QUO VADIS .... |
( Ini adalah Artikel bagian pertama dari penjelasan Ust. Abdurrahman Lubis dalam
menjawab tuduhan - tuduhan yang dilontarkan salafy di situs ALMAKASSARI.COM terhadap buku karangan beliau yang berjudul, " QUO VADIS SALAFY ." )
Assalamu’alaikum.wr.wb.
Assalamu’alaikum.wr.wb.
Alhamdulillah, berkah rahmat dan bimbingan Allah
juga, jari-jari saya yang lemah masih mampu menari-nari di atas computer guna
memenuhi hajat rohani dan keimanan, semoga Allah Swt semakin memandangnya
dengan mata kasih sayang-Nya.
Sebenarnya, saya hampir-hampir tidak hendak
menanggapi tulisan Al-Ustadz Abul Fadhel Al-Bughisiy, karena saya tak suka
dengan polemik. Untuk buku, saya lebih suka dialog terbuka, sehingga dapat
mencurahkan fikiran dengan jernih dan tenang. Seperti buku saya berjudul
Sorotan al Qur’an dan as Sunnah terhadap Islam Liberal. Universitas Islam Antar
Bangsa Malaysia di Kuantan telah mengundang saya untuk membahas buku tersebut.
Dengan terbuka dan tanpa ada sikap dan bahasa permusuhan, semua isi buku dapat
kami bedah dengan sebaik-baiknya. Karena sampai hari ini prinsip saya semua
orang Islam adalah bersaudara.
Makanya, dengan berat hati, kali ini
saya coba angkat pena (dengan harapan tidak menjadi polemik berkepanjangan)
yang menimbulkan rasa hasad dan dengki di hati kita, ini hanya dapat dilakukan
apabila masing-masing kita memperluas atmosfir dan wawasan keislamannya.
Pertama, karena tulisan itu bersifat menyerang pribadi saya. Kedua, karena
tulisan itu menyerang Jemaah Tabligh (JT) yang sama sekali tak berkaitan dengan
buku Quo Vadis Salafi (QVS). Makanya, tulisan yang berjudul Tabligh
Bingung, Salafi Menjawab sebenarnya salah alamat. Membaca tulisan itu
seakan-akan ada pertentangan secara institusi antara Tabligh dan Salafi.
Na’udzubillahi mindzaalik, bagaimana kerdilnya kita sehingga kita berani
menggugat kebaikan-kabaikan orang-orang shaleh.
Padahal, buku QVS hakikatnya
berintikan redefenisi terhadap Salafush Shalih. Makanya, judul lengkapnya,
itu, adalah Quo Vadis Salafi, Hakikat Salafush Shalih.Jadi, sifatnya
penjelasan dan uraian tentang apa itu Salafush Shalih, sejarahnya,
tokoh-tokohnya, sepak terjangnya, bagaimana pendapat-pendapat ulama di
zamannya, bagaimana pendapat dan fatwa ulama mutaqaddimiin, ulama
muta’akhkhiriin, bagaimana umat akhir zaman (masa sekarang) menyikapinya. Jadi
isi buku QVS bersifat umum, konsumsi umat Islam pada umumnya.
Sebelum saya jelaskan lebih lanjut tentang apa
yang menjadi keberatan dan tanggapan penulis, Al-Ustadz Abul Fadhel
Al-Bughisiy, saya ingin mengajak untuk menyimak kembali buku QVS, khususnya
komentar dan pemikiran kami di bawah ini :
Kami Tak Menghujat
Alhamdulilah, dengan rahmat
Allah Swt. kami yang dha’if dan fakir dapat menyelesaikan
buku “Quo Vadis Salafi, Hakikat Salafus Shalih” dalam waktu relatif singkat.
Kalau bukan karena petunjuk dan bimbingan-Nya, tak tahu jadi apa, fikiran kami
yang penuh kerusakan karena terkontaminasi oleh pemikiran “keras” orang-orang
yang “mengaku” ahli hadits dan paling tahu Islam, sehingga menolak keras segala
yang datang kepada mereka.
Sekali lagi alhamdulillah,
sikap emosional karena keterpancingan dapat kami hindarkan, juga semata karena
bimbingan Allah Swt. makanya, buku ini bukan untuk mendebat yang
“ngaku” salafy atau wahaby. Karena orang seperti mereka tak
perlu didebat, habis waktu dan buang energi. Di lain pihak, kehadiran mereka
mem-buktikan benarnya firman Allah Swt dan sabda Rasulullah saw.
Digambarkan sifat-sifat manusia, ada yang kafir, musyrik, munafik (fasiq),
muslim dan mukmin. Allah Swt yang Maha tahu tentang maqom
setiap kita, tanpa mesti kita ungkap saat ini.Karenanya, buku ini sekadar
sumbangan informasi yang lebih detail, didukung fakta, hadits dan sejarah.
Bahasa dakwahnya karkuzahri (urdu, laporan kerja dakwah) atau tabayyun,
sebagaimana Allah Swt. menceritakan hasil kerja dakwah para nabi dalam
al Qurán. Menceritakan kisah kaum terdahulu sebagai reaksi dakwah para nabi,
bukan ghibah, tapi untuk mengambil i’tibar atau pelajaran.
Kami, Abdurrahman Lubis, Adil Akhyar dan Muslim, hanya berusaha mengungkap dan
takkan pernah mengadili dan tak berhak pula untuk mengadili siapa pun dan di
mana pun.
Kalau pun ada kalimat yang mungkin “menggelitik” atau “nyelentik”
dalam goresan pena kami, semata karena tak ada pilihan lain. Perinsip kami,
sekiranya ada sebiji dzarrah keburukan dalam diri saudara muslim, kami
selalu curiga, jangan-jangan kebu-rukan itu terdapat juga dalam diri kami. Kami
ingat pepatah orang tua: “Tungau di seberang lautan jelas, gajah di pelupuk
mata tak nampak” (tentu saja bukan hadits shahih dan tak jelas sanad
dan perawinya).
Sekali waktu pekerja dakwah dari
jazirah arab datang ke Nizhamuddin, New Delhi. Jumpa masyaikh di masjid
Banglawali, markas dakwah. Orang itu menunjukkan buku tebal berisi hujatan
terhadap gerakan dakwah mereka.Usul agar Syaikh membantah buku penuh hasad dan
fitnah keji itu. Tapi Syaikh menjawab hikmah, “Apakah kalau anda digonggong
anjing, anda balas gonggong?” Apa bedanya anda dengan penggonggong?”
Orang itu masih bersikeras, “Kita bukan digonggong, tapi digigit.”
Syaikh pun menjawab lagi, “Kalau anda digigit anjing, apakah balas
menggigit?” Apa beda-nya dengan yang menggigit?” Orang itu pun
terdiam. Makanya, sebagai orang yang berkecimpung dalam dakwah, kami takut
ber-tin-dak sama, juga sangat takut dijadikan alat untuk menghujat seseorang
atau sekelompok orang Islam.
Untuk itu kami sangat hati-hati, bukan cuma
memikirkan fakta dan data, tapi rasa dan nuansa. Seperti kata Adil, anak Medan
yang mengambil S2 di Fakultas Hukum UKM Malaysia: “Dakwah Salafush Shalih
tetap sesuai sepanjang zaman, karena datang ke tengah manusia menjadi “minuman
rohani” yang murni dan sedap.” Dakwah Salafush Shalih memenuhi
kekosongan jiwa. Dengan kelembutan, sadida (kata-kata ma’rufa),
berita tentang kebesaran Allah yang disampaikan dengan manis dan ramah tamah.
Hingga dapat menerangi relung hati terdalam, yang gelap. Dakwah Salafush
Shalih takkan membiarkan jiwa terkuasai kehen-dak nafsu melainkan
dibersihkannya, takkan membiarkan hati di lintasan kebimbangan, kecuali
disucikannya. Sebab dakwah Salafush Shalih tegak berdasarkan i'tisham
(berpegang teguh) pada kitab Allah Swt., sunnah Rasul saw.
dan akhlaq agung. Sesuai kepahaman Salafush Shalih. Jadi, bukan oleh
yang menyebut diri salafy atau wahhaby, kata Adil Akhyar.
Belakangan, Sekretaris Eksekutif
Islamic Center Sunan Kali Jaga Sumatera Utara, ini, cukup risau melihat keadaan
umat yang terjebak dalam ikhtilaf dan terpecah-pecah. Makanya, Pembina
Yayasan Daarul Syifaa’ Indonesia, ini, untuk menyalurkan kerisau-annya,
belakangan aktif menulis buku-buku Islam. Seperti 25 Peristi-wa Ajaib di Dalam
al Qurán, Penerbit Al Hidayah Malaysia, 26 Pintu Pahala Kearah Insan Mukmin (Al
Hidayah Malaysia), Tips Mendidik Anak Pintar Yang Tidak Diganggu Syaitan (Al
Hidayah Malaysia), Orang Kaya dan Orang Miskin yang Disayangi Rosulullah saw.
(Al Hidayah Malaysia), Sumpah dan Janji Iblis (Pustaka Azhar, Malay-sia),
15 Sebab Turunnya Bala (Penerbit Darul Nukman Malaysia),15 Sebab Tertolaknya
Bala (Darul Nukman Malaysia) dan lainnya.
Sedangkan Muslim, lulusan Madrasah
Arabiah Raiwind Pakistan, yang banyak bergaul dengan para masyaikh, memandang
lewat flashback (kilas balik) sejarah.
Dakwah dan Tarbiyah Islamiyah
Rasul adalah untuk memper-baiki manusia. Jahiliyah dikenal dengan ciri bodoh, hina,
lemah, mis-kin dan berpecah-belah. Keadaan ini berlaku sampai kini ketika
ke-jahilan akhirnya melahirkan kesesatan nyata.
Penasehat Madrasah Tahfizhul Qurán
Yayasan Daarul Syifaa’ Indonesia, ini, menambahkan, dengan dakwah dan tarbiah
kita rasa-kan mendapat petunjuk dari Allah Swt untuk memperoleh
pengeta-huan, marwah (harga diri), kekuatan, dan persatuan. Ujungnya
bermuara pada khairu ummah (sebaik-baik umat).
Jahiliyah itu fenomena kerusakan dan
kebodohan. Sekarang, dalam hal pendidikan, teknologi dan kemahiran, kita
termasuk tinggi. Namun peradaban, budaya dan tingkah laku seperti binatang.
Cirinya, sama dengan binatang, mengumbar hawa nafsu dan kehidupan seksual yang
dimotivasi faham hedonisme. Sebagaimana Allah gam-barkan:
وَالَّذِينَ
كَفَرُوا يَتَمَتَّعُونَ وَيَأْكُلُونَ كَمَا تَأْكُلُ الْأَنْعَامُ وَالنَّارُ
مَثْوًى لَهُمْ
Dan orang-orang kafir
bersenang-senang (di dunia) dan mereka makan seperti makannya binatang, dan
Jahannam adalah tempat tinggal mereka. [1]
Jahiliyah cirinya bodoh. Bodoh karena
tak menerima hidayah. Abu Jahal (Bapak Kebodohan) digelar bukan karena
bodoh ilmu, tapi bodoh hidayah. Kaumnya menjuluki Abu Hakam (Bapak Hakim).
Tingkah lakulah yang membuat orang jahil. Pribadi jahiliyah tak faham hakikat
hidup. Disangka kebaikan padahal keburukan dan sebaliknya. Inilah penghancur
peradaban dan kebudayaan. Umat jahili-yah menjadikan dirinya hina, karena
kebanggaan bersifat materi melekat pada status, rumah, kendaraan, jabatan,
kehormatan. Padahal akan menjauhkan dan menuju derjat lebih rendah. Tindakan
bodoh membuatnya hina, meski dihiasi berbagai kebanggaan.
يُرِيدُ
اللَّهُ أَنْ يُخَفِّفَ عَنْكُمْ وَخُلِقَ الْإِنْسَانُ ضَعِيفًا
Allah hendak memberikan keringanan
kepadamu (yaitu dalam syari'at) dan manusia dijadikan bersifat lemah. [2]
Makanya, buku “Quo Vadis Salafy,
Hakikat Salafus Shalih”, ini, hadir untuk menekankan kembali agar semakin
meyakini “laporan kerja dakwah”-Nya Allah Swt, yakni al Qurán, tentu saja dalam
upaya mengantisipasi kejahilan di mana-mana, termasuk kejahilan di kalangan
orang-orang berilmu.
Samakah hukuman pendosa awam dengan
pendosa alim? Seperti halnya disebut Adurrahman Lubis, “Tak sama nilai orang
yang mengetahui dengan yag tak mengetahui, seperti halnya tak sama dosa orang
yang mengetahui dengan yang tak mengetahui.” Kalau orang awam melanggar karena
dia tak mengerti, tapi kalau orang berilmu melanggar karena dia memang mau
melanggar” , imbuhnya dan me-nambahkan bahwa Allah Swt. akan memberi
ganjaran setimpal ke-pada orang seperti itu.
Sekarang yang paling penting
bagaimana setiap individu muslim menjadikan dirinya bermanfaat untuk orang
lain.
Agar amal tak tercemar dan supaya
tetap jadi muslim sejati, setiap kita (khususnya ahli ilmu) perlu mewaspadai
sifat ‘ujub (berbangga diri) meski atas nama ilmiyah. Perlu disimak
pernyataan Umar bin Kaththab r.a., “Sesungguhnya di antara
kesempurnaan taubatmu adalah bila kamu mengetahui dosamu; sesungguhnya di
antara kesempurnaan amalmu adalah apabila kamu menghindar-kan rasa ‘ujubmu; dan
sesungguhnya di antara kesempurnaan syukurmu adalah bila kamu menyadari
kekuranganmu.”
Diceritakan dari Umar bin Abdul Aziz r.a.,
bahwasanya apabila ia sedang khutbah, lalu khawatir timbul rasa ‘ujub,
maka ia menghentikan khutbanya, dan bila ia sedang menulis, lalu khawatir
timbul rasa ‘ujub, maka ia menyobek kertas, dan berkata: “Allahumma
innii a’udzubika minsyarri nafsi.” (Ya Allah aku mohon perlindungan-Mu
dari keburukan hawa nafsuku).
Dari Mathraf bin Abdullah, ia
berkata, ”Bila saya tidur sepanjang malam, lalu pagi hari merasa menyesal itu
lebih saya sukai dari-pada saya bangun untuk salat malam, lalu pagi hari merasa
‘ujub.”[3]
Abdurrahman Lubis akhir-akhir ini
semakin aktif menulis sebagai ungkapan kerisauan kepada umat. Kali ini bersama
partner barunya. Setelah “Kiat Menghafal al Qurán Bagi Profesional”, “Lima
Belas Penyebab Bencana”, “Globalisasi Dakwah Nubuwwah, “Pentingnya Iman dan
Amal Shalih.” Kini tampil dalam “Quo Vadis Salafy, Hakikat Salafus Shalih.”
Segera terbit buah tangannya, “Kejayaan di Balik Sunnah”, “Aku Suka Tabligh”,
“Cintaku Bersemi di Nagoya” (novel religius) dan ”Keajaiban Dakwah.”
Bahan-bahan cukup lama disiapkan,
ternyata “ketemu jodoh” alias “nyambung”, dengan apa yang difikirkan dua sahabat
kental, Adil Akhyar dan Muslim bin Bukhori al Malay, keduanya selalu ber-sama
sejak Sekolah Dasar. Sekarang bersama pula terjun di rimba dakwah, Allah
pertemukan mereka. Subhanallah…
Nah, kini musyawarah bertiga untuk
memandang jauh kepentingan umat. Abdurrahman Lubis, yang dulu nyantri di Ponpes
Bagian Oelama K.H.A. Dahlan Sipirok, Sumatera Utara, namun kombinasi kesibukan
dengan jurnalistik. Selain mengasuh Ponpes di Cijeruk, Bogor, mengajar di
berbagai majelis ta’lim di masjid-masjid, sering mudzkarah dengan pakar al
Qurán dan Hadits seperti mufti Abdullah (penanggung jawab jamaah arab di masjid
Kakrail Dakka Bangladesh), Dr. Su'ud (dosen ilmu hadits pada Jamiah Ummul Quro
Mekkah). Dr. Ahmad Adnan (dosen Jamiah Islamiyah Madinah), al Hafidz Maulana
Sayyid Muhammad Hussain al Hasani bin Maulana Sayyid Muhammad Yunus al Hasani,
pengajar senior University Islam Antar Bangsa Malaysia (UIA), K.H. Mahrus Amin,
mudir Pon-dok Pesantren Darunnajah Jakarta.
Dunia tulis menulis (sebagai karunia
Allah) baginya tak asing lagi, digeluti sejak tsanawiyyah. Pernah
“ngepos” di Sekretariat Negara, di DPR/MPR dan di berbagai instansi untuk
meliput. Bekerja untuk Detik, Taruna Baru, Sinar Pembangunan, Media Indonesia,
Kontak Bisnis Kadin Jaya, Jurnal Ekubank dan sebagainya. Melanglang buana
seantero Indonesia dan Manca Negara. Belakangan gencar dalam dakwah keliling,
Madagascar, Mauitsius, India, Pakistan, Bangladesh, Srilanka, Thailand,
Malaysia, Singapura, Hongkong, Macau, Taiwan, Jepang, Yaman dan Papua Nugini.
Baginya, buku Quo Vadis Salafy,
Hakikat Salafus Shalih bukan sekadar kebanggaan, tapi sebagai media
instrospeksi, terutama bagi rekan-rekan pekerja dakwah yang mengemban
tanggungjawab umat dunia akhirat. Motonya: ”Takut bermain-main
dalam dakwah.”
Jaddu Syaibah
Penulis dan Editor QVS tidak pernah menggambarkan
tentang Salafiyyun alias Ahlus Sunnah, karena itu hanya pengakuan oknum-oknum
yang mengaku salafi, karena itu tidak penting.
Komentar tentang, Cover QVS
menunjukkan bahwa mereka (Jama’ah Tabligh) adalah kaum yang jauh dari petunjuk
dan sunnah Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-, ini jelas komentar
yang tidak nyambung. Apa-apaan, kok tiba-tiba ada nyelonong Jamaah
Tabligh.Apakah itu cerminan kebencian dari komentator atau kelompok salafi, wa
Allahu a’lam. Satu lagi bukti komentar itu lebih bersifat menghujat.
Sebenarnya, sudah sangat banyak hujatan dan kecaman dari kelompok salafi
terhadap gerakan dakwah di luar mereka, termasuk terhadap Jamaah Tabligh.
Dan orang-orang tidak suka menanggapinya.
Defenisi Salaf
Defenisi yang anda tulis itu sudah benar, yang
tidak benar adalah klaim (pengakuan) sebagai salafy. Kan sudah ada Waqoola
Innanii Minal Muslimiin. Sedangkan sebutan Jamaah Tabligh itu sendiri dari mana
anda peroleh, sebagai seorang penulis pernahkan anda melakukan tabayyun
(check and recheck) atau penelitian empirik, apakah ada itu Jamaah
Tabligh yang anda singkat dengan kata JT ? Saya sendiri yang sudah menerjuni
gerakan dakwah itu selama lebih 15 tahun, tadinya juga sangat geram terhadap tindakan
yang mereka lakukan. Tapi tidak sampai di situ, saya ikuti mereka pelan-pelan
dan sampai ke pusat legiatan mereka di India, Pakistan dan Bangladesh.Ternyata
kata Jamaah Tabligh itu sendiri aneh bagi mereka, apalagi sebutan JT. Lucu kan,
orang –orang yang anda sebut JT ketika ditanya mereka sendiri tak tahu apa itu
JT. Saya menghargai anda, mungkin lulusan dari universitas dan pernah belajar
khusus tentang al Qur’an dan al Hadis, tapi sekolah di belakang meja dalam
ruangan ber AC yang megah tidak cukup untuk memahami teks-teks al Qur’an dan al
Hadis. Kita harus terjun langsung melihat aktifitas umat agar tidak seperti
membeli kucing dalam karung. Maulana Ilyas Rah.a sendiri sebagai penggagas
kembali gerakan dakwah, itu, tak pernah menyebut suatu nama terhadap
gerakannya. Andaikata harus dinamai, kata Maulana Ilyas Rah.a, maka saya lebih
cocok disebut “Usaha Atas Iman”. Demikian juga Maulana Saad Hafidzahullah
, sebagai pelanjut generasi ketiga dari Maulana Ilyas, berkali-kali mengatakan,
barang siapa mengaku dirinya Jamaah Tabligh berarti ia adalah pemecah belah
umat. “Kita ini orang Islam biasa seperti saudara kita orang Islam lainnya.
Kita mengajak saudara muslim kita agar secara besama melakukan perbaikan diri
menuju kepada kesempurnaan iman dan amal agar mendapat kejayaan seperti di
jaman sahabat dahulu. Secara panjang lebar saya, alfaqeer Abdurrahman
Lubis, telah mengulas tentang gerakan dakwah ini dalam buku yang saya
terbitkan seperti Globalisasi Dakwah Nubuwwah, Pentingnya Iman dan Amal Shalih,
Kejayaan Dalam Sunnah, Risau Umat Syeikh Abdul Wahab, Tabligh Genggam Umat Lima
Benua dan sebuah novel Islami Cintaku Bersemi di Nagoya. Lain lagi
tulisan saya di website dan majalah-majalah Islam baik yang terbit di
Indonesia maupun di Malaysia.
Betul, setiap orang yang mengikuti jejak Salafus
Shalih adalah salafy, tapi itu bukan hak seseorang atau sekelompok orang saja.
Orang Islam yang lain pun tetap salafy, selagi ia sudah pernah mengucap
syahadat, masih salat, puasa di bulan ramadhan, bayar zakat dan sebagainya.
Walau tidak menyebut diri salafy. Kalau mau jujur, dilihat dari segi kegiatan
dan gerakannya, orang-orang yang anda sebut JT itu sebenarnya yang paling
pantas disebut salafy. Tapi, apa lah arti sebuah pengakuan, bukankah itu
menjadi beban berat andaikata ternyata nantinya tidak diakui ?
Kita baru dapat menentukan kebaikan ketika
seseorang diakhir hayatnya, dan dari banyak pengalaman orang-orang ahli bid’ah
dan sesat yang anda sebut JT ternyata diakhir hayatnya mampu mengucapkan
kalimah Laa ilaaha illa Allah. Apakah orang-orang ahli bid’ah dan sesat diakhir
hayatnya dapat mengucapkan kalimah tersebut ? Inilah keanehan-keanehan dari
analisis dan klaim mematikan orang-orang Salafy, yang telah menusuk-nusuk
sanubari umat. Pada hal ketidak sempurnaan manusia dalam segala hal merupakan
bukti dia insan yang lemah, kenapa kita tak mau memberi kesempatan kepada
mereka-mereka yang mau bertobat. Adapun kalau mereka belum sempurna itu menjadi
tugas kita semua untuk memperbaikinya.
Kenyataannya sekarang kan ada sekelompok
individu yang mengklaim diri sebagai Salafy, dan menuduh orang lain sebagai
ahli bid’ah, sesat dan kafir, alias bukan Salafy. Siapa yang mengangkat mereka
sebagai hakim yang dapat memutuskan bahwa si A adalah ahli bid’ah dan si
B adalah kafir. Padahal mereka yang divonnis itu tak lain orang Islam yang
harus kita usahakan mengajari dan mendidiknya ke arah yang benar. Kecuali
memang benar terhadap seseorang atau sekelompok di luar Islam, atau kelompok
yang sudah menyatakan dirinya anti sunnah dan yang telah terbukti menyimpang
akidahnya.Padahal, kita semua harus merasa curiga, jangan-jangan kita saat ini
masih berada dalam kesesatan, kebid’ahan dan kekafiran. Karena kita semua akan
menuju garis final kematian, husnul khotimah atau tidak.Yang tahu hanya Allah
Swt.
Ketahuilah, menyesatkan dan mengkafirkan orang
adalah sesuatu yang berbahaya jika tidak dilandasi dengan ilmu dan bayyinah.
Kalian akan ditanyai ilmunya di sisi Allah. Dosanya besar wahai yang mengaku
Salafy, sebab mengotori kehormatan seorang muslim, dan berkata dusta atas nama
Allah adalah dosa besar. Bahkan boleh jadi kesesatan dan kekafiran itu akan
kembali kepada anda, sehingga akhirnya kalianlah yang kafir. Wal’iyadzu
billah.
Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-
bersabda,
أَيُّمَا رَجُلٍ قَالَ لِأَخِيهِ يَا كَافِرُ فَقَدْ بَاءَ بِهَا
أَحَدُهُمَا
“Barangsiapa yang berkata kepada saudaranya,
“Wahai si kafir”, maka sungguh ucapan ini akan kembali kepada seorang diantara
keduanya”. [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya
(6104).
Ini merupakan kecaman keras bagi orang yang
mengkafirkan orang tanpa ilmu dan hujjah; tanpa mengadakan check and recheck,
serampangan dalam mengkafirkan sebagaimana yang dilakukan oleh Salafiyyun
terhadap gerakan lain yang bukan Salafy.
Anda mengatakan, “Program dan amaliah bid’ah yang
tak pernah dicontohkan oleh para salaf. Misalnya, “khuruj“; di dalam
JT, semua harus khuruj (keluar berdakwah), entah ia jahil
atau berilmu. Mana ada contohnya dari Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-
dan para salaf berdakwah asal-asalan seperti itu. Mereka ibaratnya orang yang
tak pandai berenang, lalu berusaha menyelamatkan orang-orang yang hampir
tenggelam. Akhirnya, ia mati bersama orang yang hendak ditolong tersebut.”
Jawaban: Setahu saya dakwah mereka tidak
asal-asalan, tapi penuh dengan perencanaan, program yang padat dengan muatan
yang padat dari al Qur’an dan as Sunnah. Kata khuruj itu tertulis dalam al
Qur’an
كُنْتُمْ خَيْرَ
أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ
الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
“Kamu adalah sebaik-baik umat dikeluarkan
untuk manusia, kamu perintahkan untuk berbuat baik dan mencegah kemungkaran dan
kamu beriman kepada Allah”. Bukankah kata-kata ukhrijat yang berarti
dikeluarkan (bina majhul)berasal dari khoroja yakni keluar.Bukankah khuruj
juga berarti keluar dalam arti sesungguhnya dari satu tempat ke tempat lain.?
Bukankah Nabi-nabi telah keluar dari tempatnya menuju kaum masing-masing untuk
mendakwahkan Islam. Demikian juga Nabi Muhammad saw dan para sahabatnya ? Kaum
salafus Shalih, khalafus shalih, ulama mutaqoddmin, ulama mutaa’khkhiriin
sampai kepada kita sekarang umatnya ? Bukankah mereka semua berusaha keluar
dari dzhulumaat ilannuur ?
Anda Berkata: Seorang yang tak berilmu lalu
terjun ke medan dakwah, maka ia akan banyak menimbulkan kerusakan, sebab pasti
ia akan mengada-ada atas nama Allah. Sedang mengada-ada atas nama Allah adalah
perbuatan haram.
Pernyataan itu betul, tapi jangan dialamatkan
kepada orang-orang yang khuruj.Lihat dulu ke dalam baru ngomong. Memang di
antara mereka banyak orang awam, makanya ketika mereka melakukan khuruj
berjamaah, ada amir yang berpengalaman, membimbing, ada orang alimnya dan ada
hafidh al Qur’annya. Memang tidak semua jamaah sempurna komposisinya seperti
itu, tapi mereka masih dibimbing dengan mudzakarah ushul-ushul dakwah dan
adab-adab serta doa-doa masnunah, yang semua itu disusun oleh ulama dan
masyaikh yang mumpuni, sehingga setiap jamaah selalu ada peningkatan iman, ilmu
dan amalnya.
Sayangnya teman-teman dari Salafy, kurang berprilaku koperatif
dengan mereka sehingga tidak mendapatkan informasi yang sempurna atas gerakan
khuruj mereka. Dulu, ketika mengawali dakwah mereka satu generasi yang lalu,
memang komposisi ideal, dalam arti jamaah yang sempurna ada orang alim, hafidz
dan yang berpengalaman, susah dicari. Tapi sekarang sudah banyak kemajuan,
banyak anak-anak mereka yang disekolahkan menjadi hafidz dan alim baik di dalam
maupun di luar negeri, hasilnya cukup menggembirakan. Semua itu adalah bukti
mereka betul-betul memperbaiki diri, tidak jalan di tempat dalam kebodohan dan
kejahilan. Orang–orang profesional seperti pegawai negeri, pengusaha,
tentara dan polisi juga tidak sedikit yang ikut. Seperti polisi, tadinya ingin
menginteli gerakan mereka, yang selalu ada di kampung-kampung, kota-kota dan
masjid-masjid.Tapi akhirnya mereka ikut sendiri secara diam-diam, karena akal
waras mereka masih dapat menimbang baik-buruk.Lagi pula, dakwah kita kan tidak
melihat hasil, kita manusia hanya berusaha saja dan berdoa, dengan manhaj yang
benar, insya Allah, Allah yang berhak memberikan hidayahnya.
Justru kekuatan
dakwah mereka terletak pada kesederhanaan, tidak banyak publikasi di media
massa, pembiyaan yang ditanggung sendiri, dengan menggunakan harta dan diri.
Mereka tak pernah mau menerima bantuan dari manapun dan dari siapapun, mereka
merogoh kantong masing-masing dalam perjalanan dakwahnya, karena begitulah Nabi
saw dan sahabatnya memberi contoh, bukankah semua da itu hakikatnya dari Allah
Swt juga.
Dalam beberapa kali anda telah menyematkan sifat-sifat
buruk kepada penulis QVS, seperti Abdurrahman Lubis yang kebingungan, pendapat
penulis QVS yang licik, penipuan informasi dan sebagainya, bahkan tentang
penjelasan mengenai pernyataan Al-Bajuuri anda mengatakan hal itu
meruntuhkan pemikiran dan kebingungan Abdur Rahaman Lubis (Editor QVS)
dan Penulis QVS yang menyatakan bahwa istilah
salafiy tidak syar’iy. Sebab jika salaf sudah ada sejak zaman kenabian, maka
berarti pengikutnya harus ada. Nah, pengikut salaf itulah yang kita istilahkan
“salafy”.
Cukup jelas kan ? Bahwa siapa saja yang
mengikut jejak Rasulullah saw, sahabatnya, tabi’iin dan tabi’ut tabi’iin (para
salafus shalih) adalah salafy. Jadi tidak harus ada yang mengklaim, “Saya
salafy atau kami salafiyyun”. Sehingga orang lain bukan salafy.
Anda menulis: “Mengada-ada seperti ini banyak
kita jumpai pada Jama’ah Tabligh saat mereka menulis buku atau saat
menyampaikan ceramah. Lihat saja buku rujukan mereka yang berjudul Fadho’il
A’mal, karangan Muhammad Zakariyya Al-Kandahlawiy”.
Dalam hal yang satu ini ada seabrek pengalaman,
orang-orang salafy selalu menyalahkan isi kitab Fadho’il A’mal karangan
Muhammad Zakariyya Al-Kandahlawiy”. Waktu saya berada di Aden, Yaman (2008)
kami didatangi beberapa anak muda di Masjid Usman bin Affan, intinya mereka
menyalahkan isi kitab Fadho’il A’mal karena menurut mereka banyak hadis dho’if
dan maudhu’ (palsu).Tapi, ketika saya minta bagian mana dan hadis yang mana,
sanadnya atau rawinya atau sirohnya yang lemah, tenyata mereka tak dapat
menunjukkannya. Mereka sendiri tak pernah melihat kitab itu, hanya qila
waqoola (dikatakan dan katanya alias dari mulut ke mulut).
Tahun 2003 saya
berada di Madura, di salah satu masjid di Sampang, kami telah didatangi tiga
pemuda yang intinya menyalahkan kami dan agar tidak membaca kitab Fadho’il
A’mal dengan alasan banyak hadis maudhu’. Dengan senang hati saya layani
anak-anak muda itu. Saya ambil Fadho’il A’mal dan saya persilahkan kepada
mereka untuk menunjukkan bagian mana yang lemah dan maudhu’ tersebut. Ternyata
mereka hanya bilang banyak. Lalu saya bilang, jangan banyak-banyak, satu saja.
Itu pun mereka tidak dapat menunjukkannya. Saat itu saya katakan, orang-orang
seperti saudara sudah sering saya temui, saya sudah menjalani 15 negara, dan
selalu ada orang seperti saudara. Sekarang, begini saja, kami di sini tiga
hari, datangkanlah ulama-ulama hadis dari anda agar kita bermudzakarah. Jadi
tidak setiap orang seenaknya membuat fatwa. Sejak itu satu persatu, anak muda
itu mundur dan menghilang, tinggal seorang dan ketika ditanya, ia menjawab :
“Saya juga bingung ustad, mana yang banar !”
Di masjid Miftahul Jannah Jati Bening Bekasi,
tahun 2000 saya sedang membuat bayan (ceramah agama) dalam kuliah magrib,
ternyata mustami’iin (para pendengar) dikacaukan dengan adanya selebaran foto
kopi (majalah atau koran) yang isinya : “Jamaah Tabligh Berdakwah Tanpa Ilmu”.
Selesai bayan, saya menemui tiga pemuda yang duduk di pojok belakang masjid,
seraya mengucapkan salam. Tapi salam saya tak dijawab, saya ulang salam kedua
tak dijawab juga. Saya ulang salam ketiga sambil memegang tangan salah seorang
mereka, kalau saudara seorang muslim, jawablah salam saya, kalau tidak silahkan
keluar dari masjid ini. Mereka pun menjawab salam saya. Saya dekati meraka dan
saya bilang, siapa yang diuntungkan dengan cara anda seperti ini ? Mereka tak
menjawab, dan saya katakan bahwa yang beruntung adalah musuh-musuh Islam. Kalau
anda merasa punya ilmu, dekatlah kepada mereka dan ajarkanlah ilmu kalian agar bermanfaat.Jangan
malah menghina. Sama halnya seperti di Sampang, satu persatu mereka
meninggalkan saya. Dan yang terakhir ketika saya tanya, seorang menjawab :
“Saya juga bingung ustad, mana yag benar”.
Di salah satu Musholla di Pondok Gede,
anak-anak muda sudah berhenti membaca ta’lim dan malah tidak solat, karena
seorang ustad telah melarang mereka membaca kitab Fadho’il A’mal, padahal
mereka anak-anak preman yang baru tobat dan baru mengenal masjid,, yang
seharusnya memerlukan bimbingan yang bijak. Ketika saya datang ke rumah ustad
tersebut dan menanyakan hal itu, ustad tersebut juga tak dapat menunjukkan
hadis yang mana yang maudhu’ dan lemah dalam kitab tadi. Lagi pula, kalau itu
yang jadi masalah, bukankah merupakan kesepakatan ulama hadis lemah masih dapat
digunakan untuk mendorong amal atau fadhilah.Padahal ustad itu termasuk alim
dan tokoh di kalangan Salafy yang rumahnya tak jauh dari rumah saya. Banyak
lagi pengalaman yang cukup mengenyangkan kita.
Wafatnya seorang alim besar.
Sejenak kita rehat dari bahasan ini, sambil sedikit mengenal siapa Maulana Zakaria rah.a yang bukunya sering menjadi bulan-bulanan orang Salafy. Beliau adalah sosok yang selalu berharap untuk bertemu Allah Swt sampai saat terakhit beliau tinggal di Madinah, kota tempat Rasulullah Saw Akhirnya Allah Swt mengabulkan doanya, beliau wafat di Madinah, Senin 1 Syaban 1402 H, 24 Mei 1982 M dimakamkan di Pekuburan Baqi, di kalangan para Sahabat r.anhum dan ahli keluarga Nabi Saw.Diikuti sejumlah besar orang dan dimakamkan di sebelah pusara Maulana Ahmad Khalil Shaharapuri rah.a, gurunya sendiri, lalu dimakamkan oleh Syeikh Ibn Baaz rah.a, Ulama Besar Kerajaan Arab Saudi.
Sejenak kita rehat dari bahasan ini, sambil sedikit mengenal siapa Maulana Zakaria rah.a yang bukunya sering menjadi bulan-bulanan orang Salafy. Beliau adalah sosok yang selalu berharap untuk bertemu Allah Swt sampai saat terakhit beliau tinggal di Madinah, kota tempat Rasulullah Saw Akhirnya Allah Swt mengabulkan doanya, beliau wafat di Madinah, Senin 1 Syaban 1402 H, 24 Mei 1982 M dimakamkan di Pekuburan Baqi, di kalangan para Sahabat r.anhum dan ahli keluarga Nabi Saw.Diikuti sejumlah besar orang dan dimakamkan di sebelah pusara Maulana Ahmad Khalil Shaharapuri rah.a, gurunya sendiri, lalu dimakamkan oleh Syeikh Ibn Baaz rah.a, Ulama Besar Kerajaan Arab Saudi.
Lahir 10 Ramadhan 1315 H/12 Februari 1898, di
desa Kandlah di wilayah Uttar Pradesh India, dari keluarga yang punya sejarah
panjang dalam pengabdian pada Islam. Silsilah keluarga beliau bersambung sampai
kepada Sahabat besar Abu Bakar Ashshidiq ra.
Zakariyya kecil mulai belajar
membaca kepada Hakim Abdur Rahman, kemudian menghafal Alquran dibimbing
langsung sang ayah, Maulana Muhammad Yahya, ulama besar yang cukup terpandang
di India. Setelah itu belajar bahasa Persia dan bahasa Arab kepada Maulana
Muhammad Ilyas, pendiri gerakan Dakwah Tabligh.
Usia 12, Maulana Zakariyya dibawa
ayahnya ke Madrasah Mazahirul Ulum. Di bimbingan ayah sendiri, beliau
mempelajari bahasa Arab tingkat lanjut, teks-teks klasik, nahwu, sharaf dan
ilmu mantiq.
Usia 17 tahun, mulai melakukan
kajian ilmu hadits. 5 dari 6 kutubussittah. Belajar untuk kedua kali
kitab Sahih Bukhori dan Sunan at-Tirmidzi ke Maulana Khalil
Ahmad Saharanpuri. Selama belajar Zakariyya muda selalu menjaga wudlu’.
Memulai karier mengajar tahun 1335
H, ditunjuk mengajar nahwu, sharaf dan sastra. Tahun 1341 H, ditunjuk mengajar
tiga bagian dari kitab Sahih Bukhori dan pada tahun 1344 H mengajar
kitab Mishkat al-Masabih.
Tahun 1345 H, beliau kunjungi tanah
suci. Setahun Di Madinah dan selama itu mengajar Sunan Abi Dawud di
Madarasah Ulum Shar’iyyah. Di Kota Nabi ini, Maulana mulai menulis Awjaz
al-Masalik ila Muwatta’ Imam Malik, syarah kitab Al-Muwatta’nya
Imam Malik, ketika itu beliau berumur 29 tahun.
Ketika kembali ke India, beliau
mulai lagi mengajar kitab Sunan Abi Dawud, Sunan al-Nasai, Al-Muwatta
Imam Muhammad dan separuh bagian dari Sahih Bukhari, separuhnya lagi
diajarkan oleh direktur madrasah. Setelah sang direktur wafat, tugas mengajar
Sahih Bukhari ini diberikan seluruhnya kepada Maulana Zakariyya.
Selama hidup beliau, beliau telah mengajar
separuh bagian pertama dari Sahih Bukhari selama 25 kali, mengajar seluruh
kitab tersebut selama 16 kali dan mengajar kitab Sunan Abi Dawud sebanyak
30 kali. karier beliau mengajar bertahan sampai tahun 1388 H, ketika beliau
menderita sakit mata yang tidak memungkinkan lagi untuk terus mengajar.
Kecintaan Maulana Zakariyya pada
agama, terutama pada kajian ilmu Hadits, sangat total. Total waktu yang
dihabiskan beliau untuk belajar dan mengajar hadits adalah selama kurang lebih
60 tahun.
Dalam kurun waktu tersebut beliau
juga telah menulis lebih dari 80 kitab yang sangat tinggi nilainya dan diakui
oleh para ulama di seluruh dunia. Beberapa kitab yang beliau tulis dalam bidang
kajian hadits antara lain ; Awjaz al-Masalik ila Muwatta’ Imam Malik (syarah
dari kitab Muwatta Imam Malik, terdiri dari 6 jilid), Lami’
al-Dirari ‘ala Jami’ al-Bukhari (syarah dari kitab Sahih Bukhari),
Syarah Muslim (syarah Sahih Imam Muslim), Juz’ Hajjat al-Wida’ wa ‘Umrat
al-Nabi (Berisi tentang detilnya haji dan umroh yang dilakakukan oleh
rasulullah SAW, juga memuat tentang masalah hukum haji, lokasi, dan
tempat-tempat yang pernah dilalui atau disinggahi oleh Rasuulllah SAW), Khasa’il
Nabawi Sharh Shama’il al-Tirmidhi (syarah dan komentar terhadap kitab
al-Shama’il al-Muhammadiyya-nya Imam Tirmidzi yang berisi tentang detil
hadits-hadits yang berkenaan dengan peri kehidupan Nabi Muhammad SAW) dan
beberapa kitab lainnya.
Detil lebih lengkap mengenai
riwayat hidup beliau bisa dibaca di buku otobiografi beliau yang ditulis dengan
cara yang unik oleh beliau sendiri dengan judul “Aap Beeti”, sudah
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul “Otobiografi Zakariyya
Al-Kandahlawi”.
Tahun 2007, penulis Abdurrahman
Lubis dan teman-teman sempat bertandang ke rumahnya di Saharanpur, diterima
oleh putranya Maulana Tholha, duduk di dipan bekas tempat Maulana Zakaria
bergumul dengan kitab-kitabnya yang banyak.
Membaca kisah belajar, mengajar,
menulis, ketekunan dan semangat Maulana Zakariyya dalam pengabdiannya kepada
agama, khususnya dalam ilmu hadits harusnya membuat kita menjadi malu.
Pertanyaan sederhana untuk kita,
apa yang telah kita lakukan untuk memajukan agama yang kita cintai ini ?
Belum apa-apa kan ? Kalau sudah begitu, rasanya menjadi sangat tidak
pantas bagi kita memberi label atau cap negatif terhadap sosok Maulana
Zakariyya Kandahlawi, Maulana Ilyas Kandahlawi dan ulama-ulama lainnya.
Apalagi penguasaan dan pengetahuan
kita seringkali pas-pasan saja, itu pun kita mendapatkannya dari sumber
terjemahan, bahkan seringkali hanya copy paste dari sumber yang tidak
jelas sanadnya.
Anda mengulas: Sebenarnya yang mengadakan
kontroversi dan kekacauan dalam beragama adalah para ahli bid’ah –diantaranya
Jama’ah Tabligh-, sebab mereka telah menjauhkan umat dari aqidah salaf, dan
merusak ibadah umat, bahkan merusak akhlaq mereka.
Pernyataan anda ini tanpa bukti, cuma silat lidah
belaka. Mungkin sudah ada ratusan kali atau ribuan kali orang-orang Salafy
menuding Jamaah Tabligh itu adalah ahli bid’ah, sufiyyuun, quburiyyun, ahli
tarekat yang sesat dan sebagainya. Tapi orang-orang dakwah itu tak pernah
bereaksi, tak pernah membantah. Bukan karena yang anda tuduhkan itu benar. Tapi
karena mereka memang tidak seperti itu. Coba anda buktikan satu saja kuburan
yang pernah mereka sembah, tunjukkan di mana dan siapa yang pernah melakukan
tarekat sesat, siapa yang pernah mengikuti sufiyyun, atau bid’ah yang mana yang
anda maksud. Tuduhan anda itu kan baru anggapan dan kesimpulan anda sendiri,
karena melihat dari jauh orang-orang dakwah, lalu anda mengambil kesimpulan
dengan hati yang hasad dan otak yang sudah berisi kebencian, kemudian memetik
ayat al Qur’an dan al Hadis untuk memukulkannya kepada mereka. Saya ingin
bertanya, apakah demikian kerja seorang alim atau ahli ilmu terhadap murid
(umat) nya ?
Satu ketika saya mendengar lagi dari mulut orang-orang Salafy,
bahwa orang-orang tabligh itu menyembah kubur di Nidzomuddin, New Delhi, India.
Lha ini berita apa lagi. Saya sudah berkali-kali datang ke Nidzomuddin, suatu
kawasan semacam kecamatan. Ada stasiun kereta Nidzomuddin, ada Police Station
Nidzomuddin, ada makam Waliullah Hazrat Nidzomuddin dan ada masjid Banglawali
Nidzomuddin. Memang banyak orang terlanjur masuk ke makam Waliullah Hazrat
Nidzomuddin, dari berbagai lapisan masyarakat dalam dan luar negeri, mereka
ingin bertabarruk(mengambil keberkahan) kepada Waliullah tersebut. Tetapi itu
sama sekali tak ada kaitannya dengan yang anda tuduhkan, yakni masjid
Banglawali, markaz dakwah dunia, yang jaraknya lebih kurang 500 meter saja dari
tempat itu.
Sebagai seorang muslim yang merindukan hidayah Allah, saya ingin
mencari kebenaran dengan cara yang benar, dengan menyempurnakan iman dan amal
seraya mendakwahkan Islam kepada sesama.Ternyata itu saya dapatkan di masjid
Banglawali Nidzomudin. Dalam hal ini, saya ingin mengajak anda dan teman-teman
Salafy lainnya, agar dapat melihat langsung keadaannya dengan niat mengamalkan
ilmunya meluangkan waktu mendakwahkan agama Allah yang suci ini. Jangan merasa
puas dengan teksbooks thinking, ilmu untuk ilmu, akhirnya ilmu menjadi panglima
yang bolehjadi guru besarnya adalah hawa nafsu yang disetir oleh syaithon.
Na’udzubillahi mindzaalik.
Nukilan anda : “Makanya mereka
(JT), verbalitas ilmu saja mereka tak punya. Tapi anehnya mereka
lancang berdakwah di jalan Allah. Sampai preman-preman yang baru sehari
tobat, eh malah ikut khuruj (berdakwah di jalan Allah). Verbalitas
ilmu saja mereka tak miliki, apalagi hakikatnya. Seorang tak mungkin akan
memahami hakikat ilmu dalam hati, jika ia tak memahami verbalitas ilmu dengan
akalnya yang bersih”.
Itukan kalimat saya di QVS yang anda nukil ulang
dan memukulkannya kembali ke saya.Sebenarnya di situ ada dua kemungkinan,
pertama, orang-orang tabligh berdakwah tanpa ilmu, itu ada benarnya, karena
memang mereka sedang menuntut ilmu dalam proses dakwahnya. Dakwah mereka itu
merupakan rangkaian sempurna dari dakwah Ila Allah, ta’lim wat’allum, zikir dan
ibadah serta perkhidmatan. Bayangkan, itu yang mereka ulang-ulang selama 40
hari atau 4 bulan, dalam waktu khusus, suasana khusus, mendapat bayan hidayah
dan diakhiri dengan bayan pulang. Dan semua yang mereka dapat itu akan
diamalkan lagi di kampung masing-masing, seperi Nabi saw tikdak diturunkan
sekalugus 30 juz al Qur'an, tapi Allah Swt memnerikannya sedikit-sedikit, dalam
proses panjang melalui media dirinya sendiri yang penuh susah payah dan
nestapa. 13 Tahun di Mekkah dan 10 tahun di Madinah, Nabi saw dituduh
pensihir, orang gila dan sebagainya. Tapi kan Nabi saw jalan terus. Begitu juga
Nabi saw dan sahabatnya sekembali dari jihad di Badar dan di tempat lainnya.
Bukankah apa yang mereka kerjakan merupakan siaran ulangan dari apa yang
dikerjakan kaum salafus shalih, Nabi saw dan para sahabatnya dahulu ? Apakah
kita lupa atau sengaja menutup mata, bahwa Nabi saw telah banyak mengutus
sahabatnya untuk berdakwah ke negeri-negeri Irak, Mesir, Yordan, Yaman, dan
sebagainya ? Mereka ada yang kembali dan kebanyakan syahid di perjalanan,
buktinya dari jumlah mereka yang 124.000 orang, makamnya di kubur Baki hanya
10.000 saja, selebihnya bertebaran di berbagai negeri seluruh alam.
Anda bilang: “Jadi, Jama’ah tabligh yang
berdakwah tanpa ilmu ibaratnya orang yang berusaha berenang demi menyelamatkan
orang yang hampir tenggelam, sementara ia sendiri tak bisa
renang. Hasilnya, ia dan orang yang ingin diselamatkan, semuanya
tenggelam”.
Anda benar, cuma kurang faham saja.Kenapa Allah
menyebut Muhammad saw itu sebagai :
إِنَّ لَكَ فِي
النَّهَارِ سَبْحًا طَوِيلًا
“Sesungguhnya bagimu di siang
hari berenang yang panjang” (bersambung)
[1] Al Qurán surah Muhammad ayat 12.
[2] Al Qurán surah an Nisa’ ayat 28.
Lanjut Pak Kyai
BalasHapus