Prof Dr Hamka mengatakan, kalau mau lihat orang Islam, lihatlah shalat Ied-nya, tapi kalau mau lihat orang beriman, lihatlah salat subuhnya di masjid.
ADZAN |
Azan dimulai saat Rasulullah saw hijrah ke Madinah. Dimusyawarahkan, ada yang usul buat api unggun, pukul lonceng dan tiup terompet. Akan tetapi, Nabi saw tak setuju karena itu cara Majusi, Nasrani dan Yahudi. Akhirnya, musyawarah ditunda. Malamnya, Abdullah bin Zaid ra mimpi, mendengar suara seperti lafaz azan. Setelah dilaporkan, Nabi saw setuju itu sebagai lafadz azan. Ibnu Umar ra menambah, “Apa kalian tak mengutus seseorang untuk azan?” Rasulullah saw bersabda, “Hai Bilal, berdirilah, azanlah untuk shalat !”
Azan, serta merta menjadi standar pemberitahuan waktu sekaligus panggilan shalat berjamaah. “Jika (waktu) shalat tiba, hendaklah seorang di antaramu mengumandangkan azan dan yang paling tua menjadi imam!” perintah Rasulullah saw.
Abdulah bin Zaid bin Abdi Rabbih berkata, “Tatkala Rasulullah saw mengambil keputusan hendak memukul naqus (lonceng), namun sebenarnya beliau tak suka karena menyerupai kaum Nasrani, maka saat tidur malam, aku bermimpi seorang lelaki mengenakan dua pakaian hijau mengelilingiku dan memegang lonceng. Lalu aku bertanya, “Wahai hamba Allah, apakah engkau menjual lonceng itu?” Jawabnya, “Apa yang akan kamu perbuat dengan lonceng ini?” Saya jawab, “Dengannya aku mengajak orang shalat berjemaah,” Lelaki itu bertanya, “Maukah kutunjukkan yang lebih baik?” Saya jawab, “Ya, tentu!” Kata lelaki itu, “Serukanlah azan!” Bagi yang mendengar azan wajib menjawab, selesai mendengar disunnahkan membaca doa taammah. Sebab, azan lah dakwah paling sempurna.
Bukan sekadar pemberitahuan waktu shalat, tapi panggilan untuk rukuk dan sujud bersama sebagai simbol taat. Menyeru manusia tentang Maha Besarnya Allah dan Muhammad utusan Allah. Jadi ada keuntungan, ada ancaman. Bagi yang memenuhi panggilan azan, setiap langkah kanannya diangkat derajat dan setiap langkah kiri dihapuskan dosa-dosa. Pahala digandakan 27 kali lipat. Barangsiapa sempurna shalatnya, akan diberi lima keuntungan. Satu diberi di dunia, empat di akhirat. Yang satu adalah keberkahan hidup di dunia, yang empat adalah dibebaskan dari siksa kubur, mendapat catatan amal dari tangan kanan, melewati shiratal mustaqiim secepat kilat dan masuk surga tanpa hisab. Ancamannya, barang siapa mendengar azan tapi tak segera menghentikan kegiatan untuk datang ke mesjid, maka shalat yang dikerjakan setelah itu tak akan diterima.
Semua sahabat Nabi saw dan Imam empat mazhab; Syafi’ie, Maliki, Hanafi dan Hambali menghukumkan wajib memenuhi pangilan azan, atau wajib hukumnya salat berjemaah. Nah, kalau memenuhi panggilan azan saja wajib, bagaimana dengan azan itu sendiri? Karena buntut kalimat hadits itu, ...“tak akan diterima shalat yang dikerjakan setelah itu.” Bahkan hukum kafir bagi yang–sekali saja–meninggalkan shalat dengan sengaja. Dalam hadits lain, siapa meninggalkan shalat sekali saja dengan sengaja, wajib masuk neraka satu huqub. Satu huqub 80 tahun, satu tahun 360 hari, satu hari akhirat 1.000 tahun dunia. Total 28.800.000 (dua puluh delapan juta delapan ratus ribu) tahun. Bagaimana kalau sering, bagaimana kalau selalu meninggalkannya? Saat Subuh tiba, Abdullah bin Zaid ra datang dan melaporkan mimpinya, Rasulullah saw bersabda, “Insya Allah mimpimu benar!” Beliau menyuruh Bilal, bekas budak Abu Bakar ra mengumandangkan azan dengan lafaz seperti itu.
Makanya, polemik sontak menyentak. Pernyataan Boediono agar ada pengaturan azan, membuat gatal telinga umat Islam. Bak pahlawan kesiangan, mencerminkan ketidakpahamannya terhadap ajaran Islam. Padahal, seluruh makhluk, jin dan manusia, termasuk katak dan jangkrik mendengar dan paham maksudnya azan dikumandangkan.
Instruksi Dirjen Bimas Islam Nomor KEP/D/101/1978 tentang Tuntunan Penggunaan Pengeras Suara di Mesjid, Langgar dan Mushala. Suara azan sebagai tanda panggilan shalat memang harus ditinggikan. Karenanya, pengeras suara tak perlu diperdebatkan, yang perlu diperhatikan agar suara muazin tak sumbang tapi enak, merdu, dan syahdu. Bagi yang menggunakan pengeras suara (muazin, pembaca al-Qur’an, imam shalat dan lain-lain) hendaknya bersuara merdu, fasih, tidak sumbang tidak kecil. Penggunaan pengeras suara di masjid–selain azan–justru yang harus memenuhi syarat ketika orang dalam keadaan siap mendengar, bukan saat jam tidur, istirahat, sedang beribadah dan sebagainya.
Bangunkan Tidur
Boleh-boleh saja kalau azan dituding mengganggu, tergantung siapa yang mendengar. Sebab, maksud azan antara lain membangunkan orang tidur. Namanya membangunkan, ya harus mengganggu. Setidaknya mengurangi masa tidur karena harus segera bangun untuk shalat. Maka, waktu azan subuh ada tambahan lafaz ashsholaatu khoirun minannauum (salat lebih baik daripada tidur). Memang harus bangun, meski bagi orang munafik itu sangat berat. Di zaman Nabi saw, seratus persen lelaki dewasa shalat berjamaah 5 waktu di masjid, termasuk orang munafik. Tapi, orang munafik tak datang salat Isya dan Subuh, karena mereka menganggap Nabi saw tak melihat karena malam hari Madinah gelap. Namun, Allah SWT melalui malaikat Jibril membisikkan kepada Nabi saw bahwa di sekitarnya ada orang munafik.
Orang munafik shalatnya berpura-pura, hanya ingin dipandang oleh Nabi saw. Akan tetapi, pada waktu Isya dan Subuh, mereka tak punya kekuatan untuk datang ke masjid. Allah SWT tak memberi kekuatan kepada iman yang pura-pura. Prof Dr Hamka mengatakan, kalau mau lihat orang Islam, lihatlah shalat Ied-nya, tapi kalau mau lihat orang beriman, lihatlah salat subuhnya di masjid.
Di Madinah–jika waktu salat tiba–semua aktifitas terhenti seketika. Pasar tutup, perniagaan dihentikan. Suasana itu sekarang masih nampak di Makkah dan Madinah, di beberapa negara Arab seperti Yaman, Oman, Yordan, Qatar, Emirat, Kuwait, Mesir dan beberapa tempat di Afrika Utara dan Selatan, London dan Melbourne, Australia bagian Selatan. Di Pakistan, hampir merata menghentikan kegiatan bila azan tiba. Di Kanpur, India, setiap waktu shalat semua toko tutup, dua sampai tiga lantai masjid padat. Di beberapa tempat di Thailand Selatan, Naratiwath, Pattani, Yala dan Satun, suasana taat dalam shalat berjemaah. Di Klantan, Kuantan, Perlis dan Negeri Sembilan Malaysia, juga suasana shalat berjemaah menjadi budaya negerinya. Bahkan di negeri-negeri sekuler seperti Amerika dan Prancis, suara azan selalu terdengar lantang dan syahdu. Di Jakarta, dan kota-kota besar di Indonesia, insya Allah akan lebih hebat dari negeri-negeri yang disebutkan, karena mayoritas penduduknya muslim.
Pembeda muslim dengan bukan muslim adalah shalatnya. Maka, akan terlihat kerapian kota dan terhindar dari macet apabila umat Islam back to basic shalat berjemaah lima waktu di masjid. Yang akan ramai di waktu shalat bukan pasar dan jalanan, tapi masjid sehingga pengaturan lalu-lintas lebih mudah. Setiap orang sudah tahu kapan harus ibadah dan setiap orang paham kapan harus bekerja. Sudah jadi budaya di kantor dan di pasar untuk saling ajak dan mengundang shalat berjemaah. Kalau begitu, apakah masih diperlukan pernyataan Boediono, yang bukan cuma mengundang polemik tapi dapat melukai hati umat Islam. Wallahu a’lam
Abdurrahman Lubis
Penulis, Pemerhati Masalah Keislaman
0 komentar:
Posting Komentar
WHAT IS YOUR OPINION?