Para Santri Di Mesjid Sri Petaling - Malaysia |
Banyak sekali khobar (hadits) yang menunjukkan keutamaan pakaian putih. Seperti hadits Ahmad dan at-Tirmidzi yang merupakan hadits hasan shohih, an-Nasa’i, Ibnu Majah, dan al-Hakim, dan menshohihkan serta menetapkan hadits tersebut at-Thabrani dalam kitab al-Kabir dari Samurah bin Jundab dan Daruqutny dalam kitab al-Ifrad dari Ibnu Umar, keduanya menganggap hadits marfu’ yang berbunyi “Pakailah oleh kalian pakaian putih karena sesungguhnya pakaian putih itu lebih suci dan nyaman di hati dan kafanilah dengannya orang-orang mati diantara kalian”.
Imam al-Munawi dalam kitab at-Taysir berkata “Pakailah oleh kalian pakaian putih— yakni dahulukanlah pakaian putih (sebagai kesunnahan) dari yang lainnya, baik berupa baju, surban, sarung, rida, sebab sesungguhnya pakaian putih itu lebih suci karena dapat menampakkan apa-apa yang mengenainya, baik berupa najis yang berbentuk ataupun noda. Dan pakaian putih lebih nyaman dihati karena menunjukkan sifat rendah diri, ketenangan, tidak adanya kesombongan dan ujub— dan kafanilah dengannya orang-orang mati diantara kalian”, yakni sebagai sunnah muakkad. Dan dimakruhkan mengkafani mayit dengan selain kain putih.
Diriwayatkan juga dalam kitab al-Jami’ dengan kalimat “Pilihlah pakaian yang putih dan pakailah oleh orang-orang yang hidup diantara kalian dan kafanilah dengannya orang-orang mati diantara kalian, karena pakaian putih itu sebaik-baik pakaian kalian”. Imam Sayuti menisbatkan hadits tersebut kepada imam Ahmad, Nasa’i dan al-Hakim dalam kitab al-Mustadrok dari Samuroh. Dan imam Munawi dalam kitab ad-Di’amah (83) menerangkan bahwa sanad hadits tersebut shohih.
Imam al-Ghozali berkata dalam kitab Ihya
‘Ulumuddin, bahwa pakaian yang paling ia sukai adalah pakaian putih karena
pakaian yang paling disukai Allah adalah putih, dan janganlah memakai pakaian
yang bersifat aneh (nyentrik). Memakai pakaian hitam bukanlah sunnah dan tidak
ada keutamaannya, bahkan sebagian golongan (ulama) memakruhkan melihat pakaian
hitam karena dianggap sebagai bid’ah
yang diada-adakan setelah (sepeninggal) Rasulullah SAW. Al-Ghazali
melanjutkan, bahwa surban pada zaman sekarang tetap disunnahkan.
Ad-Dailamy
meriwayatkan dalam kitab Musnad al-Firdaus dari jabir dan menganggapnya sebagai
hadits marfu’ : “Dua roka’at dengan memakai surban adalah lebih baik daripada
tujuh puluh roka’at tanpa memakai surban”. Imam Munawi berkata dalam kitab
at-Taysir: “Shalat itu seperti menghadap raja, dan masuk kehdapan raja tanpa berhias adalah menyalahi tatakrama”.
Dalam
kitab Dar al-Ghomamah halaman 8 dikatakan : shalat satu roka’at dengan memakai
surban adalah lebih baik daripada tujuh puluh rokaat tanpa surban. Dalam hadits
dikatakan “Sholat sekali dengan memakai surban itu lebih baik daripad tujuh
puluh kali tanpa memakai surban, satu kali sholat jum’t dengan memakai surban
adalah sebanding dengan tujuh puluh jum’at tanpa memakai surban. (ad-Di’amah :
9 dan Jam’us Shoghir juz 2 : 47), dan tidak demikian dalam masalah memakai Thoilasan
(kerudung surban). Dan dapat dibedakan antara surban dan Thoilasan, karena
kesunnahan memakai surban itu suatu yang umum pada asal ketetapannya, dan tidak
dianggap adanya ketidak sesuaian dengan adat istiadat (Tuhfatul Muhtaj juz1 :
493).
Dan
warna surban yang paling utama adalah putih. Hadits shohih yang mengatakan
bahwa Rasulullah memaki surban hitam dan turunnya malaikat pada perang badar
dengan memakai surban kuning adalah peristiwa yang bersifat ihtimal (mengandung
banyak kemungkinan dan penafsiran). Maka keshohihan hadits tersebut tidak
bertentangan dengan keumuman hadits shohih yang memerintahkan memakai surban
putih. Dan sesungguhnya pakaian putih dlah sebaik-baik pakain semaa hidup dan
setelah mati.
Dan
tidak mengapa (diperbolehkan) memakai kopiah yang melekat pada kepala dan
tinggi …….. dan yang lainnya yang dipakai dibawah surban, karena semuanya itu
datang dari Nabi SAW (Tuhfatul Muhtaj juz 1 : 494). Rasulullah SAW bersabda
:”Sholat dengan memakai surban memiliki sepuluh ribu kebaikan” (diriwayatkan
oleh Ad-Dailamy dalam kitb Musnad al-Firdaus) sebagaimana terdapat dlm kitab
Kunuzul Haqoiq juz 2 : 4. dan dalam
hamis kitab Tajrid as-Shorih Liahadits juz 1 : 53, Rasulullah SAW bersabda :”Sholatlah kalian
seperti kalian meliahat aku sholat.
Telah
banyak diriwayatkan dalam hadits-hadits bahwa warna yang paling disukai Allah
adalah putih (Syamail : 120). Dalam kitab Jam’ul Wasail juz 1 : 121 dikatakan
:”Sesunguhnya pakaian yang paling baik ketika menghadap Allah di dalam kubur
kalian dan masjid-masjid kalian adalah yang berwarna putih. Dalam hadits
tersebut mengandung isyarat bahwa seyogyanya bagi manusia kembali (menghadap)
kepad Allah baik yang masih hidup maupun telah mati hendaknya dengan kesucin
yang asli (tauhid) yang diserupakan dengan pakaian putih.
Dan
ketahuilah sesunguhnya kain putih adalah paling utama-utamanya kain kafan
karena sesunguhnya mayit itu berada dihadapan malaikat. Demikian pula pakaian
putih adalah yang paling utama bagi orang yang hendak menghadiri perayaan,
hendak masuk masjid untuk shalat jum’at dan berjamaah dan ketika hendak
berjumpa dengan ulama dan para pembesar. Atas hal itu terdapat penjelasan dalam
hadits Abi Dzar yang diriwayatkan Bukhari Muslim, dimana ia berkata : Saya
menghadap Nabi SAW dan beliau memakai Pakaian putih. Dalam riwayat Syaikhoni
dari Abi Dzar disebutkan : Saya melihat Nabi SAW memakai pakaian putih
(Syamail/Jam’ul Wasail juz 1 : 121 dan Tajrid as-Shorih juz 2 : 132).
Dalam
kitab Ihya Ulumuddin juz 1 : 332 dikatakan bahwa Rasulullah SAW memakai pakaian
seadanya berupa sarung, rida, gamis, jubah atau yang lainnya, dan beliau
menyukai pakaian yang berwarna hijau dan kebanyakan pakaian beliau berwarna
putih. Dan beliau bersabda :”Pakaialah pakaian putih oleh orang-orang hidup
diantara kalian dan kafanilah dengannya orang-orang mati diantara kalian”.
Diriwyatkan dari Abu Hurairah r.a. “Rasulullah memakai jubah”.
Dan
dari Urwah bin Mughirah bin Su’bah dari
ayahnya, berkata : “sesungguhnya Nabi SAW memakai jubah bangsa romawi”--menurut
riwayat Tirmidzi dan Abu Daud, jubah dari bulu dari jubah-jubah bangsa romawi.
Tetai pada kebanyakan riwayat Bukhari Muslim dan lainnya dikatakan “jubah
bangsa Syam” (Jam’ul Wasail : 122). Dinisbatkannya jubah tersebut pada bangsa
Romawi atau bangsa Syam itu karena jubah merupakan pekerjaan/usaha atau pakaian
mereka. (Jam’ul Wasail). Dalam kitab Muattho’ dan Musnad Abi Daud, sesungguhnya
jubah itu (jubah bulu) dipakai ketika Nabi shalat subuh.
Hadits Muslim dari riwayat abbad bin Ziyad dari Urwah bin
mughiroh dari ayahnya berkata : saya berangkat bersama Rasulullah sehingga
menemukan oran-orang yang sedang menjadikan Abdurrohman bin Auf sebagai imam,
maka Nabi pun shalat bersama mereka, dan Nabi SAW mendapatinaya pada rakaat
akhir. Dan ketika Abdurrahman membaca salam, Rasulullah berdiri dan
menyelesaikan shalatnya, dan orang-orang terkejut dengan itu (Rasulullah
bermakmum pada Adurrahman). Pada riwayat lain dikatakan : dan saya hendak
menarik mundur (menjadikan makmum) Abdurrahman dan Nabi SAW bersabda
“biarkanlah seperti itu. Demikian yang dikatakan oleh syeikh Mirok. dikatakan
dalam Jam’ul Masail, dengan demikian dapat diambil kesimpulan dari hadits ini
diperbolehkannya memanfaatkan (memakai) pakaian orang-orang kafir, kecuali
telah nyata najisnya, karena Rasulullah SAW memakai jubah bangsa Romawi dan tidak menelitinya terlebih dahulu
(Jam’ul Wasail juz 1 : 123).
Apa yang dikutip dari Sahabat tentang melonggarkan lengan
baju itu didasarkan atas sangkaan bahwa lafadz “Akmam” adalah jama’ dari
lafadz “Kammun” padahal bukanlah
demikian adanya, tetapi jamak dari lafadz “kummatun” yaitu sesuatu yang
diletakkan diatas kepala, seperti peci. Maka orang yang mengatakan demikan itu
belum pernah mendengar qaul (perkataan) para ulama : termasuk bid’ah yang
tercela melebarkan Kummain, hal itu dimungkinkan jika melebarkannya dengan berlebihan.
Sedangkan yang diriwayatkan oleh sahabat adalah sebaliknya, dan itu cukup jelas
bahkan dapat dipastikan. Dan karena itu, pengarang kitab Nutfi berkata
berdasarkan kitab-kitab para ulama : disunnatkan melebarkan lengan baju
seukuran satu jengkal (Jam’ul Wasail juz 1 : 123).
Pada dasarnya perbuatan dan perilaku Rasulullah SAW adalah
untuk penetapan syari’at dan penjelasannya, selama perbuatan dan perilaku itu
tidak bertentangan dengan dalil yang bertentangan yang menghendaki adanya
kekhususan (Syama’il juz 1 : 123). Tetapi pada umumnya perkara dzohir merupakan
tanda-tanda (ciri) keadaan bathin yang dijadikan patokan bagi sucinya hati dan
ma’rifat kepada Allah dzat yang maha mengetahui alam ghaib. Karena itu
diriwayatkan dalam sebuah riwayat : Sesungguhnya Allah tidak melihat pada
rupa/bentuk, harta kalia, tetapi melihat pada hati-hati kalian. Kesimpulannya,
bahwa keadaan dzohir merupakan ciri (gambaran) dari keadaan bathin, yakni
kebersihan, kesucian dn keindahan dzohir mempunyai pengaruh besar terhadap
masalah bathin (Syama’il juz 1 : 123).
Sumber :
terima kasih telah memuat ini dan mencantumkan sumber penulisnya , silahkan berkunjung ke website resmi munjul pesantren cirebon www.munjulpesantren.org
BalasHapus