Waspadalah.. |
( Ini adalah bagian ke-2 dari penjelasan Ust. Abdurrahman Lubis dalam menjawab tuduhan - tuduhan yang dilontarkan salafy di situs ALMAKASSARI.COM terhadap buku karangan beliau yang berjudul, " QUO VADIS SALAFY ." )
Nukilan anda : “Makanya mereka
(JT), verbalitas ilmu saja mereka tak punya. Tapi anehnya mereka
lancang berdakwah di jalan Allah. Sampai preman-preman yang baru sehari
tobat, eh malah ikut khuruj (berdakwah di jalan Allah). Verbalitas
ilmu saja mereka tak miliki, apalagi hakikatnya. Seorang tak mungkin akan
memahami hakikat ilmu dalam hati, jika ia tak memahami verbalitas ilmu dengan
akalnya yang bersih”.
Itukan
kalimat saya di QVS yang anda nukil ulang dan memukulkannya kembali ke
saya.Sebenarnya di situ ada dua kemungkinan, pertama, orang-orang tabligh
berdakwah tanpa ilmu, itu ada benarnya, karena memang mereka sedang menuntut
ilmu dalam proses dakwahnya. Dakwah mereka itu merupakan rangkaian sempurna
dari dakwah Ila Allah, ta’lim wa ta’allum, zikir/ibadah dan perkhidmatan.
Bayangkan, itu yang mereka ulang-ulang selama 40 hari atau 4 bulan, dalam waktu
khusus, suasana khusus, mendapat bimbingan dengan bayan hidayah dan diakhiri
dengan bayan (bimbingan) pulang. Lagi pula di mana letak salahnya, mereka toh
“berobat jalan’ (belajar sambil memperbaiki diri). Tempatnya juga di
masjid-masjid dengan amalan I’tikaf, silaturahimnya ke rumah-rumah orang Islam.
Kalam dakwahnya tentang kebesaran Allah dan sunnah Nabi saw. Jadi di mana letak
salah dan bid’ahnya ? Dan semua yang mereka dapat itu akan diamalkan lagi di
kampung masing-masing.
Bukankah
kepada Nabi saw tidak diturunkan sekaligus 30 juz al Qur'an, tapi Allah Swt
memberinya sedikit-sedikit, dalam proses panjang melalui media dirinya sendiri
penuh susah payah dan nestapa. 13 Tahun di Mekkah dan 10 tahun di Madinah, Nabi
saw dituduh pensihir, orang gila dan sebagainya. Tapi kan Nabi saw
jalan terus. Begitu juga Nabi saw dan sahabatnya sekembali dari jihad di Badar
dan di tempat lainnya. Bukankah apa yang mereka kerjakan merupakan siaran
ulangan dari apa yang dikerjakan kaum salafus shalih, Nabi saw dan para sahabatnya
dahulu ? Apakah kita lupa atau sengaja menutup mata, bahwa Nabi saw telah
banyak mengutus sahabatnya untuk berdakwah ke negeri-negeri Irak, Mesir,
Yordan, Yaman, dan sebagainya ? Mereka ada yang kembali dan kebanyakan syahid
di perjalanan, buktinya dari jumlah mereka yang 124.000 orang, makamnya
di kubur Baki hanya 10.000, selebihnya bertebaran di berbagai negeri seluruh
alam. Lalu, kalau kita merasa umat Nabi saw, kenapa kita tak mau mengikuti
jejaknya dan para sahabatnya untuk menyebarkan Islam sambil mengishlah diri ?
Kalau begitu, kita sebenarnya menjadi umat siapa ?
Anda
bilang: “Jadi, Jama’ah tabligh yang berdakwah tanpa ilmu ibaratnya orang yang
berusaha berenang demi menyelamatkan orang yang hampir tenggelam, sementara ia
sendiri tak bisa renang. Hasilnya, ia dan orang yang ingin diselamatkan,
semuanya tenggelam”.
Kata-kata
yang benar, cuma tidak realistis, sebagai bukti ketidakfahaman kita. Karena
setiap sesuatu itu ada hakikatnya atau ada pembuktiannya. Kenapa Allah menyebut
Muhammad saw itu sebagai :
إِنَّ لَكَ فِي النَّهَارِ سَبْحًا
طَوِيلًا
Kata
سَبْحًا sabhan, dapat juga
diartikan mempunyai urusan yang panjang (banyak). Apa yang menjadi
urusan Nabi saat itu, ketika permulaan Islam ? Ya dakwah lah. Kalau kata sabhan
diartikan dengan sesungguhnya berarti Nabi saw di siang hari kerjanya cuma
berenang. Padahal di tengah-tengah kota Mekkah saat itu gak ada pantai, sungai
ataupun kolam renang. Justru berenangnya Nabi saw di siang hari itu, maksudnya
adalah dakwahnya. Apakah ada pekerjaan Nabi saw yang lebih besar selain
berdakwah setelah ia dilantik menjadi rasul ?
Anda
mengatakan : ‘Adapun sangkaan Bang Lubis bahwa orang-orang yang khuruj
(keluar) di jalan Allah untuk mendakwahkan agama dan berniat memperbaiki diri, maka
ini adalah sangkaan batil dan salah, sebab seorang yang mau memperbaiki diri,
ia harus belajar dan duduk di depan para ulama dan ustadz agar ia mengetahui
kebaikan dan keburukan sehingga ia dapat mengamalkan yang baik dan meninggalkan
yang buruk. Adapun jika kita malas belajar, tapi langsung sibuk dakwah,
maka tentunya keliru dan sembrono. Bukankah seorang yang mau renang demi menyelamatkan
orang lain, harus belajar renang dahulu sebelum terjun ke air ?’
Jawaban:
Anda dan orang-orang Salafy, sangat enteng membuat stigma batil dan salah.
Padahal kata-kata itu sesunguguhnya hanya milik dan hak Allah. Dan diri
kita masing-masing tidak ada yang ma’shum dari perkara itu. Saya ada
beberapa kali ke Pakistan, baru-baru ini juga kembali dari sana. Di markas
dakwah Raiwind, Lahore, Pakistan, setiap hari rata-rata 20 ribu
orang shalat lima waktunya, mereka datang dan pergi dari berbagai daerah dan
negeri, termasuk negeri-negeri arab. Kalau ada bayan (kuliah umum) dalam bahasa
urdu yang disampaikan ulama atau penanggungjawab dakwah, diterjemahkan ke
berbagai bahasa, arab, inggeris, parsi, cina, melayu dll. Saya lihat halaqoh
terjemah arab paling ramai, saya selalu duduk dengan mereka. Saya
seringkali bertanya pada mereka, di antaranya ada orang awam yang seperti anda
sebutkan, ada juga yang lulusan Ummul Quro Makkah, Jamiyatul Islamiyah
Madinah, Al Azhar Kairo dan sebagainya, bahkan tak sedikit yang hafidz al
Qur’an dan muhaddis.
Saya
Tanya: ’Kenapa harus datang ke Raiwind (Pakistan), bukankah di Arab gudang
ilmu dan kalian ini orang-orang ahli ilmu.’
Di
antara mereka menjawab: ‘Betul di tempat kami belajar dasar-dasar ilmu, tapi
di sini kami belajar mengamalkannya. Di sini , seperti zaman sahabat, ada al
Qur’an berjalan’, kata seorang di antaranya.
Perhatikan
ayat ini:
لِلْفُقَرَاءِ الَّذِينَ أُحْصِرُوا
فِي سَبِيلِ اللَّهِ لَا يَسْتَطِيعُونَ ضَرْبًا فِي الْأَرْضِ يَحْسَبُهُمُ
الْجَاهِلُ أَغْنِيَاءَ مِنَ التَّعَفُّفِ تَعْرِفُهُمْ بِسِيمَاهُمْ لَا
يَسْأَلُونَ النَّاسَ إِلْحَافًا وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ
بِهِ عَلِيمٌ
(Berinfaqlah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh
jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di bumi; orang yang tidak
tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari minta-minta. Kamu
kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang
secara mendesak. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah),
maka sesungguhnya Allah Maha Mengatahui. [2]
لِلْفُقَرَاءِ الْمُهَاجِرِينَ
الَّذِينَ أُخْرِجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ وَأَمْوَالِهِمْ يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ
اللَّهِ وَرِضْوَانًا وَيَنْصُرُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ هُمُ
الصَّادِقُونَ
(Juga)
bagi orang fakir yang berhijrah [3] yang diusir dari kampung halaman
dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan
keridhaan-Nya dan mereka menolong Allah dan RasulNya. Mereka itulah
orang-orang yang benar. [4]
|
Maksudnya: kerabat Nabi, anak-anak yatim, orang-orang
miskin dan ibnussabil yang kesemuanya fakir miskin, mereka itu adalah
‘akar rumput’ mewakili prosentase terbesar umat ini, dan mereka
berhijrah. Bukankah ini menggambarkan bahwa peserta hijrah bersama Nabi saw
adalah mereka yang papa, miskin, fakir dan yang terusir. Siapakah di
antara mereka yang ahli ilmu ? Sementara ayat al Qur’an sebagai sumber ilmu
belum turun seluruhnya. Artinya, Allah Swt senantiasa memberi
kesempatan kepada hamba-hamba-Nya untuk memperbaiki diri dari
kesalahannya dan membuka pintu taubat seluas-luasnya bagi siapa saja yang mau
bertaubat. Lha kok terbalik, justru anda, Al-Ustadz Abul Fadhel Al-Bughisiy
dan teman-teman Salafy lainnya, menganggap hal itu perkara yang batil dan
salah, hanya dengan mengemukakan dalih seorang yang mau memperbaiki diri,
harus belajar dan duduk di depan para ulama dan ustadz agar ia mengetahui
kebaikan dan keburukan sehingga ia dapat mengamalkan yang baik dan meninggalkan
yang buruk. Di sini lah letak kepicikan, atau setidaknya keterbatasan
pandangan anda. Betul, menuntut ilmu itu wajib di depan ulama,
bahkan bertanya kepada ulama, menghormati ulama dan memuliakan ulama. Melihat
wajah ulama saja menjadi ibadah. Semua itu diperintahkan. Tapi, dakwah ila
Allah dan gerakan kebaikan itu, hari ini, adalah juga hajat paling
utama semua orang. Artinya jangan sampai kita dudukkan dakwah dan mengajak
kebaikan, itu, seakan cuma menjadi monopoli ulama, miliknya para sarjana
hadis, yang lulusan ummul Quro, Jamiatul Islamiyah, Al Azhar dan sebagainya.
Seakan ilmu itu menjadi menara gading. Simbol elitisme dan keterpicisan
sekelumit sosok, yang konon well educated (terpelajar) saja. Dan kalau
itu yang terjadi, bukankah menjurus keangkuhan intelektual yang dapat merusak
asas bangunan Islam secara totalitas yang telah dibangun susah payah oleh
Nabi saw ? Padahal mayoritas umat ini adalah orang miskin, awam
dan jahil. Nah, siapa yang akan menggarap lahan mayoritas umat ini kalau
semua kita cuma berpangku tangan menunggu ulama ? Kita sibuk
mengeluarkan fatwa-fatwa, membahas kitab-kitab tebal, sementara umat ini
jangankan mendengarkan fatwa, shalat saja sebagai ibadah mahdhoh paling
besar sudah ditinggalkan. Umat ini sudah berbondong-bondong meninggalkan
sholat, itu artinya berbondong-bondong menuju neraka jahannam. Apakah anda al
Ustadz Abul Fadhel Al-Bughisiy yang mulia dan sahabat-sahabatku
Salafy, sampai hati atau merasa tega dan membiarkan mereka begitu saja dan
bahkan cukup puas Cuma menuduh mereka bid’ah dan sesat ?
Memang betul, mereka
seakan sedang di dalam lumpur berteriak minta tolong, sementara kita sibuk
membuat pengumuman: Hati-hati ada jurang ! Sedang keadaan umat ini
bukan hanya lemah, tapi buta dan tuli ! Apalagi akan sangat disayangkan kalau
di antara kita masih ada yang merasa bahwa ilmu itu adalah status sosial,
ilmu itu adalah ijazah, LC, S1,S2,S3 dan sebagainya. Siapa perancang
LC,S1,S2,S3 ? Apakah ada sunnahnya menggunakan titel-titel itu. Kalau mau
jujur, bukankah itu juga perkara bid’ah yang besar ? Apakah ada jaminan
kesalehan bagi para penyandangnya. Bukankah realistisnya gelar-gelar
tersebut justru menimbulkan kelas-kelas tertentu di masyarakat ? Mohon maaf
beribu maaf, saya mengutarakan ini, bukan berarti saya sinis terhadap ilmu
dan gelar, karena saya sendiri memiliki ijazah-ijazah itu. Cuma menurut
pandangan saya yang faqeer ini, bukankah semua itu hanya alat untuk
mencapai tujuan. Bukan harus menjadi kebanggaan atau kesombongan yang selalu
ditampilkan di depan nama seseorang. Bukankah dalam amalan dakwah Nabi saw,
siapa saja dari sahabatnya dapat menjadi sebab kebaikan dan sebab hidayah,
sepanjang ia mau bermujahadah. Maka di antara sahabat Nabi saw
mengatakan :Kuunuu mitslanaa (Jadilah kalian seperti
kami), maksudnya dari segi iman, kesalehan dan ketaatan, supaya setiap
orang mau mencotoh mereka.
|
Ada
satu kisah, tahun 2003 saya bergabung menjadi penerjemah teman-teman dari Saudi
Arabia. Di antaranya DR.Su’ud dari Universitas Ummul Quro Mekkah dan DR.Ahmad
Adnan dari Jamiatul Islamiah Madinah.Di masjid Hussein On Kuala Lumpur, kami
ik’tikaf 3 hari, hari kedua ada pengajian rutin yang diisi oleh ustad setempat.
Sebenarnya topik kajian malam itu adalah fikih, tapi tiba-tiba sang ustad muda
yang baru lulus dari Ummul Quro itu, menyebut-nyebut:
-‘Ada golongan yang sudah memindahkan kiblat dari Mekkah ke
India, mereka berdakwah tanpa ilmu, mereka datang ke masjid-masjid, mereka
berdakwah membawa kesesatan. Kita harus hati-hati, dan jangan terlalu mudah mengikutinya.’
Saya
terjemahkan semua ucapan ustad tersebut ke bahasa arab, kepada
teman-teman dari Saudi. Mereka berkomentar, ‘Hadza lanaa (yang ini untuk
kita)’.
Selesai
majelis, panitia mempersilahkan kami minum bersama. Maka posisi duduk pun
diatur, sang Ustad berdampingan dengan DR.Su’ud. Mereka berkenalan, ternyata
dari perkenalan itu diketahui DR.Su’ud adalah Muhaddis senior yang jauh di
atasnya, semasa belajar di Ummul Quro. Sang ustad bertanya, :
-’Anta
ma’at tablighi ? (anda sekarang bersama orang tabligh) ?’
Dijawab:
‘Na’am ana ma’ahum wa ma’aka aidhon’(ya, saya bersama mereka dan
bersama anda juga)’.
Sang
Ustad langsung diam dengan raut muka memerah, menunduk dan tidak bicara
sepatahpun sampai beranjak dari tempat itu.
Tahun
2008, saya pernah bayan dalam bahasa arab di satu mesjid dekat Jami’atul Iman,
Sonaa, ibukota Yaman. Selesai bayan, seorang anak muda mengajak saya bertemu
dengan para dosennya.Kami duduk di dekat taman dan saya dikelilingi 3 orang,
salah satunya bertitel Doktor Syariah. Seorang di antaranya berkata:
-
‘Tadi dalam bayan anda mengatakan semuanya datang dari Allah, segalanya
milik Allah, sedikit-sedikit Allah. Nah, saya punya anak dan isteri yang
tinggal di balik bukit sana (sambil menunjuk ke arah bukit). Kalau saya tak mengirim
belanja atau makanan, apa yang mereka makan, apakah ada yang langsung dari
Allah ?’
-
Saya pun menjawab: ‘Pertanyaan anda merupakan siaran ulangan dari pertanyaan
Nabi Zakaria as:
كُلَّمَا دَخَلَ عَلَيْهَا زَكَرِيَّا
الْمِحْرَابَ وَجَدَ عِنْدَهَا رِزْقًا قَالَ يَا مَرْيَمُ أَنَّى لَكِ هَذَا
قَالَتْ هُوَ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَرْزُقُ مَنْ يَشَاءُ بِغَيْرِ
حِسَابٍ
Setiap kali Zakariyya datang ke mihrab, di situ dijumpainya
makanan siap hidang, ia tanya :”Hai Maryam, dari mana makanan ini. Dijawab: Itu
dari sisi Allah, Dia yang memberi rezeki kepada siapa yang
dikehendaki-Nya tanpa hisab.[5]
Ada
dua pelajaran, pertama; Pantaskah seorang Nabi bertanya tentang rezeki, padahal
Nabi adalah guru tauhid, yang pasti sudah tahu semua itu datangnya dari Allah Swt.
Kedua, yang ditanya seorang wanita (bukan Nabi, karena tidak ada wanita yang
Nabi) dalam keadaan terkucil dilanda fitnah besar. Ternyata iman wanita itu
mengagumkan, perhatikan, katanya:
‘Semua itu dari sisi Allah, Dia yang memberi rezeki
kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa hisab’.
Bayangkan,
wanita lemah dengan keluguannya dapat memberi tarbiyah (pelajaran) iman
kepada seorang Nabi, bukankah Nabi itu professor iman ? Di sini Allah Swt
memberi tarbiyah, bahwa orang pintar, ahli ilmu , bahkan seorang Nabi pun
masih tetap harus belajar, dan kadang gurunya adalah orang awam atau yang lebih
bodoh darinya.
Maka,
seorang dari yang bertanya kepada saya menyatakan: ‘Sodaqta ya syeikh
(anda benar bung)’.
Coba
kita perhatikan lagi ayat ini;
فَوَجَدَا عَبْدًا مِنْ عِبَادِنَا
آتَيْنَاهُ رَحْمَةً مِنْ عِنْدِنَا وَعَلَّمْنَاهُ مِنْ لَدُنَّا عِلْمًا
Lalu
mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, [6] yang telah Kami berikan kepadanya rahmat
dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami
[7]
Di
sini jelas bahwa kisah Khidir yang orang biasa dan
Musa as yang ulu al ‘Azmi tapi telah banyak bertanya dan itu
sebagai bukti ketidaksabaran Musa as. Khidir telah memberi
pelajaran sabar (sebagai wujud iman) kepada Musa as. Oleh sebab
itu pula ayat tersebut menjelaskan “Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi
Kami”, satu bukti bahwa ilmu tak selamanya dari guru atau ulama, Allah
sendiri Maha Mampu memberikan ilmu langsung kepada siapa saja yang
dikehendaki-Nya.
Karena
ada dialog, perjumpaan kami pun berpisah dengan damai dan berangkulan, tanpa
hujatan dan caci maki.
(bersambung).
|
[1] Al Qur’an surah Al Muzzammil ayat
7.
[2] Al Qur’an surah al Baqarah ayat 273.
[3] Maksudnya: kerabat Nabi, anak-anak yatim,
orang-orang miskin dan ibnussabil yang kesemuanya orang fakir dan berhijrah.
[4] Al Qur’an surah al Hasyr ayat 8.
[5] Al Qur’an surah ali imron ayat 37.
[6] Menurut ahli tafsir hamba di sini ialah
Khidhr, dan yang dimaksud dengan rahmat di sini ialah wahyu dan kenabian.
Sedang yang dimaksud dengan ilmu ialah ilmu tentang yang ghaib seperti yang
akan diterangkan dengan ayat-ayat berikut. 65.
[7] Al Qur’an surah al Kahfi ayat 65.
source : HERE
0 komentar:
Posting Komentar
WHAT IS YOUR OPINION?