Usaha Da’wah Masturah
Bismillah…
Di sebuah desa bernama Kasabpura (dekat New Delhi, India) hiduplah sepasang suami istri, Maulana ‘Abdus Subhan dan ahliyah-nya. Beliau adalah murid Maulana Ilyas di Nizamuddin. Istrinya seorang ‘alimah yang memiliki risau fikir terhadap kondisi muslimah di Mewat saat itu, beliau sedih melihat keadaan kaum wanita yang jauh dari agama dan berpikir bagaimana caranya agar wanita bisa ikut mengamalkan agama. Di rumah beliau, diadakan majelis ilmu untuk mengajarkan wanita akan pentingnya agama.
Suatu hari, Maulana Ilyas berkunjung ke rumah Maulana Abdus Subhan. Kesempatan itu Maulana Abdus Subhan gunakan untuk bertanya langsung kepada Maulana Ilyas tentang risau fikir ahliyahnya, “Mengapa Tuan tidak membentuk jamaah untuk wanita sebagaimana Tuan membentuk jamaah bagi kaum laki-laki?” Maulana Ilyas sempat terkejut mendengar persoalan ini, beliau tidak menyangka jika usaha dakwah ini mendapat perhatian dari kalangan wanita. Beliau memang merisaukan keadaan masyarakat Mewat (khususnya muslimah) yang tidak berbeda dengan cara hidup wanita Hindu saat itu, namun belum ada niat untuk melibatkan wanita dalam usaha dakwah tabligh.
Maulana Ilyas kembali ke markaz Nizamuddin dan mengadakan musyawarah dengan para elders, diantaranya Maulana Yusuf Kandahlawi, Maulana In’amul Hasan, dan Maulana Daud Al-Mewati (semua adalah khalifah Maulana Ilyas dalam 4 silsilah thariqat). Awalnya mereka sepakat untuk tidak mengadakan aktivitas bagi kaum wanita untuk menghindari fitnah. Kemudian Maulana Ilyas berkata, “Jika kaum wanita dibolehkan untuk menjenguk orang sakit, menghadiri undangan, ta’ziyah dan ziarah, mengapa mereka dilarang menghadiri majelis jamaah tabligh?”
Lalu Maulana Ilyas mengadakan pertemuan dengan Mufti besar di India pada saat itu, yaitu Mufti Kifayatullah Dehlawi untuk meminta pembenaran dan pengesahan terhadap usaha dakwah yang dilakukan oleh kaum wanita dengan menerangkan secara rinci kegiatan yang akan mereka lakukan sepanjang berada di jalan Allah. Awalnya Mufti Kifayatullah mempersoalkan tindakan itu dengan berkata, “Mengapa engkau keluarkan wanita dari rumah mereka sedangkan para Shahabiah mengurung diri mereka di rumah-rumah mereka?” Maulana Ilyas memberi dalil tentang kepentingan wanita untuk keluar di jalan Allah sebagaimana Shahabiah juga keluar ke medan jihad untuk membantu tentara Islam menyediakan makanan, minuman, obat-obatan, mengobati mujahid yang cedera, serta memberi minum kuda-kuda perang. Mufti Kifayatullah hanya diam.
Pada tahun 1940 M, Jamaah Masturah pertama dikeluarkan dan dihantar ke kampung Ghasera, sebuah desa di Mewat – Utara India. Sebelum berangkat, Maulana Ilyas memberi bayan hidayah kepada Jamaah Masturah dan Mufti Kifayatullah ikut hadir dalam majelis tersebut. Setelah bayan selesai, Mufti Kifayatullah Dehlawi berkata, “Jika maksud dan tujuan wanita khuruj untuk islah diri dan mengajak wanita lain juga sama-sama membina iman dan amal dalam rumah-rumah mereka dengan menjaga batas-batas syari’at (hijab) mereka sebagaimana yang kamu gariskan dalam bayan hidayah yang kamu sampaikan, maka aku setuju denganmu Ilyas…” Rombongan ini terdiri atas 7 pasang dan bertindak sebagai Amir Jamaah ialah Maulana Daud al-Mewati. Selama 10 hari jamaah ini gerak di kampung Ghasera, kaum laki-laki berdiam di masjid dan kaum wanita menetap di rumah Miyanji Musa al-Mewati. Jamaah masturah ini dikhidmat sepenuhnya oleh Miyanji Musa dan istrinya.
Inilah awal mula usaha dakwah masturah. Masyaikh katakan, jika kaum lelaki mengambil usaha dakwah maka Islam akan sampai ke pintu-pintu setiap rumah, namun jika wanita juga ikut dalam usaha dakwah maka Islam akan masuk ke setiap kamar, dapur, dan ruang-ruang di dalam rumah. Yang dikehendaki dalam usaha masturah adalah menghidupkan amalan-amalan agama di dalam rumah, sehingga rumah berfungsi seperti masjid. Dengan adanya amalan masjid di dalam rumah, maka rumah itu akan menjadi rumah taqwa yang dinaungi oleh para malaikat dan akan tampak bercahaya dilihat oleh penghuni langit.
Memang tidak ada wanita yang dipilih menjadi Nabi/Rasul, namun perannya dalam mendampingi seorang Nabi/Rasul sangat berpengaruh bagi penyebaran agama. Nabi Nuh As yang berdakwah selama 950 tahun hanya mampu membawa segelintir orang ke dalam perahunya, sedangkan Nabi Ibrahim As yang dikaruniai istri-istri sholehah melahirkan generasi yang juga terpilih menjadi Nabi dan Rasul yang memiliki pengikut yang sangat banyak hingga akhir zaman. Asbab wanita sholehah sebagai partner kerja usaha dakwah, perjuangan kaum lelaki dalam mengamalkan dan mendakwahkan agama akan semakin mudah. InsyaAllah.
***
NB:
Tahun 1934M, Maulana Ilyas mulai memberikan perhatian khusus kepada wanita muslimah, diantaranya tentang cara berpakaian. Beliau mulai menyusun satu program khusus bagi wanita. Lokasi pertama yang dipilih sebagai medan percobaan program ini adalah di kampung Panchayat, Nuh. Ada 15 perkara yang telah digariskan oleh beliau, yaitu:
1. Memperkokoh kalimah (tauhid)
2. Menjaga solat
3. Mempelajari ilmu agama
4. Berpakaian sesuai syariat Islam
5. Hidup dengan tatacara Islām
6. Tidak bercampur baur dengan lelaki
7. Mengadakan majelis pernikahan dengan cara Islam
8. Tidak menerima kepercayaan dari agama lain
9. Menjaga batasan aurat
10. Bertanggungjawab dalam setiap program agama
11. Tidak memberikan pendidikan sekular kepada anak-anak sebelum memberikan pendidikan agama
12. Berazam kuat untuk menyebarkan agama
13. Memelihara kemuliaan sebagai seorang wanita
14. Sanggup bersusah payah (berkorban) untuk agama
15. Berjanji untuk mempertahankan muru’ah (kehormatan) wanita dan menghormati satu sama lain.
Inilah usul pertama dalam merangka program khusus bagi muslimah di Mewat. Mereka akan berkumpul di sebuah rumah, lalu membacakan hadith-hadith Nabi Saw. Kemudian ada lelaki yang berpengalaman dakwah datang ke rumah tersebut (tempat berkumpulnya wanita-wanita muslimah ini) untuk memberikan syarahan/bayan yang dipisahkan dengan tabir/hijab.
***
Alfaqirah ila Rabbiha
Khaleeda, 26122016
#WannaBeMasturah
0 komentar:
Posting Komentar
WHAT IS YOUR OPINION?