Mereka
Berkata, Bahwa Jamaah TablighDalam
Menunaikan Dakwahnya Seolah – olah Memaksa
Orang Padahal Tidak Ada Paksaan Dalam
Agama
Semakin
agama ini semakin jauh dari zaman pembawaannya, yaitu Rasulullah saw., semakin
terasa bahwa agama semakin tidak dikenal oleh penganutnya sendiri. Rasulullah
saw bersabda, “Islam telah dimulai dalam keadaan asing dan akan kembali menjadi
asing.”
Telah
terjadi perubahan pola pikir, pola rasa, pola pandang, dan pola hidup kaum
muslimin terhadap agama yang dibawa oleh Rasulullah saw.. berbagai perilaku kaum
muslimin secara sadar atau tidak sadar, diakui atau tidak di akui telah
menganak-tirikan agama itu sendiri dan telah menganakkemaskan urusan duniawi.
Tanpa
sadar, kita telah menjadi seorang muslim yang tidak berpola pikir Islami, dan
telah menjadi muslim yang berpola pandang Islami, bahkan telah menjadi muslim
yang tidak berpola hidup Islami.
Mari
kita perhatikan; mengapa pada hari ini, anjuran – anjuran, seruan – seruan
ataupun ajakan – ajakan ke arah pengamalan agama atau penunaian kewajiban agama
tersebut dan dianggap sebagai suatu pemaksaan, bahkan disebut sebagai perbuatan
penganiayaan hak asasi manusia? Dan sebaliknya, mengapa ajakan – ajakan,
anjuran – anjuran dan seruan – seruan yang tidak berhubungan dangan syariat,
bahkan bertentangan dengan syariat Islam, tidak disebut sebagai pemaksaan?
Bahkan kita menunaikannya dengan senang hati walaupun kita harus mengorbankan
dalam melaksanakannya?
Mari
kita perhatikan permisalannya;
Berapa
banyak hari ini orang tua yang rela memaksa anaknya untuk pergi kursus musik,
menari ataupun olah raga, tetapi mereka tidak memaksa anaknya untuk belajar
mengaji atau menghafal Alquran? Sehingga berapa banyak anak – anak muslim yang
lulus dari sekolah lanjutan bahkan sarjana, tetapi buta Alquran?
Berapa
banyak orang tua yang rela ribut dalam membangunkan adanya untuk pergi ke
sekolah jika relambat, namun tidak pernah peduli untuk membangunkannya adzan
shalat shubuh berkumandang?
Berapa
banyak orang tua yang rela di paksa menyaksikan putra – putrinya berpacaran,
bahkan menganggapnya sebagai salah satu gaya hidup masa kini, tetapi merasa
curiga ketika putra – putrinya aktif di pengajian?
Mengapa
kaum muslimin secara taat telah rela dipaksa untuk membayar pajak – pajak
mereka, tetapi sangat sulit diingatkan untuk menyantuni anak yatim dan berinfak
fi sabilillah?
Mengapa
ribuan kaum muslimin rela dipaksa berdiri dengan berdesak – desakan di konser –
konser musik hingga berjam – jam, namun tidak rela dipaksa untuk berdiri dalam
Tahajjudnya?
Mengapa
kaum muslimin rela dipaksa duduk berjam – jam mengobrol di warung kopi, tetapi
tidak rela jika dipaksa untuk duduk di dalam majelis ta’lim?
Mengapa
banyak kaum muslimin rela dipaksa untuk tepat waktu pada jam kerjanya, namun
tidak rela dipaksa untuk tepat waktu ketika mendirikan shalat fardhunya?
Berapa
banyak kaum muslimin yang rela dipaksa untuk mempercayai berita – berita media
yang bersumber dari musuh – musuh Islam, tetapi sulit untuk mempercayai berita
– berita yang dibawa oleh Allah dan Rasul-Nya?
Berapa
banyak kaum muslimin yang rela dipaksa untuk meyakini kebenaran berita – berita
media yahudi dan nasrani, tanpa meneliti kebenarannya terlebih dahulu, tetapi
sulit untuk meyakini kebenaran firman Allah dan Rasul-Nya?
Dan
masih banyak lagi, penyelwengan – penyelewengan yang telah menganaktirikan
agama, dan sebaliknya memanjakan dengan penuh suka rela terhadap urusan duniawi
atau kemaksiatan. Berbagai kasus diperlakukan secara tidak adil dan hanya
dipandang dari sisi dunianya saja, tanpa memperdulikan sisi akheratnya.
Ketika
Syaikh Muhammad Ilyas menerangkan hadits Nabi saw yang bermakna, “barang siapa
tidak menyayangi, tidak akan disayangi. Sayangilah penduduk bumi, niscaya kamu
akan disayangi oleh penduduk langit.” Beliau berkata, “sayangnya, orang – orang
telah mengkhususkan hadits ini dengan rasa kasihan kepada orang – orang yang
lapar dan miskin. Mereka merasa kasihan terhadap orang kelaparan, kehausan,
tidak berpakaian, dan lain – lainnya. Tetapi mereka tidak merasa kasihan
terhadap kaum muslimin yang jauh dari agama. Seakan – akan kerugian dunia
adalah kerugian sebenarnya, dan kerugian agama tidak dianggap sebagai suatu
kerugian. Lalu bagaimanakah ahli langit akan kasihan terhadap kita, jika tidak
merasa kasihan terhadap keadaan agama saudara – saudara kita sesama muslim?
Demikianlah
kekeliruan pola pandang, pola pikir, pola rasa, dan pola hidup kita terhadap
nilai – nilai agama yang banyak terjadi di kalangan kaum muslimin. Dimana
terhadap urusan duniawi banyak yang tidak dianggap sebagai paksaan. Hampir
kebanyakan orang menganggap bahwa untuk urusan duniawi harus bekerja keras dan
memerlukan pengorbanan. Sedangkan untuk urusan agama cukup bersantai – santai
dan jangan memaksakan diri.
Kesalahanggapan
yang demikian, mengakibatkan hati seorang muslim jauh dari Islam. Ia akan merasa
tertekan dalam melaksanakan syariat. Apapun pembebanan dan kesulitan di dalam
agama dianggap sebagai suatu pemaksaan. Jauh berbeda dengan urusan duniawi,
apapun kesulitannya dan penekanannya , yang penting memberikan keuntungan
materi bagi mereka, tidak akan disebut pemaksaan. Padahal Allah berfirman; “dan
orang – orang yang bersusah payah dalam urusan kami, niscaya kami pasti akan
memberi mereka petunjuk kepada jalan – jalan kami.”
Di
sinilah letak inti permasalahan yang menimbulkan tuduhan pemaksaan kepada
jamaah tabligh. Bahkan tuduhan tersebut tidak hanya dialamatkan kepada jamaah
tabligh, tetapi kepada ketaatan dan kemurnian agama. Sedikit saja, seseorang
memberi penekanan kepada agama, maka ia akan di tuduh sebagai pemaksa, penindas
hak – hak asasi manusia, penghalang kebebasan, ekstrimis, teroris dan
sebagainya. Dan tuduhan – tuduhan seperti ini tidak pernah dialamatkan kepada
penyeru keduniaan.
Jamaah
Tabligh Dan Pemaksaan
Jamaah
Tabligh sama sekali tidak pernah memaksa orang untuk beramal atau mengikuti
kegiatan Jamaah Tabligh mendorong kaum muslimin agar wujud kecintaan terhadap
agama sebagaimana mereka biasa berkorban dengan sukarela untuk urusan dunia.
Untuk
itulah dalam kegiatan jamaah dakwah dan tabligh lebih diutamakan menyampaikan
fadhai (nilai – nilai amal), yaitu untuk mengalihkan kecintaan manusia yang
tadinya ditujukan kepada duniawi, dialihkan kepada kerelaan berkorban untuk
urusan duniawi, dialihkan kepada ukhrawi. Kerelaan berkorban untuk urusan
ukhrawi. Karena tanpa pengorbanan, niscaya mustahil keimanan dan kedekatan
kepada Allah akan meningkat.
Syaikh
Ilyas berkata, “Rasulullah saw mendapatkan kedudukan tinggi karena mengorbankan
diri beliau untuk agama. Bahkan beliau menyatakan, bahwa derajat akan dicapai
dengan pengorbanan. Dan para sahabat Nabi pun berkorban di jalan Allah.
Sedangkan kalian menginginkan agama datang dengan cara membaca kitab sambil
tiduran.”
Beliau
berkata, “kenikmatan dan haisl yang didapatkan (oleh para sahabat) melalui
pertumpahan darah, maka setidak – tidaknya kita dapatkan melalui cucuran
keringat.”sejauhmana kita dapat mengusahakan orang lain untuk keluar
bertabligh, maka sejauh itu pula kita akan mendapat pahalanya. Dan apabila
bantuan kepada orang yang akan keluar bertabligh itu berupa harta, makakita pun
akan mendapat pahala mengorbankan harta. Kemudian kita menganggap kepada orang
yang telah keluar bertabligh itu telah berbuat baik kepada kita. Dimana tugas
yang seharusnya menjadi pekerjaan kita, karena suatu udzur kepada kita,
sehingga kita berhalangan untuk keluar bertabligh pada saat itu. Maka orang itu
telah menunaikan kewajiban kita. Demikianlah agama, orang yang tinggal dan
orang yang udzur menganggap bahwa orang yang berjuang itu, telah berbuat baik
kepadanya.”
Perubahan
kecintaan seseorang akan terasa, bergantung pada sejauh mana pengorbanannya.
Sejauhmana seseorang bersusah payah untuk sesuatu tersebut. Sebagaimana
seseorang ibu lebih mencintai anaknya dari pada bapak, karena pengorbanan
seorang ibu lebih besar terhadap anaknya daripada bapak. Demikianlah juga
kehidupan kita. Sejauhmana kita bersedia bersusah payah untuk duniawi, maka
sejauh itu pula kecintaan kita kepada duniawi akan meningkat. Dan sejauh mana
kesusahan kita untuk agama, maka sejauh itu pula kecintaan kita terhadap agama
akan meningkat. Syaikh Muhammad Ilyas berkata, “usaha ini adalah lumbung emas
dan perak. Sejauhmana menggalinya, maka sejauh itu pula yang didapatkannya.”
Kedudukan
Memaksa Dalam Agama
Di
dalam pelaksanaan agama, terdapat hukum mukallaf, yaitu orang yang terebebani oleh
syariat. Artinya, mau tidak mau seseorang yang sudah baligh, aqil dania
seseorang muslim, ia wajib mentaati seluruh syariat agama yang diturunkan oleh
Allah kepadanya, kecualiia memiliki udzur yang diijinkan oleh Syar’i. dan
demikianlah hikmah syariah dalam Islam. Tujuan pembebanan tersebut tidak
disebut sebagai sesuatu pemaksaan, tetapi sesuatu kewajiban. Hal ini
disyariatkan dengan tujuan untuk menyelamatkan manusia dari kerugian dunia dan
akherat.
Syaikh Ali Ahmad Al – Jurjawi menyatakan, bahwa semua syariat yang
diturunkan dari langit (samawiyah) memiliki empat tujuan;
1. Ma’rifatullah, tauhid, pemujian dan
penyifatan-Nya dengan sifat – sifat yang sempurna.
2. Tata cara pelaksanaan ibadah
kepada-Nya, termasuk pengagungan dan mensyukuri nikmat – nikmat-Nya.
3. Anjuran untuk mengajak kepada
kebaikan, dan mencegah kemungkaran, serta beradab mulia dan berakhlak yang suci
4. Menghentikan orang yang melampaui
batas dengan menerapkan hukum – hukum yang telah ditetapkan dalam hal
mu’amalah. Agar dengan menetapkan hukuman – hukuman (yang diremehkan pada zaman
sekarang ini), ketertiban sosial dan ketentraman manusia tidak terusik.
Dari
Jabir ra., Rasulullah saw bersabda, “permisalanku dan kamu seperti seorang yang
menyalakan api dan nyengat dan serangga – serangga lainnya mulai berjatuhan ke
dalamnya, dan ia mencoba mencegah mereka dari jatuh ke dalam api. Aku berusaha
menyelamatkanmu dari api dengan memegang pergelangan tanganmu, tetapi kamu
melarikan diri dari tanganku (dan jatuh ke dalam neraka).”
Sabda
Nabi saw.;’…Aku berusaha menyelamatkanmu dari api dengan memegang pergelangan
tanganmu…’ adalah ungkapan yang menunjukkan kasih sayang Rasulullah saw.
Terhadap umatnya, bukan sebagai pemaksaan ataupun kezhaliman.
Mari
kita renungkan; Seandainya ada seorang saudara kita yang hampir jatuh kedalam
jurang, tentu kita akan berusaha menariknya sekeras mungkin agar ia terselamat
tidak terjatuh kedalam jurang tersebut. Tidak mungkin kita akan membiarkannya
begitu saja, atau kita hanya memegang tangannya saja tanpa menariknya dengan
sungguh-sungguh untuk menyelamatkannya.
Demikianlah
juga yang terjadi hari ini pada umat manusia, khusunya kaum muslimin. Berapa
juta orang Islam yang sedang berbondong-bondong menuju jurang api neraka?
Jurang manakah yang lebih mengerikan daripada jurang kemusyrikan? Dan jurang
manakah yang lebih berbahaya daripada jurang kemaksiatan dan dosa-dosa?
Mari
kita reningkan contohnya; Misalnya dalam masalah shalat fardhu; Bukankah shalat
adalah fardhu ‘ain bagi setiap muslim, yang baligh dan berakal? Lalu
bagaimanakah jika saudara-saudara kita dengan sengaja mengabaikan shalat lima
waktu tersebut? Bukankah mereka sedang menyalakan api neraka untuk membakar
tubuhnya sendiri di dalam neraka?
Apakah
kita akan membiarkan saudara kita membakar dirinya tanpa menyeret tangannya dan
menjauhkannya dari api itu untuk menyelamatkannya?
Apakah
jika kita menariknya sekeras mungkin agar ia selamat, hal itu disebut suatu
pemaksaan dan kezhaliman, ataukah justru penyelamatan?
Syaikh
Muhammad Zakariyya berkata,”Demikianlah Jamaah Tabligh berittiba’ dalam
menyelamatkan manusia dari apai neraka. Bukankah orang yang meninggalkan shalat
fardhu dan tidak beragama itu sebenarnya sedang terjerumus ke dalam api neraka?
Lalu apakah menyelamatkan orang yang sedang terjerumus ke dalam api neraka itu
dikatakan memaksa? Apakah tidak boleh kita memaksa saudara-saudara kita yang
sedang terjerumus ke dalam api neraka?”
Dalam
‘Taisirul Wushul’ disebutkan, “Mengingat kepentingan shalat berjemaah di
mesjid, maka para penguasa daerah hendaknya memerangi penduduk yang
meninggalkan syariat Islam yang penting ini. Abu Hurairah ra. Meriwayatkan,
bahwa Nabi saw, bersabda ketika menjumpai ada beberapa orang yang tidak
mnyertai sholat berjemaah, beliau bersabda,”Sungguh aku akan menyuruh
mengumpulkan kayu-kayu bakar, kemudian kusuruh mendirikan shalat, lalu
diadzankan untuknya. Kemudian aku menyuruh orang untuk menjadi imam, dan aku
pergi kepada mereka yang tidak berjamaah, lalu kubakar rumahnya bersama mereka
di dalamnya.”
Mengingatkan
kepada sesuatu yang kepentingannya menyangkut umat secara keseluruhan,
sebagaimana amalan meningkatkan iman, memakmurkan mesjid, dan berdakwah
mengajak manusia kepada Allah, maka penekanan dalam hal ini jangan dianggap
sebagai suatu paksaan.
Dari
hadits-hadits diatas, dapat dipahami bahwa kekerasan ataupun pemaksaan dalam
melaksanakan sesuatu yang bahanya dapat melibatkan umat secara keseluruhan,
sebenarnya adalah bentuk kasih sayang seorang da’i terhadap mad’unya.
Sebagaimana ancaman Rasulullah saw, terhadap umatnya yang tidak menyertai
shalat berjamaah dan mereka shalat di rumah masing-masing, dengan mengancam
akan membakar rumah-rumah mereka.
Perhatikan
juga kisah pemboikotan Rasulullah saw dan para sahabatnya terhadap tiga orang
sahabat Nabi
saw., yaitu; Ka’ab bin Malik, Hilal bin Umayah, dan Murarah bin
Rabi’ra, selama 50 hari tanpa bicara dan salam kepada mereka, karena mereka
mengabaikan perintah jihad, yaitu tidak menyertai perang Tabuk tanpa udzur
syar’i.
Jika
kita simak kisah tersebut, tentu kita akan menduga seolah-olah Nabi saw, itu
sangat bengis dan tidak berperasaan. Namun sesungguhnya, inilah bentuk kasih
sayang Nabi saw. Mau tidak mau, beliau mesti bersikap dan berkata keras,
mengingat kepentingan melaksanakannya dan bahaya jika mengabaikannya. Apapun
tindakan yang menyelamatkan harus segera dilakukan, sebab adanya bahaya besar
yang mesti dihadapi; yaitu menyelamatkan mereka dari bahaya neraka jahanam dan
murka Allah.
Sebagaimana
mobil pemadam kebakaran yang sedang melaju kencang ke arah lokasi kebakaran.
Jika ada sesuatu yang menghalangi jalannya, maka ia mesti berlaku keras bahkan
bila perlu menabraknya, karena adanya bahaya yang jauh lebih besar.
Lalu
bagaimanakah dengan kita sekarang? Sedangkan yang terjadi sekarang ini sudah
jauh lebih parah daripada kerusakan pada zaman Rasulullah saw.? Kebanyakan kaum
muslimin bukan hanya mengabaikan shalat berjamaah di masjid, bahkan sebagian
mereka sudah tidak shalat sama sekali, padahal mereka mengaku Islam! Namun
adakah diantara kita yang berani berkata kepada mereka uang telah meniggalkan
shalat berjamaah di masjid dan melaksanakannya di rumah lalu berkata, ‘ saya
akan bakar rumah – rumah kalian?’ tentu kita akan menganggapnya orang gila,
jika ada yang berani mengatakannya demikian.
Walaupun
pemaksaan dalam mengajak orang – orang tidak dibenarkan dalam usaha jamaah
tabligh, namun hendaknya umat Islam menyadari bagaimana kepentingan mengajak
mereka,mengingat bahaya yang ditimbulkan akibat ketidaktaatan itu akan menimpa
umat secara umum di dunia ini.
Tidak
Ada Paksaan Dalam Agama
Banyak
orang jahil yang berkata dengan beralasan firman Allah, bahwa, “tidak ada
paksaan dalam agama’, sehingga mereka menolak untuk diajak bersusah payah dan
ditekan dalam pengamalan agama. Padahal yang dimaksud oleh ayat tersebut
bukanlah kaum muslimin, tetapi orang – orang kafir.
Syaikh
Muhammad Zakariyya rah.a. berkata, “ayat; ‘ …tidak ada paksaan pada
agama..’ itu adalah hak orang kafir. Bahwa mereka tidak dipaksa dengan
pedang untuk beriman. Hal itu berbeda terhadap orang – orang muslim. Rasulullah
saw bersabda, “barang siapa melihat kemungkaran, hendaklah ia merubahnya dengan
tangannya. Apabila tidak sanggup, maka hedaklah dia merubahnya dengan lisannya,
apabila tidak sanggup, maka hendaklah ia merubahnya dengan hatinya. Dan hal itu
adalah selemah – lemahnya iman.”
Allah
berfirman “…maka
apakah engkau hendak memaksa manusia, sehingga mereka itu semua menjadi
beriman?”
Pertanyaannya
adalah bisakah paksaan menghasilkan maksud? Padahal akan hanya dapat menyentuh
jasad, sedangkan batinnya tidak mudah untuk dikuasai. Bahkan tidak ada seorang
Nabi pun yang dapat menguasai hati manusia untuk beriman. Dalam menafsirkan
ayat di atas Prof. DR. HAMKA menyatakan, “kewajiban Rasul bukanlah
memaksa,melainkan menyampaikan, memberi dakwah, menerangkan bahaya yang
mengancam bagi orang yang tidak mau percaya dan memberikan kabar gembira kepada
siapa yang beriman. Paksaan hanya akan menimbulkan banyak korban, namun tidak
menunjukkan kebijaksanaan.”
“maka
apakah kami akan berhenti menurunkan Alquran kepadamu, karena kamu adalah kaum
yang melampaui batas?”
Beliau
juga berkata, “iman itu memiliki dua sayap; pertama adalah keras dan tegas
terhadap musuh – musuh Allah dan rasul – rasulNya, dan kedua adalah sayang dan
mengasihi orang – orang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya, serta merendah di
hadapan mereka. Firman Allah;
“merendahkan
diri terhadap orang – orang yang beriman dan bersikap keras terhadap orang –
orang kafir.”
“keras
terhadap oran – orang kafir dan berkasih sayang terhadap mereka.”
Untuk
pengembangan dan peningkatan orang – orang beriman kedua sayap tersebut adalah
sangat penting. Tidak ada seeor burungpun yang dapat terbang hanya dengan satu
sayap.”
Penekanan
Hukum Yang Wajib Adalah Wajib
Imam
Al – Qurafi menjelaskan, “wasilah (perantara) ada yang wajib di tutupi, ada
yang wajib dibuka, ada yang dimakruhkan, ada yang disunnahkan, dan ada yang
mubah. Perantara adalah wasilah terhadap sesuatu yang diharamkan hukumnya
haram, maka wasilah terhadap sesuatu yang wajib hukumnya wajib, seperti ;
berangkat untuk shalat jum’at dan haji.”
Syaikh
Aiman Abu Syadi menerangkannya seraya memberi permisalan, yaitu Firman Allah,
“katakanlah
(hai Muhammad) kepada orang – orang beriman, hendaklah mereka menahan
pandangannya, dan memelihara kemaluannya. Yang demikian itu adalah lebih suci
dari mereka.”
Allah
menutup semua wasilah dan jalan yang rusak. Sebelum Allah mengharamkan zina,
dia mengharamkan terlebih dahulu semua wasilah dan menutup semua jalan menuju
zina. Seolah – olah Allah berfirman, “janganlah engkau melihat kepada yangbukan
mahram, sehingga engkau tidak bersyahwat, sehingga engkau tidak berzina.”
Karena melihat dan bersyahwat adalah wasilah kepada zina.
Allah
membuat alasan penutupan hijab antara wanita – wanita suci dan pria – pria suci
dengan menyatakan bahwa hijab itu lebih mensucikan hati mereka dan sebagai
penutup wasilah ke arah kerusakan, serta menjauhkan mereka dan semua orang dari
keragu – raguan.
Syariat
ini juga ditujukan untuk umat secara umum. Seandainya mereka (istri – istri Nabi)
yang suci saja harus berhati – hati dan waspada, maka apalagi orang – orang
selain mereka, tentu harus lebih berhati – hati dan waspada dalam masalah
agama, ketakwaan, dan wara’.
Nabi
saw memperingatkan mengenai saudara ipar, sebagai penutup wasilah ke arah
perzinahan yang berujung pada hukum mati rajam, bila ia seorang muhshan (muslim
yang menikah).
Apakah
hal tersebut dianggap sesuatu yang baru yang termasuk dalam kaidah kaidah yang
wajib, maka sebagian ulama menamakannya sebagai bid’ah wajibah, sebagaimana
sebagian contoh yang telah disebutkan di atas. Dan jika sesuatu yang baru yang
termasuk dalam kaidah – kaidah wajib itu harus memiliki perantara untuk
merealisasikannya, maka perantara ini hukumnya sama dengan tujuan asalnya,
yaitu wajib.
Dan
suatu kewajiban adalah beban Syar’I yang harus diamalkan. Berdosa jika
meninggalkannya dan berpahala jika mengamalkannya.
Sikap
Jamaah Tabligh dalam Mengajak
Ketika
seseorang mencintai sesuatu, niscaya dia akan berkorban demi sesuatu yang
dicintainya itu. Oleh sebab itu , kecintaan umat terhadap agama ini sudah
sangat tipis, maka selembut apapun perbuatan jamaah tabligh dalam mengajak
mereka kepada agama, dituduh sebagai pemaksaan. Apalagi deberi penekanan dalam
ajakannya, makahal itu dituduh telah melanggar hak asasi manusia.
Syaikh
Muhammad Zakariyya menyatakan hal ini dalam bukunya,” menurut saya, memaksa dan
menekankan sungguh jauh berbeda. Mungkin pemahaman orang awam menyamakan
keduanya, namun secara bahasa jelas pengertian keduanya jauh berbeda. Saya sendiri
tidak terhitung banyaknya sering menghadiri mejelis – mejelis dakwah dan
ceramah dan saya kerap mendengar bagaimana para da’I memberikan penekanan –
penekanan denga keras lewat pembicaraan mereka. Akan tetapi dalam pandangan
saya, hal itu bukan suatu pemaksaan, namun itu hanyalah suatu penekanan dalam
pembicaraan.”
Perlu
diketahui bahwa, para masyaikh jamaah tabligh sangat menekankan kepada para
jamaah agar mengutamakan kelembutan dan menjauhi segala bentuk pemaksaan
terhadap siapapun dalanm berdakwah. Hal ini dapat terlihat dalam nasehat dan
sikap para masyaikh tabligh terhadap jamaahnya.
Diantaranya,
nasehat syaikh Muhammad Ilyas, yang berkata, “asas kerja tabligh kita adalah
kasih sayang. Oleh sebab itu, kerja ini harus dilakukan dengan lemah lembut dan
kasih sayang. Jika para mubaligh tabligh, diiringi dengan kerisauan atas
kemunduran kaum Muslimin dalam hal agama, maka sungguh kita akan mendapatkan
keberhasilan dalam menunaikan kewajiban ini. Tetapi, jika bukan dengan cara
demikian, dan ada cara lain, maka hal itu akan mendatangkan sikap takabur dan
ujub, yang tidak dapatdiharapkan faedahnya.
Syaikh
Umar Palanpuri pun sering berkata di dalam nasehat pembekalan terhadap jamaah
yang akan dikirimnya (bayan Hidayah), “buatlah halaqah – halaqah tasykil terhadap
orang – orang tempatan. Perhatikanlah udzur – udzur mereka. Jangan menakut –
nakuti, tetapi dengan hikmah beritahukanlah jalan keluarnya. Berilah targhib
secara halus dan hikmah agar orang itu dapat keluar dengan keputusannya sendiri
dengan masalahnya. Jangan pernah kita tidak peduli dengan masalah mereka atau
bahkan menafikannya. Misalkan seseorang berkata, “Istri saya sakit’, jangan
katakan kepadanya, ‘sudah biarkan saja. Toh hidup dan mati dari Allah. Keluar
saja!’ orang yang suka berkata demikian, lain kali jangan diberi kesempatan
untuk bayan. Seharusnya kita harus ikut berbela sungkawa, dan bersedih atas
masalahnya. Tunjukkan keprihatinan dan perhatian kita atas masalah mereka.
Arahkan dia kepada syariat. Lupakan dulu nama mereka untuk keluar (40 hari atau
4 bulan). Terimalah dia walau hanya bisa keluar tiga hari atau sehari saja.
Yang penting, gunakanlah sebaik mungkin waktu yang telah ia berikan, sehingga
berkesan di hatinya. Lalu dengan sendirinya, pada lain waktu ia dapat keluar 40
hari atau 4 bulan.”
Syaikh
Zakariyya juga berkata, “hendaklah kalian meyakini bahwa gerakan kami dalam
mentablighkan Islam sangat menjauhi hal – hal yang menyakiti hati dan ucapan –
ucapan yang mengakibatkan fitnah keburukan bagi manusia.”
Dalam
bayan – bayan hidayah, Syaikh Yusuf berkata, “Tasykil adalah otak kerja dakwah.
Tanpa tasykil , kerja ini hanya tinggal omongan.” Dan beliau berkata,
“usahakanlah mendakwahi orang – orang agar dapat meluangkan waktu mereka untuk
belajar mengamalkan agama selama empat bulan, tetapi jangan sekali kali
dilakukan dengan paksaaan. Lakukanlah dengan penuh kelembutan. Berikan
penekanan sebatas kemampuan mereka. Walaupun mereka hanya menyanggupi satu
hari, terimalah pengorbanan itu dengan senang hati. Selanjutnya gunakanlah
waktu yang mereka berikan itu, berapapun agar mereka dapat memahami kerja ini
dengan baik.”
Selanjutnya,
perhatikanlah salah satu yang diungkapkan oleh Syaikh Muhammad Zakariya atas
tuduhan ini, beliau menulis: ‘sebagai
bukti dari pendirian jamaah tabligh, bahwa jamaah tabligh tidak ada paksaan,
saya berikan satu contoh kasus yang telah diadukan kepada saya melalui sepucuk
surat yang isinya demikian;
“syaikh,
saya adalah seorang pedagang. Sekarang ini saya dilanda kerugian yang sangat
besar, sehingga saya berhutang sangat besar kepada seseorang. Akibatnya
saya diharuskan meninggalkan rumah saya untuk membayar hutang tersebut. Dalam
kebingungan, saya pergi ke markas Nizhamuddin. Saya tinggalkan anak istri saya
di rumah. Pada mereka saya tinggalkan uang 5 rupee, sedangkan saya sendiri
membawa 7 rupee. Yang langsung habis untuk ongkos ke delhi ini. Saya ingin
keluar dengan jamaah tabligh, namun pada diri saya sudah tidak ada uang
sedikitpun. Sekarang saya meminta petunjuk, syaikh. Apakah saya sebaiknya
keluar dengan jamaah tabligh, ataukah saya kembali pulang ke rumah? Apapun yang
syaik nasehatkan kepada saya, insyaallah akan saya laksanakan. Demikian.
Wassalam.”
Jawaban
(syaikh Zakariya);
“berdasarkan
apa yang telah anda sampaikan, maka saya berpendapat, anda sama sekali tidak
dibenarkan untuk khuruj bersama jamaah tabligh. Justru sebaliknya, anda kembali
ke rumah dan mengurusi anak istri anda. Dan sangat penting anda harus segera
menyelesaikan hutang – hutang anda. Seandainya saat ini anda tidak ada
pendapatyang dihasilkan, maka segeralah mencari kerja yang dapat menghasilkan
uang berapapun. Pertama cukup dahulu kepentingan anak istri, selanjutnya
usahakanlah untuk memenuhi hutang anda.”
Wassalam..11
Rabi’uts Tsani 1392H.
Syaikh
Zakariya menulis, “ini adalah surat yang baru datang. Sedangkan selebihnya,
sudah saya terima kurang lebih 5000 pucuk surat yang bernada demikian. Dalam
hal ini berulang – ulang sangat saya tekankan, bahwa saya pribadi atau tokoh
jamaah tabligh tidak pernah manganjurkan pemaksaan seseorang dalam khuruj fi
sabilillah. Seandainya ada yang berbuat demikian, silahkan hubungi saya,
niscaya akan ia dapatkan larangan berbuat demikian dari saya.
Sebenarnya
sudah bertahun – tahun saya kemukakan hal ini. Ternyata orang hanya memandang
pemaksaan jamaah tablighnya saja, sedangkan sikap saya atas pelarangan hal itu
tidak pernah diperhatikan. Seandainya perlu dibuktikan samua surat tadi yang
saya sebutkan, dapat saya tunjukkan. Dan dalam semua jawaban surat – surat itu,
saya menekankan bahwa tidak ada unsur paksaan di dalam jamaah tabligh. Semua
amalan dalam jamaah tabligh disesuaikan dengan kemampuan dan keadaan masing –
masing. Apalagi yang menyangkut hak – hak manusia, tidak pernah kami bersikap
menhabaikan dalam hal itu.”
Demikianlah
yang menjadi arahan dari para masyaikh jamaah dakwah dan tabligh. Sama sekali
tidak ada unsur paksaan di dalam menjalankannya. Sesungguhnya setiap individu
umat ini, jika bangkit untuk saling menasehati dengan cara yang lembut serta
hikmah, maka akan tercegah dengannya penyebar – penyebar kajahatan dan
kemungkaran di sekitar mereka.
Syaikh
Aiman Abu Syadi berkata, “Alhamdulillah, ahli jamaajh dakwah dan tabligh yang
telah dirintis oleh Syaikh Muhammad Ilyas telah dibangkitkan dengan
menghidupkan dakwah. Mereka mempelajarinya dan mengajarkannya kepada yang lain.
Dan barangsiapa yang suka untuk bangkit dengan amalan dakwah, maka hendaklah
berteman dengan ahli dan jamaah dakwah dan tabligh. Mereka berlatih dakwah dan
tabligh. Mereka berlatih dakwah dengan cara hikmah dan nasehat yang baik serta
bantahan yang baik. Mereka memiliki satu maksud, yaitu mengarahkan kaum
muslimin kepada hukum – hukum Allah dan berpegang teguh pada sunnah nabi saw..
dan sesungguhnya allah telah membukakan kepada mereka hakekat dakwah ini,
tertib – tertib dan adab – adabnya, sebagaiman firman Allah ; “dan
orang – orang yang berjihad untuk (mencari ridha) kami, benar – benar akan kami
tunjukkan kepada merekan jalan – jalan kami.”
Sesungguhnya
seorang da’i apabila melihat pertentangan dari orang – orang yang mereka ajak,
ia mencela dirinya sendiri dan tidak mencela penentangnya. Apalagi mereka itu
yang mengaku Islam. Bukankah Nabi saw tatkala disakiti oleh kaum Thaif beliau
berkata, “ya Allah, sesungguhnya sku mengadu kepada-Mu lamahnya kakuatanku dan
sedikitnya daya upayaku.”
Demikianlah
Anbiya as. Menerangkan kepada manusia akan keagungan dan kebesaran-Nya.
Kemudian mereka menerangkan kewajiban bertauhid kepada-nya serta mengingkari
tuhan selain Allah. Para Anbiya as juga memberikan kabar gembira kepada orang –
orang yang beriman dengan surga-Nya, dan memberi peringatan kepada orang –
orang kafir dengan neraka dan adzab-Nya yang pedih, sehingga dengan menyeru
kepada kebajikan akan menumbuhkan rasa persiapan pada hati – hati manusia. Dan
setelah itu barulah mereka dari hal – hal yang dibenci Allah. Maka amar ma’ruf
nahi mungkar seperti halnya menyebarkan bibit tanaman di atas tanah yang sudah
digarap dan dibajak, demi menerima bibit yang akan ditanam.
Disinilah
peran membajak tanah untuk ditanami. Perlu susah payah, agak menyakitkan, dan
penuh penderitaan. Namun tanah yang demikian yang akan mudah menghasilkan panen
amal keshalihan yang sukses. Maka barangsiapa beramar ma’ruf nahi mungkar
sebelum menyeru kepada Allah dan kebajikan seperti orang yang menyebarkan bibit
di atas tanah yang luas lagi keras yang tidak terbajak yang tidak siap untuk
ditanami.
Ustadz
Muhammad Abduh berkata, “sebagian ulama mensyaratkan dalam kewajiban berdakwah,
yaitu adanya rasa aman pada seorang da’i yang menyeru kepada Allah dan beramar
ma’ruf nahi munkar, yaitu mesti menyeru manusia dengan hikmah dan nasehat yang
baik, sehingga tidak membuat manusia lari atau ia tersakiti.”
Dan
dalam keamanan seorang da’i terhadap dirinya, merupakan suatu tahapan dakwah
yang memerlukan kemampuan khusus. Dikatakan bahwa untuk menghadapi para
penguasa yang zhalim haruslah orang – orang ahli hikmah. Namun ada yang
berpendapat, bahwa kemamanan tadi bukanlah suatu syarat bagi seorang da’i.
berdasarkan hadits Rasulullah saw., “barang siapa melihat kemungkaran, maka
hendaklah ia mencegahnya dengan tangannya. Jika ia tidak mampu, maka cegahlah
dengan lidahnya. Jika tidak mampu, maka hendaklah ia merasa benci di dalam
hatinya. Dan ini adalah selemah – lemahnya iman.”
Jadi,
jamaah dakwah dan tabligh ini tetap berpegang pada cara dakwah Rasulullah saw
yang lembut dan hikmah. Itu jugalah yang menjadi asas jamaah Tabligh dalam
berdakwah. Sedangkan mengenai pemaksaan, sesungguhnya perasaan itu muncul
disebabkan kesalahan pola piker, pola pandang, dan pola rasa kita terhadap
agama.
Sekian.
Wallahu a’lam
Sumber : e-book pikir sesaat untuk agama
Sumber : e-book pikir sesaat untuk agama
0 komentar:
Posting Komentar
WHAT IS YOUR OPINION?