Sabtu lalu saat
melaksanakan kegiatan wajib mingguan, berbelanja pekanan, tiba-tiba
teman dari Pakistan menghampiri. Dia lalu berkata, brother, There’s an indonesian muslim from Osaka now in Toyama Mosque, He wants to meet indonesian Muslims here. Do you want to meet him ?.
Saya tanpa pikir panjang mengiyakan, bukankah sesama orang Indonesia
diperantauan selayaknya kita adalah keluarga, terlebih lagi memang kita
telah dipersaudarakan oleh satu syahadat. Lalu teman itupun memberikan
nomor hp saya ke teman pakistan yang berada di mesjid Toyama.
Tak lama berselang, saat
saya di bus, ada panggilan dari nomor yang tak dikenal. Setelah dua
kali melakukan penggilan akhirnya saya memutuskan mengangkatnya dengan
resiko akan ditegur supir bus. Di Jepang tak boleh mengangkat telpon di
dalam bus. Setelah memberi salam, saudara Indonesia ini memperkenalkan
diri namanya Rizal asal Sumatera seraya meminta izin untuk berkunjung ke
rumah kontrakan. Sayapun menyambut baik niatnya. Dari pembicaraan awal
saya sudah bisa menebak bahwa beliau adalah anggota Jamaah Tabligh.
Maklumlah saya sudah tidak asing dengan organisasi ini. Rumah saya di
Makassar sering dijadikan persinggahan oleh saudara-saudara Jamaah
Tabligh yang berasal dari atau akan ke Papua. Bahkan beberapa sudah
seperti saudara.
Setelah sampai di rumah kontrakan, saya membicarakan maksud kedatangan saudara dari Osaka ini ke housemate
saya, pak Aminullah (dosen Farmasi Unhas), dan beliau tak masalah.
Sayapun mengingatkan bahwa saudara yang datang ini kemungkinan adalah
jamaah tabligh karena dia akan datang bersama orang pakistan, yang
notabene disini adalah anggota Jamaah tabligh. Saya sengaja mengingatkan
karena takutnya beliaunya akan risih karena pasti akan ada sesi ajakan
dan dakwah yang akan kami dapatkan. Tetapi ternyata beliaupun tak asing
lagi dengan jamaah ini. Karena telah setuju, maka kamipun bersiap-siap
di rumah untuk menyambut tamu kami ini.
Selepas ashar, tamu kami
ini tiba di rumah setelah saya jemput di tempat yang kami sepakati.
Saudara Rizal pun turun dari mobil dan menjabat erat tangan saya.
Sayapun langsung bisa memastikan bahwa tebakan saya benar, beliau adalah
anggota jamaah. Saudara Rizal ini berumur sekitar 36-37 tahunan dan
berasal dari Padang. Yang menemani beliau ada dua orang, salah satunya
saudara Imran dari Pakistan dan satu lagi saudara yang berasal dari
India, juga datang dari Osaka, yang kira-kira seumuran dengan saya.
Setelah berbincang cukup
akrab, maka mulailah saudara Rizal sedikit demi sedikit memberikan
nasehat kepada kami. Beliau memulai dengan mengatakan bahwa dia memakai
Jubah karena ingin mengikuti Nabi dan dia tidak berasal dari golongan
atau kelompok manapun. Sayapun sengaja tak mau mengungkapkan bahwa saya
sudah akrab dengan jamaah mereka. Takut merusak semangatnya dalam
memberikan nasehat kepada saya. Setelah menjelaskan mengenai latar
belakangnya, maka beliaupun mengingatkan tentang pentingnya Dakwah
dilakukan dilingkungan sekitar kita. Karena kita di Jepang bukanlah
tanpa alasan. Kita sebagai representasi umat Islam memiliki kewajiban
untuk menyampaikan kalimat Allah kepada mereka yang belum tahu. Sayapun
tertegun dan sedikit merenung, memang saya sangat malu belum mampu
melakukan itu.
Saudara dari Indiapun
menambahkan betapa pentingnya melakukan dakwah. Dengan bahasa Inggris
yang sangat bagus, membuat saya keteteran ketika berbincang. Selepas
berbincang-bincang, saudara Rizal mengajak saya dan pak Aminullah untuk
ikut mereka ke Mesjid Toyama, karena disana masih ada lagi dua orang
saudara Indonesia yang menunggu dan ingin bertemu. Dengan pertimbangan
ukhuwah islamiyah saya dan pak Aminullah pun mengiyakan, walaupun kami
tahu itu bukan sekedar untuk bertemu biasa saja.
Maka berangkatlah kami,
tetapi sebelum sampai ke Mesjid Toyama, kami singgah terlebih dahulu di
Mushallah Toyama, untuk menjemput beberapa saudara yang lain yang
berasal dari India dan Pakistan. Di Mushallah inipun, saudara Rizal saya
pertemukan dengan pak Azis Saifuddin, salah satu saudara Indonesia
senior disini. Perbicangan akrab yang membahas kondisi kekinian
perkembangan agama Islam di Indonesia pun berlanjut. Walaupun dibumbui
dengan diskusi mengenai beberapa perbedaan. *smile
Sekitar pukul lima lewat
kamipun berangkat ke Mesjid Toyama. Mesjid ini adalah satu-satunya
mesjid di Kota kami, yang dibangun dan dikelola oleh saudara-saudara
dari Pakistan. Jarak mesjid ini cukup jauh dari tempat tinggal saya,
sekitar 35 menit menggunakan mobil. Dan satu-satunya yang jadi masalah
bagi saya adalah karena tak punya kendaraan pribadi maka saya tak bisa
sering-sering menjangkau mesjid ini. Pun kendaraan umum tak ada yang
sampai di mesjid ini.
Masjid Toyama |
Setibanya di Mesjid
Toyama, shalat maghrib tengah dilaksanakan. Setengah mesjid telah terisi
penuh oleh saudara-saudara dari Pakistan dan India yang bisa saya tebak
anggota Jamaah Tabligh. Setelah shalat maghrib kami laksanakan, saudara
Rizal memperkenalkan kami dengan dengan dua orang Indonesia lainnya,
saudara Sony dan Tri. Mereka berdua adalah kenkyusei (orang Indonesia
yang bekerja di Jepang dengan sistem kontrak, maksimal 3 tahun).
Nampaknya mereka berdua masih dalam tahap simpatisan Jamaah Tabligh.
Selama di Mesjid Toyama
malam itu, setidaknya saya mendapatkan tiga sesi ceramah keagaamaan.
Inti dari ketiga sesi ceramah ini adalah agar kita mengikuti pengorbanan
Nabiullah Ibrahim AS dalam mengikuti perintah Allah SWT dan keteladanan
dari para sahabat dalam melakukan dakwah Islam. Dakwah Islam dalam
terminologi Jamaah Tabligh dilakukan dengan cara khuruj. Khuruj adalah
meluangkan waktu untuk secara total berdakwah. Berdakwah dengan cara
khuruj bisa dilakukan minimal selama empat bulan dalam seumur hidup
ataupun 40 hari setiap tahun. Namun, bagi para anggota yang terikat
dengan jam kantor, khuruj cukup dilakukan selama tiga hari setiap
bulannya. Dalam sesi tersebut juga dijelaskan dalil yang mereka
pergunakan mengapa melakukan khuruj. Jadi dapat dikatakan saudara Rizal
dan saudara-saudara dari Osaka sedang melakukan khuruj di Toyama.
Dalam sesi ceramah ini,
saya juga mendapatkan pengalaman baru. Biasanya dalam ceramah yang
pernah saya hadiri, paling hanya melibatkan dua bahasa, bilingual. Tapi
kali ini melibatkan tiga bahasa, trilingual. Jadi penceramah, ustadz
yang memberikan tausyiah menggunakan bahasa urdu, karena mayoritas
jamaah pengguna bahasa urdu. Lalu bahasa urdu oleh saudara Imran
(Pakistan) diterjemahkan menjadi bahasa Jepang ke saudara Rizal dan
akhirnya saudara Rizal menerjemahkannya ke bahasa Indonesia untuk kami.
Jalur yang cukup panjang untuk mendapatkan ilmu.
Jumlah muslim Pakistan,
India, dan Bangladesh di kota kami memang cukup besar jumlahnya. Mereka
rata-rata melakukan bisnis impor dan ekspor mobil bekas di kota ini.
Oleh karenanya mereka rata-rata adalah orang yang lebih dari
berkecukupan. Dan mesjid Toyama ini, sebagai satu-satunya mesjid di Kota
Toyama, didirikan oleh mereka. Satu hal yang juga menarik adalah
kebanyakan mereka menikah dengan orang Jepang. Mesjid Toyama malam itu
dipenuhi oleh anak-anak mereka. Anak-anak ini memiliki wajah-wajah yang
unik dan tak satupun dari mereka mirip. Jika didominasi gen jepang maka
anak itu akan berkulit putih, bermata sipit, tetapi memiliki hidung
mancung. Jika didominasi gen pakistan/india maka anak itu akan memiliki
kulit agak kehitaman, hidung mancung, tetapi dengan mata agak sipit.
Mereka memiliki ketampanan dan kecantikan tersendiri. Dengan melihat
mereka, pikiran saya lalu terbayang ke masa-masa awal Islam masuk ke
Indonesia. Bukankah pedagang-pedagang dari Gujarat dulu masuk ke
Indonesia dengan tujuan awal berdagang, lalu menikah dengan penduduk
lokal dan pada akhirnya tersebarlah Islam di Nusantara.
Maka gambaran itu pula
saya dapatkan disini. Menikah memang adalah cara yang paling rill dalam
melakukan dakwah Islam di negeri-negeri asing. Pak Aminullah pun
menyeletuk 20-30 tahun kemudian Jepang ini terancam. Karena heran,
sayapun bertanya terancam apa pak ? . Terancam menjadi salah satu negeri
muslim. Sayapun mengaminkannya, karena ini bukanlah hal yang utopis.
Jumlah mesjid dan islamic center di Jepang terus meningkat dan tiap
tahunnya pasti ada penduduk lokal yang memeluk agama Islam.
Bahkan saudara Rizal pun
berisitrikan orang Jepang asli dengan lima orang anak (dua mirip orang
indonesia, tiga mirip orang Jepang). Selain saudara Rizal, di mesjid
Toyama saya juga bertemu satu orang kenkyusei yang bekerja di Toyama,
pak Adi, yang juga menyebarkan Islam melalui perkawinan. Beliau sekarang
dianugerahi satu orang anak.
Setelah acara ceramah
selesai, kemudian diadakan acara makan kari bersama. Acara yang sejak
maghrib saya tunggu-tunggu karena kelaparan. Total tiga lembar roti saya
habiskan dengan beberapa potong daging kari ayam. Kari pakistan memang
lezat, maka pecinta kuliner harus mencobanya. *smile
Sekitar pukul setengah
sebelas kamipun diantar kembali ke rumah oleh pak Adi, saudara Rizal,
Tri dan Sony menggunakan mobil saudara Rizal yang bagi saya cukup mewah.
Maklum saudara Rizal ini juga pengusaha ekspor impor. Beliau sengaja
membeli mobil besar untuk kepentingan jamaah kata beliau. Sesampainya
dirumah, kami masih berdiskusi hingga larut dan akhirnya mereka pamit
kembali ke mesjid.
Hmm, begitulah
pengalaman saya’diculik’ oleh Jamaah Tabligh di Jepang. Banyak hal baru
yang saya dapatkan. Sembari terus berpikir akankah saya juga akan
melakukan jalan ‘dakwah’ itu ? wallau ‘alam.
Mantap euy..!sy juga punya pengalaman sama, tp yg "menculik" sy bukan mereka(Jamaah Tabligh) tp salah satu anggota masyarakat yg pernah dikunjungi oleh rombongan dakwah, itu saking simpatinya mereka pagi-pagi sekali menculik saya diam-diam untuk ikut makan pagi dirumah mereka alasannya wajah saya mirip dengan menantunya yang sedang merantau jauh di kota lain.Waktu itu saya diperlakukan istimewa sekali bagai tamu agung, masya Allah.
BalasHapus