan yang bukan berasal dari tiga
abad pertama dan tidak memiliki asal dari sumber yang empat, yaitu : Alquran,
Hadist, Ijma, dan Qiyas. Bid’ah inilah yang dilarang oleh hadist-hadist yang
berisi celaan atas bid’ah dan pelakunya.
Pembagian Bid’ah
Berikut
ini adalah beberapa pendapat alim ulama mengenai pembagian bid’ah :
(1) Syaikh Izzuddin bin Abdissalam
berkata, “Bid’ah adalah melakukan sesuatu yang tidak dilakukan pada zaman
Rasulullah saw. Dan terbagi menjadi; Bid’ah wajibah, muharamah, mandubah,
makruhan dan mubahah. Cara mengetahui pembahasannya adalah mengaitkan bid’ah
tersebut dengan kaidah-kaidah syar’i. apabila bid’ah tersebut termasuk dalam
kaidah wajib, maka disebut Bid’ah Wajibah. Apabila masuk ke dalam kaidah haram,
maka disebut Bid’ah Muharamah. Apabila masuk ke dalam kaidah sunnah, maka
disebut Bid’ah Mandubah. Apabila masuk dalam makruh, maka disebut Bid’ah
Makruhah. Dan apabila masuk ke dalam kaidah mubah, maka disebut Bid’ah Mubahah.
a.
Contoh
Bid’ah Wajibah (Bid’ah yang diwajibkan)
·
Belajar
ilmu Nahwu yang dengannya Alquran dan Alhadist dapat dipahami. Bid’ah tersebut
hukumnya wajib, karena menjaga syariat adalah wajib. Dan tidak mungkin terjaga
kecuali dengan mengetahui ilmu Nahwu. Sesuatu yang tidak sempurna kewajibannya
kecuali dengannya, maka hukumnya pun wajib.
·
Mengupas
kata-kata gharib (aneh) dalam Alquran dan Sunnah.
·
Membukukan
ilmu ushul fiqih.
·
Membahas
para perawi hadist yang cacat dan adil untuk membedakan mana hadist shahih dan
mana yang tidak shahih.
Kaidah-kaidah syari’ah menunjukkan
bahwa menjaga syariat itu fardhu kifayah pada sesuatu yang melebihi kadar
tertentu. Dan tidak mungkin syariat bisa dijaga kecuali dengan metode tersebut.
b.
Contoh
bid’ah Muharramah (yang diharamkan) :
·
Paham
Qadhariyah, yaitu pemahaman bahwa Allah tidak menciptakan perbuatan manusia dan
makhluk lainnya. Tidak ada takdir bagi manusia. Allah tidak berkuasa,
manusialah yang berkuasa.
·
Paham
Jabariyyah, yaitu pemahaman tidak ada ikhtiyar bagi manusia atau fatalisme.
·
Paham
Murji’ah, yaitu pemahaman bahwa Allah tidak akan menyiksa makhluk-Nya.
·
Paham
Mujassimah, yaitu pemahaman bahwa Allah berbentuk jasmani. Dan jawaban atau
penolakan terhadap pemahaman-pemahaman mereka tersebut termasuk Bid’ah Wajibah.
c.
Contoh
Bid’ah Manubah (bid’ah yang disunnahkan) :
Membangun pesantren, madrasah,
shalat Tarawih setiap hari berjamaah, diskusi atas berbagai masalah untuk
mencari ridha Allah, dan semua kebaikan yang tidak ada pada masa dahulu.
d.
Contoh
Bid’ah Makruhah :
Menghiasi masjid dan mushaf
Alquran, melagukan Alquran yang merubah lafazh dari kaidah agama, maka
menurut pendapat yang shahih termasuk bid’ah muharramah.
e.
Contoh
Bid’ah Mubahah :
Bersalaman setelah shalat subuh dan
Ashar, maka minum yang enak, pakaian, rumah yang bagus, dan sebagainya.
(2) Imam
Syaihabuddin Al-Qurafi berkata, “Bid’ah terbagi lima bagian. Bid’ah yang wajib,
yaitu sesuatu yang telah ditetapkan oleh kaidah-kaidah yang wajib dan
dalil-dalil syar’I, seperti ; membukukan Alquran dan ilmu-ilmu syari’at ketika
dikhawatirkan akan punah bila tidak di bukukan. Hal itu wajib secara ijma’. Hal
itu tidak pantas di perdebatkan mengenai hukum kewajibannya.”
Dan kewajiban ini tidak akan
sempurna kecuali dengan wasilah yang dapat menyampaikan dan mendorong
kepadanya. Wasilah-wasilah itu wajib, karena kewajiban tersebut tidak akan
sempurna kecuali dengan wasilah-wasilah tersebut. Dan membiarkan
wasilah-wasilah ini terabaikan adalah haram, karena mengabaikannya itu dapat
menyebabkan kewajiban tersebut terlepas.
Tabligh (menyampaikan ajaran agama)
itu wajib, sehingga wasilah-wasilah tablighnya juga wajib, termasuk meluangkan
waktu untuk dapat bertabligh kepada umat secara umum.
Lalu Imam
Al-Qurafi menjelaskan bagian lainnya, yaitu masalah bid’ah Muharramah,
Mandubah, Makruhah, dan Mubahah disertai contoh-contohnya. Kebanyakan
contoh-contoh dari Imam Al-Qurafi tidak jauh berbeda dengan contoh-contoh dari
Syaikh Izzuddin bin Abdissalam.
(3) Imam
An-Nawawi rah.a. berkata mengenai sabda Nabi saw ; Dan semua bid’ah itu sesat,
“Ini bersifat umum khusus, bahwa sebutan bid’ah itu biasanya untuk sesuatu yang
sesat. Ahli lughah berkata, “Bid’ah adalah segala sesuatu yang dilakukan tanpa
contoh yang mendahului. “Alim Ulama berkata, “Bid’ah terbagi menjadi lima yaitu
: wajib, mandub, muharam, makruh, dan mubah.” Selanjutnya beliau menyebutkan
contoh masing-masingnya disertai dalil-dalilnya di dalam Tahdzib Al-Asma wal
Lughat.
(4) Imam
Laknawi rah.a. berkata, “Perbedaan pendapat alim ulama tentang hadist; ‘Semua
bid’ah sesat’, adalah lafazh umum yang dikhususkan sebagian, atau umum yang
tidak dikhususkan sebagainya, itu hanyalah perbedaan lafazh.
Mereka yang mengatakan bahwa bid’ah
itu bermakna umum – yaitu mencakup segala sesuatu yang tidak ada pada masa
kenabian saja--, maka mereka membagi bid’ah menjadi bid’ah wajibah,
mustahabbah, mubahah, makruhah dan muharramah. Maka dia harus mengkhususkan
keumuman hadist dan mengeluarkan tiga bagian bid’ah (yaitu; bid’ah wajibah,
mustahabbah, dan mubahah). Dan ulama yang mendefenisikannya dengan makna
syariat, yaitu sesuatu yang tidak dilakukan pada tiga abad pertama sejak
kenabian, dan tidak memiliki sumber dari syar’i, berarti dia memberlakukan
hadist secara umum juga.
Al-Barikli di dalam Ath-Tariqah
Muhammadiyyah berkata, “Seandainya kucermati Segala sesuatu yang menurut ulama
bahwa pembolehan dari segi syar’i, baik berupa isyarat ataupun dalil.”
Betapa menyedihkan keadaan mereka
yang mengatakan bahwa sunnah adalah sesuatu yang tidak wujud pada tiga masa
(Nabi saw., sahabat, dan tabi’in) dan memvonis bahwa apa-apa yang terjadi
setelahnya adalah sesat, tanpa melihatnya dari segi (sumber-sumber) syar’i.
Bahkan ada sebagian yang menyebutkan bahwa sunnah adalah segala sesuatu yang
wujud pada zaman Nabi saw. Saja dan boleh menetapkan sebagian bid’ah yang
sesat terhadap segala sesuatu yang dilakukan oleh para sahabat ra..
Demikianlah pada zaman kita sekarang
ini. Ada yang membid’ahkan mayoritas sahabat hanya dengan ucapan-ucapan mereka
dan menyebutkan perbuatan yang dilakukan oleh sahabat ra. Dengan sebutan Bid’ah
Dhalalah.”
Imam Syathibi rah.a. menyebutkan
celaanya terhadap orang-orang yang telah mencela orang yang telah terpuji oleh
Allah, dan Rasul-Nya, serta alim ulama shalihin yang sepakat memujinya. Dan
justru mereka memuji orang yang telah disepakati oleh alim ulama shaleh sebagai
orang yang tercela, seperti Ibnu Muljim – pembunuh Ali ra.. Mereka juga
membenarkan pembunuhan terhadapnya. Imam Syathibi berkata, ‘Semoga Allah
membinasakan mereka’.
Saya berkata: Doa tersebut ditujukan
oleh Imam Syathibi rah.a. kepada semua orang yang memiliki kebiasaan mencela
alim ulama terdahulu yang telah menjadi imam, memiliki banyak pengikut, telah
diterima oleh semua umat secara merata. Dan para imam tersebut diterima
berdasarkan ijma’ alim ulama yang mutawatir mengenai kedalaman ilmu mereka,
ketinggian derajat dan martabat mereka, serta keshahihan ushul-ushul agama yang
mereka miliki beserta kaidah-kaidahnya.
Apakah khuruj itu Bid’ah?
Untuk menjawabnya, mari kita
perhatikan nash-nash yang digunakan oleh para Imam rahmatullahi alaihim berikut
ini;
(1) Imam
At-Taftazani berkata, “Mereka tidak mengerti bahwa bid’ah yang tercela itu
sesuatu yang diada-adakan dalam agama, yang sebelumnya tidak ditemukan pada
zaman sahabat dan tabi’in, serta tidak memiliki sumber syar’i. Sebagian orang
bodoh mengatakan bahwa segala sesuatu yang tidak terdapat pada zaman para
sahabat adalah bid’ah yang tercela. Meskipun mereka tidak memiliki dalil yang
menjelekkannya, mereka hanya berpegangan dengan sabda Nabi saw.; ‘Jauhkanlah
perkara-perkara yang baru…’. Mereka tidak mengerti bahwa yang dimaksud oleh
hadist itu adalah perkara-perkara baru yang tidak sesuai dengan ajaran agama.
Dewasa ini banyak orang yang membuat
landasan hukum yang menipu kaum muslimin, sehingga tumbuh kefanatikan dan
kesomongan, pertentangan dan perpecahan di kalangan kaum muslimin sendiri.
Bahkan saling membid’ahkan satu sama lainnya, hanya karena perbedaan masalah
furu’ (cabang) meskipun masalah itu memiliki dasar yang bersumber dari dalil
syar’i. Kemudian terjadilah pertengkaran dan berkobarlah api perpecahan.
Sementara ada pihak ketiga yang terus memlihara api itu agar terus berkobar.
Umat Islam seolah-olah terbius dalam kondisi saling membenci seperti ini. Namun
tidak menjadikannya sebagai suatu pelajaran.”
(2)
Allamah Al-Laknawi rah.a, mengutip dari Ya’qub bin Ali Ar-Rumi dalam
‘Mutafatihul Jinan Syarh Syaratil Islam’, berkata, “Yang mereka maksud sesat
adalah semua bid’ah dalam agama yang bertentangan dengan kaidah dan ajaran
agama. Bila tidak, maka sesungguhnya di dalam bid’ah itu ada yang baik dan
diterima. Seperti sibuk mencari ilmu-ilmu syar’i dan menumbuhkannya. Dan juga
ada yang buruk dan tertolak, yaitu sesuatu yang diada-adakan setelah masa
sahabat dan tabi’in yang bertentangan dengan manhaj mereka, yang seandainya
mereka ketahui, mereka pasti mengingkarinya.”
(3) Ibnu
Hajar Al-Haitsami rah.a. berkata, “Bid’ah adalah sesuatu yang tidak memiliki
dalil syar’i yang menyatakan wajib atau sunnah, baik perbuatan itu pernah atau
belum pernah dilakukan pada zaman Nabi saw., seperti mengeluarkan kaum Yahudi
dan Nasrani dari jazirah Arab dan memerangi negeri Turki ketika ada perintah,
membukukan Alquran dan mushaf, shalat Tarawih secara berjamaah, dan
lain-lainnya, yang hukum wajib atau sunnahnya adalah didukung oleh dalil
syar’i. Sedangkan ucapan Umar ra. tentang shalat Tarawih, “Sebaik-baik bid’ah
adalah ini,” yang dimaksud adalah bid’ah secara Lughawi, yaitu sesuatu yang
dilakukan tanpa ada contoh sebelumnya, sebagaimana Allah berfirman,
“Katakanlah, Aku bukanlah Rasul yang baru (pertama).”
Yang
dimaksud adalah bukan bid’ah secara syar’i, sebab bid’ah syar’i itu jelas
dhalalah, sebagaimana yang telah disabdakan oleh Rasulullah saw..
(4) Ibnu
Atsir rah.a. menjelaskan ucapan Umar ra.; ‘Sebaik-baik bid’ah adalah ini’. Dia
berkata, “Bid’ah apabila bertentangan dengan perintah Allah dan Rasul-Nya, maka
hal itu tercela dan diingkari. Dan jika hal itu termasuk perbuatan umum yang
diperintahkan oleh Allah, seperti menyantuni fakir miskin dan berbuat baik,
maka hal itu terpuji. Diperkuat oleh hadist, “Barang siapa berbuat baik, maka
ia mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang menirunya..” juga ucapan Umar
ra. tentang shalat Tarawih, “Sebaik-baik bid’ah yaitu ini.”
Ketika shalat Tarawih secara
berjamaah setiap hari merupakan amalan yang baik dan terpuji, maka Umar ra.
menyebutkan sebagai bid’ah, dan ia memujinya. Meskipun Nabi saw. Pernah
melakukannya secara berjamaah, namun dalam jeda waktu meninggalkannya dan tidak
menjaganya Beliau saw. Mengumpulkan orang-orang, karena khawatir amal itu akan
dianggap suatu kewajiban. Dengan demikian, memelihara pengumpulan manusia dan
perintah Umar ra. untuk shalat berjamaah Tarawih setiap hari merupakan
perbuatan bid’ah, namun terpuji.”
(5) Imam
Ibnu hajar Al-Asqalani rah.a. berkata, “Al-bid’ah berarti segala sesuatu yang
tidak memiliki contoh terdahulu, maka secara Lughawi, hal itu mengandung
sesuatu yang terpuji dan yang tercela. Sementara menurut istilah ahli syari’at
; dikhususkan untuk ssesuatu yang tercela saja. Apabila sebutan bid’ah itu
ditujukan kepad sesuatu yang terpuji, maka berarti tujuan itu dipakai untuk
makna bid’ah menurut lughawi.”
Beliau juga berkata, “Jika bid’ah
itu Bid’ah hasanah, sebagaimana ucapan Umar ra., “Sebaik-baik bid’ah adalah
ini, “Dan apabila bid’ah itu termasuk sesuatu yang dinilai buruk oleh syariat,
maka bid’ah itu Bid’ah Mustakbahah (buruk). Dan apabila bid’ah tersebut tidak termasuk
dalam kedua kelompok tersebut, maka termasuk dalam hukum mubah.”
(6)
Al-laknawi di dalam Iqamatul hujjah halaman 21, mengutip dari At-thariqah
Muhamadiyyah karangan Muahammad Affandi Al-Barikli Ar-Rumi, dia berkata,
“Bid’ah memiliki makna lughawi yang universal, yaitu sesuatu yang diada-adakan
secara mutlak, baik berupa tradisi atau ibadah. Kata-kata inilah yang menjadi
dasar para fuqaha untuk membagi jenis bid’ah. Para fuqaha mengartikan bid’ah
dengan sesuatu diada-adakan setelah permulaan abad pertama secara mutlak.
Bid’ah memiliki makna syariat yang khusus, yaitu menambahkan sesuatu dalam
agama atau menguranginya, yang terjadi setelah zaman sahabat, tanpa seijin
syariat Allah, tidak berupa firman Allah dan sabda Nabi saw., tidak berupa
perbuatan dalil sharih (kandungan Alquran atau hadist). Dan tidak pula berupa
isyarat.__ Inilah yang dimaksud oleh sabda nabi saw., “..maka selalu berpegang
teguhlah pada sunnahku dan sunnah-sunnah para khulafa ur Rasyidin…,” dan sabda
beliau, “…kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian..” Dan sabdanya, “Barang
siapa mengada-ada dalam urusan (agama) kami ini, sesuatu yang bukan darinya,
maka dia bertolak.”
Imam Al-Laknawi mengkhususkan makna
bid’ah hanya pada sesuatu yang tercela, yaitu menambahkan sesuatu ke dalam
agama atau menguranginya tanpa ijin syariat, tidak berupa Alquran dan hadist
nabi saw., tidak berupa dalil shahih, bukan pula berupa isyarat. Ini berbeda
dengan makna bid’ah yang terpuji, yaitu menambah atau mengurangi agama dengan
ijin syariat, adakalanya dengan dalil yang jelas, isyarat atau sesuai dengan
kaidah-kaidah syariat yang umum dan menunjukkan baiknya sesuatu. Sesuatu yang
baik ini ada yang disunnahkan apabila termasuk dalam kaidah sunnah, atau
diwajibkan apabila termasuk dalam kaidah-kaidah wajib.
(7) Imam
Abu bakar bin Al-Arabi dalam Syarah Sunan At-Tirmidzi dalam penjelasan hadist
Irbadh bin Sharih ra., dia berkata, “..kata Al-Muhdats dan Al-Bid’ah tidak
tercela secara lafazh, bukan pula secara makna. Allah berfirman,
“Dan sekali-kali tidak datang kepada
mereka suatu peringatan baru dari Rabb yang Maha Pengasih, melainkan mereka
selalu berpaling dari-Nya.”
Dan ucapan Umar ra., “Sebaik-baik
bid’ah adalah ini…”
Bid’ah yang tercela adalah bid’ah
yang mendorong ke arah kesesatan dan bertentangan dengan hadist. Sedangkan amal
perbuatan yang memiliki kaidah-kaidah agama dan dilakukan sesuai dengannya,
maka hal itu bukan perbuatan bid’ah dan bukan pula perbuatan sesat, namun
sesuai dengan sunnah para khalifah dan para imam yang mulia.
Kesimpulan
Syaikh Aiman Abu Syadi memberikan
kesimpulan atas berbagai pendapat ulama diatas, beliau berkata, “Semua bid’ah
itu sesat…,” adalah bid’ah secara syariat. Orng-orang yang mencela bid’ah yang
memiliki dalil syar’i atas hukum wajib atau sunnahnya, dengan mengabaikan
peranan wasilah untuk merealisasikan kewajiban, maka ia berarti telah
mencanpuradukkan istilah syariat dan istilah bahasa. Mereka mencela suatu
amalan tersebut terpuji; seperti mengorbankan harta dan diri di jalan Allah,
meluangkan waktu di jalan Allah, menasihati umat agar mereka selamat, mengajak
mereka ke dalam kebaikan, dan mencegah mereka dari keburukan serta kemunkaran
dengan sesuatu yang tidak munkar.
Penjelasan ini merupakan konfirmasi
bahwa bid’ah yang tercela hanya di khususkan untuk sesuatu yang menyelisihi
manhaj para sahabat ra. dan cara ibadah mereka. Sedangkan mengajak manusia ke
jalan Allah dan meluangkan waktu untuk berdakwah sebagai wasilah agar mereka
mendapatkan hidayah, adalah tujuan tertinggi para sahabat ra.
Sebagian orang berpendapat bahwa khuruj para ahli dakwah selama tiga hari adalah bid’ah, karena hal ini tidak pernah dilakukan pada masa sahabat ra., meskipun ada dalil yang mendasari hal tersebut dan tidak ada dalil syar’i yang menetapkan bahwa tiga hari adalah keburukan. Padahal terdapat banyak dalil atas kewajiban dakwah, dengan catatan bahwa penetapan masa itu adalah sekedar wasilah untuk dapat menjalankan kewajiban.
Mereka membabi buta terhadap sabda
Nabi saw., “Barangsiapa mengada-ada dalam perkara (ajaran) kami, sesuatu yang
bukan darinya, maka ia tertolak.” Mereka tidak memahami maksud Nabi saw., bahwa
yang dimaksud ‘tertolak’ atau ‘tercela’ dalam hal ini adalah memasukkan sesuatu
ke dalam agama yang bukan berasal darinya. Artinya, sesuatu yang bertentangan dengan
Alquran, Hadist, ijma, Qiyas dan kaidah-kaidah syariat atau batasan-batasan
yang telah ditentukan oleh Allah. Adapun sesuatu yang tidak bertentangan dengan
syariat, yang sekiranya memiliki dasar dari kaidah-kaidah syara atau
dalil-dalil, maka hal itu tidak tertolak, bahkan dapat diterima, misalnya
membangun sarana pendidikan dan pondok-pondok pesantren, menguatkan benteng
pertahanan, dan semua kebaikan yang tidak ada pada zaman dahulu.
Termasuk meluangkan waktu sebagai
wasilah untuk melaksanakan kewajiban dakwah dan sebagai upaya menyelamatkan
umat Nabi saw. serta sebagai tanda rasa cinta kepada umat. Semua ini tentu
sesuai dengan syariat, yang telah mewajibkan amar ma’ruf nahi munkar dan
bekerja sama dalam kebaikan dan ketakwaan.
Dan tidak ragu lagi, bahwa
meluangkan sebagian waktu sebagai wasilah untuk berdakwah dan menjalankan
kewajiban kita sebagai umat Nabi saw. serta menyampaikan risalah beliau, itu
semua dipandang baik oleh syara’, sebab Allah telah berfirman,
“Dan
hendaklah diantaramu ada umat yang menyeru kepada kebaikan.”
Juga sabda Nabi saw., “Sampaikanlah
dariku walaupun hanya satu ayat.”
Bagaimanapun cara penyampaian dan
pelaksanaan seperti dengan meluangkan waktu tiga hari, atau lebih dan
kurangnya, atau berbagai cara dakwah, seperti melalui tulisan, ceramah, media,
elektronik, kaset, semua ini adalah sesuatu wasilah (perantara) dakwah yang
selalu brubah-ubah mengikuti perkembangan zaman dan tempat. Dan semua itu tidak
pernah ada pada masa Rasulullah saw., juga pada sahabat ra.. Semua itu hanya
wasilah-wasilah yang berbeda untuk merealisasikan kewajiban dakwah tersebut,
sehingga hukumnya menjadi sunnah atau wajib, bergantung pada tujuannya. Juga
termasuk dalam kaidah syariat; ‘Bab sesuatu yang kewajibannya tidak sempurna
kecuali dengannya, maka hukumnya wajib.”
Oleh sebab itu, Imam Syathibi rah.a. berkata, “Dakwah yang telah dilakukan oleh para sahabat Rasulullah saw. itu benar, karena memiliki dasar syariat secara global, yaitu perintah menyampaikan syariat agama. Hal ini tiada seorang pun yang dapat menentangnya, sebab Allah berfirman,
“Wahai
Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhan-mu.”
Demikian pula umatnya yang telah
diwajibkan berdakwah. Rasulullah saw. bersabda, “Hendaklah yang hadir
diantaramu menyampaikan kepada yang tidak hadir.”
Dan masih banyak lagi dalil-dalil
lainnya yang menguatkan hal ini. Bahwa amalan ‘tabligh’ tidak disyaratkan
dengan metode tertentu, sebab maknanya jelas dan masuk akal.
Imam Syathibi rah.a. memutlakkan dan
mengumumkan wasilah berdakwah dengan kalimat, ‘…dan lain-lainnya’, yaitu selain
wasilah yang telah disebutkan dan tidak ternash. Termasuk di dalamnya
meluangkan waktu (khuruj fi sabilillah) untuk dakwah dan tabligh.”
Sumber : e-book pikir sesaat untuk agama
Sumber : e-book pikir sesaat untuk agama
0 komentar:
Posting Komentar
WHAT IS YOUR OPINION?