MESJID RUMAH ALLAH |
Khalifah Umar bin Khattab ra sidak malam hari, letih bersandar di dinding rumah penduduk. Sambil menyeka keringat, dengar dialog ibu - anak gadisnya. “Nak, campurlah susu kambing dengan air agar dagangnya banyak untung.” Gadisnya menjawab, “Dosa bu, nanti ketahuan Umar, kita dihukum.” “Gak apa, Umar kan sudah tidur.”
“Ya, Umar sudah tidur, tapi Tuhannya Umar kan tak pernah tidur…!”
Umar yang nguping di balik dinding, terloncat berlari kecil. Kagum mendengar pernyataan iman sang gadis. Ia yakin itu bukan gadis murahan. Langsung anaknya ditawari agar siap melamar sang gadis. Abdullah bin Umar menikahinya, dari sulbi mereka lahirlah the second Umar, Umar bin Abdul Aziz, yang takwa, alim, tegas, adil, khalifah Mesir.
Pernah pemuda peminum khamar dihukum ringan. Ditanya kenapa ringan, Qadhi menjawab, ‘Mana mungkin saya hukum berat, itu anak tuan ?’ Khalifah marah, ‘Anda mempermainkan hukum Allah’. Tak ada anak khalifah, anak raja, anak darah biru. Di mata hukum semua sama. Akhirnya Qodhi eksekusi hukuman berat. Itulah bibit unggul manusia takwa. Diawali pendidikan ibu terhadap anak. Sebenarnya ibu bukan mengajari anaknya curang. Sekadar menguji, kalau imannya rusak sepeninggal ayah yang syahid di jalan Allah. Namun gadis itu tegar. Darinya pula lahir pemimpin adil.
Kenapa hari ini banyak terdengar si cantik berubah wajah hantu. Teroris, ekstrimis, koruptor. Momok menakutkan, momok siluman, hantu gentayangan. Koruptor, julukan, penampilan ok, berjas, berdasi, mobil mewah, duit banyak, sering masuk teve, terkenal, dipuja, sayang … tak punya urat malu. Orang beriman malu pada manusia, lebih malu pada Allah. Maka, para pecundang aset negara lebih cocok dipanggil maling (malas eling, tak ingat Gusti Allah).
Muhammad Yunus, berhasil pinjam tanpa agunan untuk warga Bangladesh, hanya survei ke masjid-masjid. Seseorang ditanya salatnya, pergaulannya, sifat amanahnya. Jika masyarakat bilang baik, maka pinjaman diberikan dan nihil kredit macet. Bukan surat kelakuan baik dari polisi. Inilah kalkulasi iman, dapat mengendalikan diri dari dalam, tanpa terlalu banyak lembaga. Karenanya, Muhammad Yunus dapat nobel kemanusiaan. Sejarah panjang memerangi maling, ada PARAN (Panitia Retooling Aparatur Negara), Operasi Budhi (Orla), TPK (Tim Pemberantasan Korupsi), Opstib (Operasi Tertib- Orba), KPKPN (Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara), KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha), TGPTPK (Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi) dan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi-reformasi). Keren tapi impoten.
‘Sunnguh Kami jadikan manusia sebaik-baik kejadian. Kemudian Kami hinakan mereka ke derajat paling rendah ‘(QS.95:5). Maksudnya sampai pikun (bak bayi kurang akal). Rasulullah saw ditanya, Allah jawab melalui ayat QS at Tiin [95]:6. Mereka yang belum pikun, kalau beriman dan beramal shalih mendapat pahala tak kunjung putus. Orang hampa ibadah dan rusak akhlak akan dihempas ke derajat asfala saafiliin, paling rendah paling hina. Makhluk legendaris koruptor teri - kakap penebar kefasadan, ujug-ujug dan coba-coba, terobos lorong evolusi panjang.
Republik drakula dihuni 250 juta, dipimpin Presiden dengan backup undang-undang, sumpah jabatan junjung kitab suci al-Quran, mesin birokrasi negara; polisi, jaksa, pengacara, hakim, tentara, intelijen, kementerian dalam/luar negeri, kementerian hukum dan HAM, imigrasi, semua dibiayai APBN dari keringat rakyat, ratusan triliun rupiah. Ternyata semua lumpuh cuma menghadapi ‘tikus betina’, Nunun Nurbaiti dan Miranda Gultom. Tikusnya tak sendiri, banyak teman dan efek kerjanya menggurita. Gurita, punya penghisap menangkap mangsa. Delapan arah mata angin, Sabang - Merauke, dari dusun ke kota.
Legenda tikus nusantara setidaknya berjaya sejak delapan abad. Ingat Mpu Gandring Gate kerajaan Singasari abad 13. Kudeta berdarah gara-gara syahwat akibat ketidaksabaran Ken Arok merebut tahta Adipati Tunggul Ametung sekaligus cinta isterinya Ken Dedes. Dendam, khianat, kudeta, tujuh nyawa melayang. Ingat kudeta era Majapahit, Demak, Banten. Kehancuran disebabkan korup bangsat-wannya. Mataram lemah karena ‘belah bambu’ Belanda. Majapahit hancur karena Paregreg (perang saudara). Sriwijaya punah karena krisis kepemimpinan.
Seiring pertambahan penduduk, upaya dikerahkan hingga reformasi. Sayang, bangsa ini tampak bergeming dibelit gurita korup. Jangan heran hingga kini aparat (terutama KPK) sambil korek kuping bersenda gurau menangkap potongan kaki tikus koruptor. Seakan tertangkap, padahal tikusnya kabur ke lubang kecil. Sambil menunggu angin sorga, para tikus dalam pelarian tinggal tunggu pemulihan diri menjadi tikus lagi.
Dulu, Sjafruddin Prawiranegara berjuang tenggelam ditelan peradaban (yang tidak beradab) rekayasa sejarah. Orba menganggap pemberontak, terkait pemerintahan PRRI. Pada 19 Desember 1948 Sjafruddin membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Sumatra Barat demi pertahankan kemerdekaan. Sebab, Soekarno-Hatta ditawan Belanda. Tujuan mendirikan PDRI memandulkan ‘belah bambu’ Belanda, antisipasi perampokan di siang bolong gugusan Ibu Pertiwi yang baru merdeka. Spirit itu ternyata dilupakan, seolah menjadi ‘trade mark’ watak masyarakat terjajah, lupa kacang pada kulit.
Sampai era reformasi tumpuan harapan untuk memberantas hama tikus korupsi, masih berupa iklan dan slogan. Alih-alih memberantas nepotisme, dari mulut harimau orba ke mulut buaya reformasi. Sama buasnya. Lengsernya Soeharto justru embrio hari jadi bangkitnya raksasa korupsi. Paling muta’akhkhir periode kedua SBY, sama saja. Perang melawan korupsi hanya memburu angka. Membersihkan ranting tua sebuah pohon korupsi, sogok menyogok, sikat menyikut, tarik menarik kepentingan. Paling banter tebang pilih. Belum berani cabut akar karena belum jelas kejantanannya. Jangan-jangan barangnya nggak mau berdiri. Impoten !!
Maka dibanding Orde Baru, era reformasi melahirkan gurita korupsi sebenarnya, seluruh elemen penyelenggara negara dan rakyat disengat penyakit panas dingin nasional. Kenapa ? Selalu remehkan kecerdasan koruptor. Persis seperti bermain silat, kemahiran koruptor menghilangkan jejak, mengalahkan para pelatihnya. Century basi, Wisma Atlet macet, Hambalang mengambang. Itu tandanya, barangnya para pelaksana anti korupsi tak mau berdiri, impoten. Akhirnya antisipasi korupsi hanya buang energi, padahal di sisi lain energi negeri yang tersisa saja hampir habis, kini dikuras untuk membrantas tikus pincang. Ini urusan memburu tikus, jangan sampai kalah, apalagi ingin beradaptasi, berperilaku seperti tikus. Bagaimana tikus takut, kalau yang memburu ternyata tikus juga.
Jika saat ini ancaman korupsi sedemikian rusak bagi tatanan kehidupan, tak dapat dibayangkan satu generasi ke depan. Dulu Pak Harto mengigau lewat tangan dingin Sujono Humardani, dalam 25 tahun ke depan Indonesia menjadi Jepang sekarang. Maksudnya kalau berhasil lima repelita atau lima kali jadi peresiden. Bahkan 32 tahun, nyatanya kian ambruk. Tak terbukti, karena yang dibangun cuma beton bukan manusia. Apa yang disinyalir Lord Acton, ‘Kekuasaan cenderung korup,’ itu, ya hawa nafsu. Mestinya paradigma pembangunan diskenariokan pengendalian, bukan mengumbar hawa nafsu. Bayangkan, para jenderal dan petinggi lain bisa-bisanya titip uang di rekening anak bau kencur, Gayus Tambunan. Inikan pendidikan sulap kucing menjadi tikus. Menjatuhkan harga diri bangsa ke lembah kehinaan nyata.
Belanda berhasil, studi empiris terhadap ‘budaya korup’ menjadi media utama penakluk nusantara. Embrio korup dibiarkan berubah jadi budaya. Memang menyakitkan, dari dulu rakyat kecil disuruh main sulap mengulum jari tangan mimpi keluarnya susu ajaib. Terima nasib apa adanya. Belanda kulit putih membodohi, Belanda sawo mateng mengibuli. Semua akibat penegakan hukum lemah, kebebasan dikekang, gaji pegawai kecil, masyarakat mudah dihasud, jual beli tahta saat pemilu, kurang pengawasan.Terakhir lemahnya iman. Kalau begitu, koruptor anak kandung siapa ?
SUMNER ; Abdurrahman Lubis, Pemerhati Masalah Keislaman.
0 komentar:
Posting Komentar
WHAT IS YOUR OPINION?