Baru saja saya selesai pengajian dhuhur di Pesantren, saya langsung tertarik membuka inbox. Ternyata, ada salah seorang sahabat saya yang menanyakan perihal Jama’ah Tabligh kepada saya.
Jujur saja, meski saya tak seberapa dalam mengenal kelompok ini, tapi ia tak asing bagi saya. Sebab, menurut ibu, bapak akrab dengan kelompok ini. Keakraban bapak terlihat dengan merelakan mushala kecil di kampung nenek, yang jauh di kaki gunung, sebagai tempat menginap mereka. Maklum di kala masjid lain menolak mereka, bapak justru menyediakan tempat “mondok” bagi mereka.
Jika nasib saya baik, saya bertemu dengan mereka di saat saya pulang ke kampung nenek (tiap sabtu biasanya saya pulang, entah 2 minggu atau sebulan sekali). Saya menyempatkan berbincang dengan mereka, dan sesekali saya mengamati perilaku kehidupan mereka.
Saya merasa berkesan dengan kelompok ini. Tak terlihat kebengisan di wajah mereka, melainkan senyum yang seakan tak putus dari bibir mereka. Yang menarik, mereka dengan tekunnya beribadah. Siang hari mereka berpuasa, sedangkan malamnya, mereka bangun untuk tahajjud. Hampir 24 jam waktu mereka pergunakan dengan ibadah. Sunnguh, bersama mereka, saya serasa memutar kembali waktu di zaman Nabi Saww ketika mendidik sahabat di Baitul Arqam.
Sesekali, menjelang maghrib, saya menyempatkan diri bersama mereka menyambangi rumah warga. Iya, mereka mendatangi rumah demi rumah. Bukan untuk meminta belas kasihan, melainkan mengajak warga agar shalat berjamaah. Ah…sungguh perbuatan terpuji yang tak ada bandingnya. Setidaknya bila dibandingkan dengan aku, yang hanya bisa mengajak di balik mimbar dan berkoar-koar dengan “microphone” masjid.
Tak ada raut duka tersirat di wajah mereka. Hidup mereka tak jauh dari nilai2 Islami, terutama solidaritas antar muslim, dan itu tercermin ketika mereka “berjamaah” menikmati hidangan yang ala kadarnya, yang ditaruh di atas selembar daun pisang.
Terdorong rasa penasaran, saya pernah bertanya kepada mereka, tentang bagaimana tanggapan mereka terhadap yang berbeda paham dan agama, dan mengapa mereka melakukan semua ini?.
Dengan tersenyum, salah seorang sepuh di antara mereka menjawab, “maaf dik, kami tidak mengurusi persoalan khilafiyyah. Bagi kami, siapapun yang menyaksika bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad sebagai Nabinya, ia adalah saudara kami. Tak perduli dari aliran atau madzhab manapun.
Adapun mengenai non muslim, kami menghormati keyakinan mereka. Bagi kami cukup apa yang telah difirmankan oleh Allah, yaitu “Lakum Dinukum Waliya Diin”. Sungguh, saya hampir menitikkan air mata mendengar jawaban mereka yang demikian tulus menghargai setiap perbedaan. Jawaban yang hampir tak pernah saya dengar di setiap pribadi muslim
Kemudian mengenai tujuan mereka, saya memutuskan tidak bertanya. Cukup 24 jam bersama mereka telah memberi gambaran kepada saya tentang tujuan mereka. Mereka ialah orang2 yang mempunyai semangat dakwah yang tinggi, dengan dibarengi akhlak yang adiluhung pula.Sehingga saya merasa heran mengapa ada sebagian kelompok yang menghina mereka, bahkan membid’ahkan, hanya disebabkan buku pegangan mereka, yaitu “Fadilah Amal”, banyak memuat hadist2 yang dianggap dhoif.
Jadi jika saya ditanya, “siapakah mereka?”. Saya menjawab: “Mereka adalah muslim, saudara kita. Mereka mencoba menghayati agama ini dengan meneladani Rassul dalam kehidupan sehari2.”
Jamaah Tabligh…saya salut kepada anda…Mudah2-an Allah memberi kemudahan pada anda. Dan selamat berjuang saudaraku. Tunjukan wajah Islam yang ramah dan santun.
Salam gitu aja koq repot.
SUMBER : Single Fighter
- Blogger Comment
- Facebook Comment
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
0 komentar:
Posting Komentar
WHAT IS YOUR OPINION?