Perbedaan pendapat (ikhtilaf) merupakan hal yang pasti terjadi, bahkan hal ini juga terjadi dikalangan sahabat pada masa Rasulullah saw. masih hidup, seperti perbedaan pendapat saat Rasulullah memerintahkan shahabat pergi ke bani Quraidhoh, beliau mengatakan:
لَا يُصَلِّيَنَّ أَحَدٌ الْعَصْرَ إِلَّا فِي بَنِي قُرَيْظَةَ
“Jangan sekali-kali salah seorang dari kalian shalat ‘Ashar keculi di perkampungan Bani Quraizhah.”
Lalu tibalah waktu shalat ketika mereka
masih di jalan, sebagian dari mereka berkata, ‘Kami tidak akan shalat
kecuali telah sampai tujuan’, dan sebagian lain berkata, ‘Bahkan kami
akan melaksanakan shalat, sebab beliau tidaklah bermaksud demikian’.
Maka kejadian tersebut diceritakan
kepada Nabi saw, dan beliau tidak mencela seorang pun dari mereka.” (HR.
Bukhory dari Ibnu ‘Umar r.a)
Hanya saja tatkala perbedaan pendapat
tidak disikapi dengan benar, maka hal ini menjadi pintu masuknya fitnah
yang bisa dimanfaatkan oleh musuh Islam untuk mengadu domba antar umat
Islam sehingga tidak ada lagi rasa pembelaan terhadap sesama saudara
se’aqidah yang berbeda pendapat dengannya.
Tulisan ini mencoba mengurai secara ringkas sebab-sebab perbedaan pendapat, memilah dan bagaimana menyikapinya.
1) Sebab-Sebab Ikhtilaf
Ikhtilaf bisa muncul karena hawa
nafsu, atau karena ijtihad yang memang diizinkan syara’ (bagi yg layak
untuk berijtihad).
Ikhtilaf yang disebabkan karena hawa
nafsu adalah ikhtilaf yang tercela, karena berarti menjadikan hawa
nafsu sebagai dalil syara’, dan ikhtilaf karena hal ini tidak dianggap
sebagai ikhtilaf yg ditolerir syara’.
Adapun ikhtilaf karena ijtihad yang
diizinkan syara’ terjadi karena banyak sebab yang bisa dikembalikan
kepada dua hal yakni: karena dalil atau karena kaidah-kaidah ushul yang
berkaitan dengan dalil.
1.1) Sebab Ikhtilaf karena Dalil
Al Bathlayusy (w. 521 H) dalam kitabnya Al Inshâf, ikhtilaf dalam berdalil bisa karena beberapa hal, diantaranya:
1. Lafadz yg mengandung beberapa makna (musytarok) juga lafadz yg mengandung penakwilan. Seperti:
والمطلقات يتربصن بأنفسهن ثلاثة قروء
Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru. (Al Baqarah : 228)
Quru’ diartikan suci oleh orang-orang Hijaz, dan diartikan haid oleh orang-orang ‘Iraq.
2. Lafadz yang mengandung makna hakiki dan majazi (kiasan). Semisal:
أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ …
Atau menyentuh perempuan. (QS. al-Maidah[5]: 6)
Yang dimaksud menyentuh di dalam ayat
ini bisa berarti menyentuh dengan tangan atau jima’. Sehingga
terjadi perbedaan pendapat apakah menyentuh dengan tangan membatalkan
wudlu atau tidak.
3. Penggunaan dalil antara ‘umum dan khusus.
Semisal ayat
لاَ إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ (tidak
ada paksaan dalam beragama (untuk memeluk Islam) apakah berlaku ‘umum
untuk semua org kafir atau khusus untuk ahli kitab yang membayar
jizyah.
4. Perbedaan qira’at (bacaan) al Qur’an dan pandangan terhadap periwayatan hadits. Semisal bacaan Al Qur’an:
وامسحوا برؤوسِكم وأرجلكم ..
Dan sapulah kepala kalian dan kaki kalian … (Al Ma’idah : 6).
Nafi’ dan Al Kisa’i membacanya dengan
nashab (وأرجلَكم) sedangkan riwayat Al Walid bin Muslim bacaannya rofa’
(وأرجلُكم) ini adalah qira’atnya Al Hasan, adapun qira’atnya Abu ‘Amr,
Ibnu Katsir dan Hamzah dengan khafdl (أرجلِكم). Sehingga bagi yg
membaca nashob maka mereka mengatakan yang wajib dalam wudlu adalah
membasuh, bukan mengusap ini adalah pendapat jumhur, sebaliknya
yang membacanya khofdl menyatakan wajibnya adalah mengusap, bukan
membasuh[3].
Termasuk juga perbedaan bisa terjadi
saat menilai hadits, semisal Imam An Nawawi (w. 676 H), yang menilai
hadits bahwa Rasul saw. tidak meninggalkan qunut shubuh sebagai hadits
shahih (dalam Al Majmu’), sedangkan ahli hadits yang lain
mendlo’ifkannya.
Begitu juga semisal mengusap tangan ke
wajah setelah berdo’a, Ibnu Hajar Al Asqalany menilainya hasan (dalam
Bulughul Maram), sedang ahli hadits yang lain banyak yang
mendlo’ifkannya.
5. Adanya anggapan penghapusan hukum (nasakh) atau ketiadaannya. Seperti:
Aku telah melarang kalian berziarah kubur. (Akan tetapi sekarang) silakan berziarah. (HR. Al Hakim dari Anas).
6. Terlupakan atau tidak
terperhatikannya suatu hadits. Misalnya saat para shahabat mau menuju
syam saat melewati daerah yang diserang wabah tha’un, sebagian ingin
melewati saja dg alasan taqdir Allah, sebagian ingin kembali ke
Madinah, sampai Abdurrahman bin ‘Auf datang dan berkata:
فَإِذَا سَمِعْتُمْ بِهِ بِأَرْضٍ فَلَا تَقْدَمُوا عَلَيْهِ وَإِذَا
وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلَا تَخْرُجُوا فِرَارًا مِنْهُ
Maka itu jika kalian mendengar ada wabah
tersebut (tha’un) di suatu wilayah janganlah kalian memasuki wilayah
tersebut dan jika kalian sedang berada di wilayah yang terkena wabah
tersebut janganlah kalian mengungsi karena lari darinya (HR. Bukhory)
1.2) Sebab Ikhtilaf karena Kaidah-kaidah Ushul
Adalah sulit membatasi sebab-sebab
ikhtilaf dalam hal ini, setiap kaidah ushul yang berbeda bisa
menghasilkan pendapat yang berbeda, bahkan kaidah ushul yang sama pun
bisa menghasilkan pendapat yang berbeda.
Termasuk dalam hal ini adalah memahami
kata perintah dalam suatu dalil apakah perintah tersebut menimbulkan
hukum wajib atau tidak, apakah berlaku mutlaq atau muqayyad (terikat),
dll yang secara luas dibahas dalam ilmu ushulul fiqh.
Sebagai contoh tentang Isbal (memakai kain melebihi mata kaki), Rasulullah bersabda:
ما أسفل من الكعبين من الإزار ففي النار
“Apa yang berada di bawah mata kaki berupa sarung, maka itu tempatnya di neraka.” [Hadits Riwayat Bukhari dalam shahihnya]
Sedang dalam hadits lain beliau saw. bersabda:
مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلاَءَ لَمْ يَنْظُرِ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Siapa yang menyeret pakaiannya karena sombong, Allah tidak akan melihatnya di hari kiamat.” [Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim]
Sebagian ‘ulama memahami bahwa
Isbal mutlaq haram, baik tanpa sombong, apalagi dengan sombong.
Sedangkan mayoritas ‘ulama madzhab Maliki, Syafi’i dan Hanbali
memandang Isbal yang haram hanyalah kalau disertai sikap sombong,
termasuk Ibnu Taymiyyah (w. 728 H) dalam Syarh Al ‘Umdah hal. 366
menyatakan:
ولأن الأحاديث أكثرها مقيدة بالخيلاء فيحمل المطلق عليه وما سوى ذلك فهو باق على الإباحة وأحاديث النهي مبنية على الغالب والمظنة
Dan karena hadits-hadits (tentang isbal)
lebih banyak yang muqayyad (terikat) dengan kesombongan, maka yang
muthlaq itu mengandungnya (muthlaq namun mengandung makna terikat yakni
karena sombong), dan selain hal itu (kalau tidak sombong) maka tetap
hukumnya mubah, dan hadits-hadits yang melarangnya dibangun atas dasar
keumuman (al gholib) dan sangkaan (madzonnah).
Selain itu perbedaan juga bisa terjadi
karena perbedaan memahami fakta, atau salah faham dalam memahami fakta,
atau mendefinisikan sesuatu. Sebagai contoh ada kalangan X yang
menuduh bahwa kalangan Y membolehkan melihat gambar porno karena
kesalahan dalam memahami apa yang dimaksud oleh kalangan Y sebagai
gambar porno.
Misalnya kalangan Y memahami bahwa
melihat aurat secara langsung berbeda hukumnya dengan melihat gambar
aurat karena kaidah “hukum asal benda adalah mubah”, melihat
rambut/leher wanita non mahrom adalah haram, baik tanpa syahwat, apalagi
dengan syahwat.
Namun kalangan Y menjelaskan bahwa
gambar aurat (semisal gambar kartini dalam uang 10 ribuan, yg kelihatan
rambutnya) boleh dilihat, bahkan di simpan karena uang 10 ribuan adalah
benda, bukan aurat wanita.
Adapun dalam kasus gambar – gambar porno
“xxx” berlaku kaidah : “al washilatu ila al haroomi haroomun” yakni
wasilah yang mengantarkan kepada yang haram maka hukumnya adalah haram.
2) Lapangan Ikhtilaf
Ikhtilaf yang dibenarkan syara’ hanya
terjadi pada nash-nash yang memang karakternya mempunyai beberapa makna
(penunjukan maknanya tidak pasti) atau nash-nash yang sumbernya
dipertentangkan (keshahihannya).
Oleh karena itu, perbedaan pendapat
dalam nash-nash yang pasti (qoth’iy) sumber maupun penunjukan maknanya,
maka perbedaan seperti ini tidak dianggap sebagi ikhtilaf, namun lebih
pantas disebut penyimpangan.
3) Ikhtilaf Tidak Ada Lagi Ketika Penguasa Memutuskan
Dalam hal ini ada kaidah yang masyhur:
حكم الحاكم في مسائل الاجتهاد يرفع الخلاف
Ketetapan Al Hâkim dalam masalah ijtihad mengangkat perselisihan.
Khalifah Abu Bakar ra. menetapkan
jatuhnya ucapan talak tiga (dalam satu waktu) tetap sebagai talak satu,
dan kaum muslim pada saat itu mengikutinya. Akan tetapi, ketika Umar
ra. berkuasa, beliau menetapkan hukum yang berbeda dengan menyatakan
ucapan talak tiga (dalam satu waktu) sebagai tiga kali talak, dan kaum
muslimin juga mengikutinya.
4) Menyikapi Ikhtilaf
Dalam menghadapi ikhtilaf, kita dituntut
untuk hanya mengambil satu pendapat diantara pendapat-pendapat
tersebut. Bagi orang yang tidak memenuhi syarat ijtihad, manakah
pendapat yang harus diambil ?
Dalam hal inipun ternyata juga terjadi
ikhtilaf, sebagian ‘ulama Syafi’iyyah dan Hanabilah menyatakan dia boleh
mengambil pendapat mujtahid manapun, sedangkan mayoritas ulama
Syafi’iyyah, Hanafiyyah, Malikiyyah dan Hanabilah menyatakan bahwa ia
harus mencari pendapat yang terkuat (menurutnya).
Juga ada yang lain menyatakan hendaklah
diambil pendapat yg paling berat, ada yg menyatakan paling ringan, ada
yg menyatakan ambil yang paling dia tahu[8]. Imam Al Ghazali
menyatakan: hendaklah ia mengambil pendapat orang yang lebih afdlol
menurutnya, dan yang lebih benar menurut dugaan hatinya.
Setelah ia mantap mengambil pendapat yang dia pilih, maka hendaklah ia
tidak menganggap pendapat mujtahid lain sebagai sesat apalagi kafir,
atau dia menjauhi orang yang tidak sependapat dengannya, atau memutuskan
silah ukhuwwah dengan yang tidak sependapat dengannya.
Contoh dan Tauladan Ulama Salaf:
1. Al-Imam Yahya bin Sa’id Al Anshari
rahimahullah berkata : ”Para ulama adalah orang-orang yang memiliki
kelapangan dada dan keleluasaan sikap, dimana para mufti selalu saja
berbeda pendapat, sehingga (dalam masalah tertentu) ada yang
menghalalkan dan ada yang mengharamkan. Namun toh mereka tidak saling
mencela satu sama lain”. (Tadzkiratul Huffadz : 1/139 dan Jami’ Bayan
al-’Ilmi wa Fadhlih 393).
2. Al-Imam Yunus bin Abdul A’la
Ash-Shadafi rahimahullah (salah seorang murid/sahabat Al-Imam
Asy-Syafi’i rahimahullah) berkata : ” Aku tidak mendapati orang yang
lebih berakal (lebih cerdas) daripada Asy Syafi’i.
Suatu hari pernah aku berdiskusi
(berdebat) dengan beliau, lalu kami berpisah. Setelah itu beliau
menemuiku dan menggandeng tanganku seraya berkata : ” Hai Abu Musa!
Tidakkah sepatutnya kita tetap bersaudara, meskipun kita tidak
sependapat dalam satu masalah pun ? (tentu diantara masalah-masalah
ijtihadiyah) (Siyaru A’lam An-Nubala’ : 10/16-17).
3. Ulama Salaf (salah satunya adalah
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah) berkata, ”Pendapatku, menurutku,
adalah benar, tetapi ada kemungkinan salah. Dan pendapat orang lain,
menurutku, adalah salah, namun ada kemungkinan benar”.
4. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
rahimahullah berkata : ”Seandainya setiap kali dua orang muslim yang
berbeda pendapat dalam suatu masalah itu saling menjauhi dan memusuhi,
niscaya tidak akan tersisa sedikitpun ikatan ukhuwah diantara kaum
muslimin” (Majmu’ Al-Fatawa : 24/173).
5. Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri
rahimahullah berkata,”Dalam masalah-masalah yang diperselisihkan
diantara para ulama fiqih, aku tidak pernah melarang seorang pun
diantara saudara-saudaraku untuk mengambil salah satu pendapat yang
ada” (Al-Faqih wal Mutafaqqih : 2/69).
6. Khalifah Abu Ja’far Al-Manshur
rahimahullah (atau Harun Ar-Rasyid rahimahullah) pernah berazam untuk
menetapkan kitab Al-Muwaththa’ karya Imam Malik sebagai kitab wajib
yang harus diikuti oleh seluruh ummat Islam.
Namun Imam Malik sendiri justeru menolak
hal itu dan meminta agar ummat di setiap wilayah dibiarkan tetap
mengikuti madzhab yang telah lebih dahulu mereka anut” (Jami’ Bayan
al-’Ilmi wa Fadhlih : 209-210, Al-Intiqa’ : 45).
7. Khalifah Harun Ar-Rasyid rahimahullah
berbekam lalu langsung mengimami shalat tanpa berwudhu lagi (mengikuti
fatwa Imam Malik). Dan Imam Abu Yusuf rahimahullah (murid dan sahabat
Abu Hanifah rahimahullah) pun ikut shalat bermakmum di belakang beliau,
padahal berdasarkan madzhab Hanafi, berbekam itu membatalkan wudhu
(Majmu Al-Fatawa : 20/364-366).
8. Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah
termasuk yang berpendapat bahwa berbekam dan mimisan itu membatalkan
wudhu. Namun ketika beliau ditanya oleh seseorang,”Bagaimana jika
seorang imam tidak berwudhu lagi (setelah berbekam atau mimisan),
apakah aku boleh shalat di belakangnya?”
Imam Ahmad pun menjawab,”Subhanallah!
Apakah kamu tidak mau shalat di belakang Imam Sa’id bin Al-Musayyib
rahimahullah dan Imam Malik bin Anas rahimahullah?” (karena beliau
berdualah yang berpendapat bahwa orang yang berbekam dan mimisan tidak
perlu berwudhu lagi) (Majmu’ Al-Fatawa : 20/364-366).
9. Imam Abu Hanifah rahimahullah,
sahabat-sahabat beliau, Imam Syafi’i, dan imam-imam yang lain, yang
berpendapat wajib membaca basmalah sebagai ayat pertama dari surah
Al-Fatihah, biasa shalat bermakmum di belakang imam-imam shalat di Kota
Madinah yang bermadzhab Maliki, padahal imam-imam shalat itu tidak
membaca basmalah sama sekali ketika membaca Al-Fatihah, baik pelan
maupun keras … (lihat: Al-Inshaf lid-Dahlawi : 109).
10. Imam Asy-Syafi’i rahimahullah pernah
shalat shubuh di masjid dekat makam Imam Abu Hanifah rahimahullah dan
tidak melakukan qunut (sebagaimana madzhab beliau), dan itu beliau
lakukan ”hanya” karena ingin menghormati Imam Abu Hanifah. Padahal Imam
Abu Hanifah rahimahullah telah wafat tepat pada tahun Imam Asy-Syafi’i
rahimahullah lahir (lihat: Al-Inshaf : 110).
11. Diceritakan dari Imam Abu Ya’la
Al-Farra’ Al-Hambali rahimahullah bahwa, pernah ada seorang ulama fiqih
yang datang kepada beliau untuk belajar dan membaca kitab fiqih
berdasarkan madzhab Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah. Beliau (Imam
Abu Ya’la rahimahullah) bertanya tentang negeri asalnya, dan iapun
memberi tahukannya kepada beliau.
Maka beliau berkata kepadanya:
Sesungguhnya penduduk negerimu seluruhnya mengikuti madzhab Imam
Asy-Syafi’i rahimahullah, lalu mengapakah engkau meninggalkannya dan
ingin beralih ke madzhab kami ?
Ia menjawab: Saya meninggalkan madzhab
itu karena saya senang dan tertarik denganmu. Selanjutnya Imam Abu
Ya’la rahimahullah berkata: Ini tidak dibenarkan.
Karena jika engkau di negerimu
bermadzhab dengan madzhab Imam Ahmad rahimahullah, sedangkan seluruh
masyarakat di sana mengikuti madzhab Imam Asy-Syafi’i rahimahullah,
maka engkau tidak akan mendapatkan seorangpun yang beribadah (dalam
madzhab Ahmad rahimahullah) bersamamu, dan tidak pula yang belajar
denganmu.
Bahkan sangat boleh jadi justru engkau akan membangkitkan permusuhan dan menimbulkan pertentangan.
Maka statusmu tetap berada dalam madzhab
Asy-Syafi’i rahimahullah seperti penduduk negerimu adalah lebih utama
dan lebih baik (lihat: Al-Muswaddah Fi Ushulil Fiqhi Li Aali Taimiyah
hal. 483).
Dari berbagai sumber
Dari berbagai sumber
0 komentar:
Posting Komentar
WHAT IS YOUR OPINION?