1. IDRIS TAWFIQ
Allah menyeru manusia ke Darussalam (surga), dan menunjuki orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus (Islam).” (QS Yunus: 25). Ayat tersebut di atas menjelaskan bahwa Allah SWT akan memberikan hidayah (jalan kebaikan) kepada siapa saja yang dikehendakinya untuk memilih Islam. Tak peduli siapa pun. Baik dia budak, majikan, pejabat, bahkan tokoh agama non-Islam sekalipun.
Ayat tersebut, layak disematkan pada Idris Tawfiq, seorang pastor di Inggris
yang akhirnya menerima Islam. Ia menjadi mualaf setelah mempelajari
Islam dan melihat sikap kelemahlembutan serta kesederhanaan pemeluknya.
Sebelumnya, Idris Tawfiq adalah
seorang pastor gereja Katholik Roma di Inggris. Mulanya, ia memiliki
pandangan negatif terhadap Islam. Baginya saat itu, Islam hanya identik
dengan terorisme, potong tangan, diskriminatif terhadap perempuan, dan
lain sebagainya.
Namun, pandangan itu mulai berubah,
ketika ia melakukan kunjungan ke Mesir. Di negeri Piramida itu, Idris
Tawfiq menyaksikan ketulusan dan kesederhanaan kaum Muslimin dalam
melaksanakan ibadah dan serta keramahan sikap mereka.
Ia melihat, sikap umat Islam ternyata
sangat jauh bertolak belakang dengan pandangan yang ia dapatkan selama
ini di negerinya. Menurutnya, Islam justru sangat lembut, toleran,
sederhanan, ramah, dan memiliki sifat keteladanan yang bisa dijadikan
contoh bagi agama lainnya.
Di Mesir inilah, Tawfiq merasa
mendapatkan kedamaian yang sesungguhnya. Awalnya hanya sebagai pengisi
liburan, menyaksikan Pirmadia, unta, pasir, dan pohon palem. Namun, hal
itu malah membawanya pada Islam dan membuat perubahan besar dalam
hidupnya.
”Awalnya mau berlibur. Saya mengambil
penerbangan carter ke Hurghada. Dari Eropa saya mengunjungi beberapa
pantai. Lalu, saya naik bis pertama ke Kairo, dan saya menghabiskan
waktu yang paling indah dalam hidup saya.”
”Ini adalah kali pertama saya
pengenalan ke umat Islam dan Islam. Saya melihat bagaimana Mesir yang
lemah lembut seperti itu, orang-orang manis, tapi juga sangat kuat,”
terangnya.
”Saya menyaksikan mereka tenang,
lembut, dan tertib dalam beribadah. Begitu ada suara panggilan shalat
(azan–Red), mereka yang sebagian pedagang, segera berkemas dan menuju Masjid. Indah sekali saya melihatnya,” terangnya.
Dari sinilah, pandangan Tawfiq berubah
tentang Islam. ”Waktu itu, seperti warga Inggris lainnya, pengetahuan
saya tentang Islam tak lebih seperti yang saya lihat di TV, memberikan
teror dan melakukan pengeboman. Ternyata, itu bukanlah ajaran Islam.
Hanya oknumnya yang salah dalam memahami Islam,” tegasnya.
Ia pun mempelajari Alquran. Pelajaran
yang didapatkannya adalah keterangan dalam Alquran yang menyatakan: ‘
Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya
terhadap orang beriman adalah orang Yahudi
dan Musyrik. Dan sesungguhnya kamu dapati yang paling dekat
persahabatannya dengan orang beriman adalah orang yang berkata,
”Sesungguhnya kami ini orang Nasrani.” Yang demikian itu disebabkan di
antara mereka itu terdapat pendeta-pendeta dan rahib-rahib, (juga) karena seungguhnya mereka tidak menyombongkan diri.” (Al-Maidah ayat 82).
Ayat ini membuatnya berpikir keras.
Baginya, Islam sangat baik, toleran. Justru, pihak lain yang
memusuhinya. Inilah yang menjadi awal keislaman mantan pastor Inggris
dan akhirnya menerima Islam.
Sepulang dari Mesir, Tawfiq masih
menjadi penganut agama Katholik. Bahkan, ketika dia aktif mengajarkan
pelajaran agama kepada para siswa di sebuah sekolah umum di Inggris, ia diminta mengajarkan pendidikan Studi agama.
”Saya mengajar tentang agama Kristen,
Islam, Yudaisme, Buddha dan lain-lain. Jadi, setiap hari saya harus
membaca tentang agama Islam untuk bisa saya ajarkan pada para siswa.
Dan, di sana banyak terdapat siswa Muslim keturunan Arab. Mereka
memberikan contoh pesahabatan yang baik, bersikap santun dengan teman
lainnya. Dari sini, saya makin intens berhubungan dengan siswa Muslim,”
ujarnya.
Dan selama bulan Ramadhan, kata dia,
dia menyaksikan umat Islam, termasuk para siswanya, berpuasa serta
melaksanakan shalat tarawih bersama-sama. ”Hal itu saya saksikan hampir
sebulan penuh. Dan, lama kelamaan saya belajar dengan mereka, kendati
waktu itu saya belum menjadi Muslim,” papar Tawfiq.
Dari sini kemudian Tawfiq mempelajari
Alquran. Ia membaca ayat-ayat Alquran dari terjemahannya. Dan ketika
membaca ayat 83 surah Al-Maidah, ia pun tertegun.
”Dan apabila mereka mendengarkan apa
yang diturunkan kepada Rasul (Muhammad), kamu lihat mata mereka
mencucurkan air mata disebabkan kebenaran (Alquran).” (Qs.Al-Maidah ayat
83).
Secara tiba-tiba, kata Tawfiq, ia pun
merasakan apa yang disampaikan Alquran. Ia menangis. Namun, hal itu ia
sembunyikan dari pandangan para siswanya. Ia merasa ada sesuatu di balik
ayat tersebut.
Dari sini, Tawfiq makin intensif
mempelajari Islam. Bahkan, ketika terjadi peristiwa 11 September 2001,
dengan dibomnya dua menara kembar World Trade Center (WTC) di Amerika Serikat,
dan ketika banyak orang menyematkan pelakunya kalangan Islam. Ia
menjadi heran. Kendati masih memeluk Kristen Katholik, ia yakin, Islam
tidak seperti itu.
”Awalnya saya sempat takut juga. Saya
khawatir peristiwa serupa terulang di Inggris. Apalagi, orang barat
telah mencap pelakunya adalah orang Islam. Mereka pun mengecamnya dengan
sebutan teroris,” kata Tawfiq.
Namun, Tawfiq yakin, Islam tidak
seperti yang dituduhkan. Apalagi, pengalamannya sewaktu di Mesir, Islam
sangat baik, dan penuh dengan toleransi. Ia pun bertanya-tanya. ”Mengapa
Islam? Mengapa kita menyalahkan Islam sebagai agama teroris. Bagaimana
bila kejadian itu dilakukan oleh orang Kristen? Apakah kemudian Kristen
akan dicap sebagai pihak teroris pula?” Karena itu, ia menilai hal
tersebut hanyalah dilakukan oknum tertentu, bukan ajaran Islam.
Masuk Islam
Dari situ, ia pun mencari jawabannya. Ia berkunjung ke Masjid terbesar di London.
Di sana berbicara dengan Yusuf Islam tentang Islam. Ia pun kemudian
memberanikan diri bertanya pada Yusuf Islam. ”Apa yang akan kamu lakukan
bila menjadi Muslim?”
Yusuf Islam menjawab. ”Seorang Muslim
harus percaya pada satu Tuhan, shalat lima kali sehari, dan berpuasa
selama bulan Ramadhan,” ujar Yusuf.
Tawfiq berkata, ”Semua itu sudah pernah saya lakukan.”
Yusuf berkata, ”Lalu apa yang Anda tunggu?”
Saya katakan, ”Saya masih seorang pemeluk Kristiani.”
Pembicaraan terputus ketika akan
dilaksanakan Shalat Zhuhur. Para jamaah bersiap-siap melaksanakan
shalat. Dan, saat shalat mulai dilaksanakan, saya mundur ke belakang,
dan menunggu hingga selesai shalat.
Namun, di situlah ia mendengar sebuah
suara yang mempertanyakan sikapnya. ”Saya lalu berteriak, kendati dalam
hati. ”Siapa yang mencoba bermain-main dengan saya.”
Namun, suara itu tak saya temukan.
Namun, suara itu mengajak saya untuk berislam. Akhirnya, setelah shalat
selesai dilaksanakan, Tawfiq segera mendatangi Yusuf Islam. Dan, ia
menyatakan ingin masuk Islam di hadapan umum. Ia meminta Yusuf Islam
mengajarkan cara mengucap dua kalimat syahadat.
”Ayshadu an Laa Ilaha Illallah. Wa
Asyhadu Anna Muhammadar Rasulullah.” Saya bersaksi, tidak ada Tuhan
selain Allah dan Muhammad adalah Utusan Allah.
Jamaah pun menyambut dengan gembira. Ia kembali meneteskan air mata, bukan sedih, tapi bahagia.
Ia mantap memilih agama yang dibawa
Nabi Muhammad SAW ini. Dan, ia tidak menyesali telah menjadi
pengikutnya. Berbagai gelar dan penghargaan yang diterimanya dari
gereja, ia tanggalkan.
Seperti diketahui, Idris Tawfiq
memperoleh gelar kesarjanaan dari University of Manchester dalam bidang
sastra, dan gelar uskup dari University of Saint Thomas Aquinas di Roma.
Dengan gelar tersebut, ia mengajarkan pandangan Katholik pada
jemaatnya. Namun, akhirnya ia beralih mengajarkan Islam kepada
masyarakatnya. Selama bertahun-tahun, Tawfiq mengepalai pusat Studi
keagamaan di berbagai sekolah di Inggris dan Wales, sebelum dia masuk
agama Islam.
”Dulu saya senang menjadi imam
(pastor–Red) untuk membantu masyarakat selama beberapa tahun lalu.
Namun, saya merasa ada sesuatu yang tidak nyaman dan kurang tepat. Saya
beruntung, Allah SWT memberikan hidayah pada saya, sehingga saya semakin
mantap dalam memilih Islam. Saya tidak menyesal meninggalkan tugas saya
di gereja. Saya percaya, kejadian (Islamnya–Red) ini, lebih baik
dibandingkan masa lalu saya,” terangnya.
Berdakwah Lewat Lisan dan Tulisan
Ketika ditanyakan pada Idris Tawfiq
tentang perbedaan besar antara Kristen Katholik dan Islam, ia berkata:
”Dasar dari agama Islam adalah Allah. Semua perkara disaksikan Allah,
tak ada yang luput dari perhatian-Nya. Ini berbeda dengan yang saya
dapatkan dari agama sebelumnya. Islam merupakan agama yang
komprehensif.”
Ia menambahkan, Islam mengajarkan
pemeluknya untuk senantiasa beribadah kepada Allah setiap saat. Tak
terbatas hanya pada hari Minggu. Selain itu, kata dia, Islam mengajarkan
umatnya cara menyapa orang lain dengan lembut, bersikap ramah,
mengajarkan adab makan dan minum, memasuki kamar orang lain, cara
bersilaturahim yang baik. ”Tak hanya itu, semua persoalan dibahas dan
diajarkan oleh Islam,” terangnya.
Penceramah dan penulis
Caranya bertutur kata, sikapnya yang
sopan dan santun banyak disukai masyarakat. Gaya berbicaranya yang baik
sangat sederhana dan lemah lembut, menyentuh hati, serta menyebabkan
orang untuk berpikir. Ia pun kini giat berceramah dan menulis buku
tentang keislaman.
Ia memberikan ceramah ke berbagai
tempat dengan satu tujuan, menyebarkan dakwah Islam. Idris Tawfiq
mengatakan, dia bukan sarjana. Namun, ia memiliki cara menjelaskan
tentang Islam dalam hal-hal yang sangat sederhana. Dia memiliki banyak
pengalaman dalam berceramah dan mengenali karakter masyarakat.
Ia juga banyak memberikan bimbingan
dan pelatihan menulis serta berpidato bagi siswa maupun orang dewasa.
Kesempatan ini digunakannya untuk mengajarkan pada orang lain. Termasuk,
menjelaskan Islam pada dunia Barat yang banyak menganut agama
non-Muslim.Idris juga dikenal sebagai penulis. Tulisannya tersebar di berbagai surat kabar, majalah, jurnal, dan website di Inggris Raya. Ia juga menjadi kontributor regional dan Konsultan untuk website www.islamonline.net dan www.readingislam.com . Dia menulis artikel mingguan di Mesir Mail, koran tertua Mesir berbahasa Inggris, dan Sawt Al-Azhar, surat kabar Al-Azhar University. Dia adalah pengarang sejumlah buku. Antara lain, Dari surga yang penuh kenikmatan: sederhana, pengenalan Islam; Berbicara ke Pemuda Muslim; Berbicara ke Mualaf. Selain itu, ia juga menjadi juru bicara umat Islam di Barat. Ia juga banyak berceramah melalui radio dan televisi.
2. Dr Jerald F. Dirks
“Kenangan di awal masa kecil saya adalah mendengar suara lonceng gereja sebagai panggilan misa pada hari Minggu pagi, di sebuah kota kecil dan terpencil tempat saya dibesarkan. Gereja Methodis itu sudah tua, bangunannya terbuat dari kayu, dilengkapi dengan menara yang diatasnya terdapat lonceng gereja. Jaraknya cuma dua blok dari rumah saya. Ketika lonceng gereja berbunyi, kami sekeluarga berangkat ke gereja untuk mengikuti misa setiap hari Minggu pagi,” Dr Jerald F. Dirks mengenang kembali masa kecilnya, mengawali kisahnya sebelum menjadi seorang muslim.
Di tahun 1950-an. gereja menjadi pusat kehidupan warga di kota-kota
terpencil. Sejak kecil sampai kelas delapan, Dirks rutin mengikuti
sekolah Alkitab yang diselenggarakan setiap bulan Juni, selama dua
minggu. Ia juga tetap rajin datang ke gereja untuk mengikuti misa setiap
Minggu pagi, dilanjutkan dengan sekolah Minggu. Dirks kecil
mengumpulkan banyak pin sebagai tanda kerajinannya hadir setiap minggu
dan mendapat sejumlah penghargaan karena mampu menghapal isi Alkitab.
Ketika Dirks duduk di bangku SMP, gereja Menthodis di kota tempatnya tinggal ditutup, sehingga ia dan keluarganya pindah ke gereja Methodis di kota lain yang terdekat. Gereja itu lebih besar sedikit dibandingkan gereja di kotanya. Pada masa itulah, Dirks mulai merasa terpanggil untuk menjadi pastor dan mulai memusatkan perhatiannya untuk mengabdi pada gereja.
Dirks yang mulai berangkat remaja aktif dalam organisasi Methodist Youth Fellowship, yang mengantarnya menjadi salah satu pengurus konferensi dan ketua distrik. “Saya juga menjadi ‘penceramah’ tetap dalam acara tahunan Youth Sunday,” kata Dirks.
Aktivitas khutbahnya mulai menarik perhatian masyarakat luas. Dirks memberikan khutbahnya di berbagai tempat, selain di gereja. Pada usia 17 tahun, ia sudah menjadi mahasiswa di Harvard College. Tekadnya menjadi pastor sudah bulat. Oleh sebab itu, ia juga mendaftarkan diri ke kursus perbandingan agama yang berlangsung selama dua semester. Pengajar kursus itu adalah Wilfred Cantwell Smith, yang memiliki spesifikasi sebagai pakar Islam.
“Selama kursus, saya tidak terlalu perhatian pada Islam dibandingkan perhatian saya pada agama lain, seperti Hindu dan Budha. Kedua agama yang saya sebut terakhir terlihat lebih mempengaruhi batin dan masih asing buat saya,” tutur Dirks.
“Sebaliknya, Islam terlihat mirip dengan agama Kristen yang saya anut. Karenanya, saya tidak terlalu konsentrasi penuh pada Islam. Tapi, saya masih ingat tugas karya tulis tentang konsep wahyu dalam Al-Quran. Untuk memenuhi tuntutan dan standar kursus yang ketat, saya berhasil menemukan sebuah perpustakaan dimana terdapat sekitar 12 buku tentang Islam, yang semuanya ditulis oleh penulis non-Muslim. Saya juga menemukan dua terjemahan berbeda dalam bahasa Inggris tentang arti Al-Quran,” sambung Dirks.
Di Harvard ia dijuluki “Hollis Scholar” karena Dirks menjadi salah satu calon mahasiswa teologi yang selalu diperhitungkan di akademinya. Ia lalu menjadi pastor muda di United Methodist Church, dan tak berapa lama kemudian mendapat lisensi sebagai pastor dari gereja tersebut.
Dirks lulus dari Harvard College tahun 1971. Ia lalu mendaftarkan diri ke Harvard Divinity School dan mendapat gelar Master of Divinity pada tahun 1974, setelah sebelumnya ditahbiskan masuk dalam jajaran kepastorang United Methodist Churc. Selama menyelesaikan pendidikan seminarinya, Dirks juga menyelesaikan program pendidikan untuk menjadi rohaniwan di Rumah Sakit Peter Bent Brigham di Boston. Setelah itu, ia bertugas sebagai pastor di dua gereja United Methodist di daerah terpencil di Kansas, selama beberapa tahun.
Menerima Islam
Dirks mulai berminat pada Islam setelah ia berkenalan dan berinteraksi dengan sejumlah orang Arab Amerika yang kebetulan muslim, untuk keperluan menerjemahkan dokumen-dokumen bahasa Arab, karena pada saat itu Dirks dan istrinya sedang melakukan riset tentang sejarah kuda Arab.
Kontak pertamanya adalah seorang muslim bernama Jamal pada suatu musim panas di tahun 1991. Untuk membantu menerjemahkan dokumen berbahasa Arab, Jamal datang ke rumah Dirks. Sore hari, ketika akan pulang, Jamal meminta izin menggunakan kamar mandi di rumah Dirks untuk berwudu karena sudah tiba waktu salat. Jamal lalu mengambil meminta lembaran koran yang digunakannya sebagai sajadah.
“Tanpa saya sadari, ketika itu Jamal sebenarnya sudah mempraktekkan dakwah. Ia tidak mengomentari fakta bahwa kami non-Muslim, dia tidak ceramah apapun tentang agamanya pada kami. Dia hanya memberi contoh pada kami,” ujar Dirks.
Hampir satu setengah tahun berinteraksi dengan Jamal. Jamal tidak pernah menceritakan apapun tentang Islam atau bertanya tentang agama Dirks. Sebaliknya, Dirks justru mulai belajar dari Jamal, bagaimana ia salat tepat waktu, bagaimana ia berperilaku dalam berbisnis maupun bersosialisasi, dan terutama cara Jamal berinteraksi dengan dua anaknya.
Lewat Jamal, Dirks mulai berkenalan dengan keluarga Arab muslim lainnya. Dirks memperhatikan bagaimana keluarga-keluarga muslim itu menerapkan etika yang menurut Dirks, lebih tinggi dibandingkan etika yang diterapkan oleh keluarga-keluarga Amerika.
Setelah menyaksikan sendiri bagaimana kehidupan keluarga muslim, tahun 1992, Dirks mulai menanyakan pada dirinya sendiri pertanyaan-pertanyaan yang serius, dimanakah ia dan apa yang ia lakukan. Desember 1992, Dirks mengakui bahwa ia tidak menemukan pertentangan antara keyakinan religiusnya dengan ajaran Islam. Dirks merasa siap untuk mengakui bahwa Tuhan itu Esa dan mengakui Nabi Muhammad Saw. Ia menyingkirkan buku-buku tentang Islam yang ditulis penulis non-Muslim dan mulai membaca terjemahan Al-Quran. Tapi ia masih ragu-ragu untuk membuat keputusan.
Bulan Maret 1993, Dirks dan istrinya liburan ke Timur Tengah. Waktu itu bertepatan dengan bulan Ramadan. Ia dan istrinya memutuskan untuk mencoba ikut berpuasa. Dirks bahkan ikut salat dengan teman-teman muslim yang baru ia kenal selama menikmati liburan itu.
Akhirnya, sekembalinya dari Timur Tengah, Dirks dan istrinya memutuskan untuk mengucapkan dua kalimat syahadat. Setelah menjadi muslim, Dirks memperdalam pengetahuannya tentang Islam antara lain di Universitas Islam Imam Muhammad Ibn Saud di Arab Saudi pada tahun 1998. Tahun 1999. Dirks menunaikan ibadah umrah dan haji.
Sekarang, Dirks yang dikenal dengan nama Islam “Abu Yahya” menjadi salah satu cendekiawan muslim yang banyak menulis artikel dan buku tentang keagamaan. Ia juga menjadi memberikan kuliah tentang Islam di beberapa perguruan tinggi di AS, serta aktif dalam organisasi muslim di AS seperti ISNA, ICNA dan MAS.
3. Yulio Muslim da Costa
‘’Man Jadda Wajada.’’ (Barangsiapa bersungguh-sungguh, pastilah ia akan berhasil). Ungkapan seorang bijak yang biasa dihafal kalangan santri itu rupanya benar-benar diamalkan oleh Yulio Muslim da Costa, seorang mualaf asal Tmor Timur. Berkat kesungguhannya, ia mampu menghafal Alquran sebanyak 30 juz.
Sebelum memeluk Islam, ia bernama Yulio da Costa Freitas. Yulio terlahir dari keluarga yang amat sangat sederhana, 33 tahun silam, tepatnya 5 Januari 1977 di dusun Baruwali, Lautem, Timor-Timur. Awalnya, ia adalah seorang penganut agama Katholik yang terbilang aktif dalam aktivitas kegerejaannya.
Selain taat dengan keyakinannya, ia juga dipercaya sebagai pembantu pastor dalam setiap kegiatan rutinitas gereja, terutama dalam setiap acara misa mingguan. Seiring waktu, keimanannya mulai goyah. Setelah tiga tahun membantu pastor di gereja, Yulio mengaku sering mendengar bisikan di antara teman-temannya yang ragu akan kebenaran agama yang dipeluknya.
Terlebih, sanak saudaranya sudah banyak yang memeluk Islam. Hati Yulio pun semakin gundah. Perlahan-lahan keyakinannya terhadap agama Katholik yang dianutnya mulai meluntur. Ia pun mulai melirik agama Islam. Acara siraman rohani agama Islam yang ditayangkan televisi nasional mulai membetot perhatiannya.
Jalan menuju Islam akhirnya terbuka. Suatu hari, Ustaz Zakaria Fernandes, salah satu pamannya yang menjadi dai di Lautem mulai mendekati dan mengajaknya untuk masuk Islam. Yulio pun tertarik dengan ajakan sang paman. Terlebih, dengan masuk Islam, ia memiliki kesempatan untuk bersekolah di pulau Jawa.
Sebelum Yulio mengucapkan dua kalimah syahadat, jumlah pemeluk Islam di kampung halamannya masih bisa dihitung jari. Ia mengaku pernah menyaksikan, perayaan Idul Fitri di kampungnya hanya diikuti tak lebih dari 20 orang. Berjudi, berdansa, meminum sopi (minuman keras), dan memakan daging babi merupakan kebiasaan non-Muslim di kampung halamannya.
Yulio akhirnya hijrah dari tanah kelahiran dan agama yang dulu dianutnya. Ia bersama Ustaz Zakaria berangkat ke kota Dili, ibu kota Timor Leste sekarang. Sebelumnya, mereka sempat singgah di kota Bau Kau. Di kota itulah, Yulio masuk Islam dan mengucap dua kalimah syahadat di depan Ustaz Zakaria.
Peristiwa penting bagi kehidupan Yulio itu terjadi pada 28 Juni 1993, beberapa saat sebelum waktu Maghrib tiba. Sejak itu, ia hanya ingin dipanggil dengan nama Muslim, karena namanya telah berubah dari Yulio da Costa Freitas menjadi Yulio Muslim da Costa.
Setelah menjadi Muslim, ia sempat bertanya kepada sang paman apa yang harus dilakukan di awal keislamannya? Sang paman pun hanya berujar singkat agar Muslim tak terbebani, ‘’Ikuti saja apa pun yang imam lakukan dalam shalat.’’
Sejak saat itu, Muslim selalu mengikuti setiap gerakan yang dilakukan imam, bahkan di saat shalat dan imam selesai dan sang imam berzikir sambil menggerak-gerakkan bibirnya. ‘’Padahal, saat itu saya tak tahu apa yang diikuti itu. Terkadang kalau mengingat kenangan itu, saya selalu menertawakan diri sendiri,’’ tuturnya sembari tersenyum.
Sebelum berangkat ke Pulau Jawa, hampir dua pekan lamanya ia tinggal di Kota Dilli. Muslim mengaku sempat gelisah karena temen-temennya dari Kabupaten Moro mulai berdatangan. Belum ada satupun yang tahu di antara mereka, kalau dirinya telah pindah keyakinan.
Untuk menutupinya, ia berusaha bersikap biasa terhadap mereka. Bahkan karena ajakan temen-temennya, ia sempat tergoda kembali untuk melakukan judi. Satu hari sebelum keberangkatan ke Pulau Jawa pun, ia masih sempat bermain judi di Pasar Bekora, sampai sedikit bekal dari keluarganya pun habis. Akhirnya Muslim pun berbohong, dan mengaku kecopetan.
Kapal Kalimutu membawanya ke Pulau Jawa. Ia lalu tinggal di salah satu Pondok Pesantren Paciran Lamongan Jawa Timur, tempat Ustaz Zakaria pernah menimba ilmu beberapa tahun yang lalu. Di Paciran, Muslim sempat menimba ilmu sambil menunggu jemputan dari Pondok Pesantren Taruna Alquran Yogyakarta pimpinan KH Umar Budihargo.
Setibanya di Pondok Pesantren Taruna Alquran Yogyakarta, Muslim mengisi hari-harinya dengan mempelajari agama Islam. Berbekal semangat tinggi, ia akhirnya mampu membaca tulisan Arab. Hanya dalam hitungan tiga pekan, Muslim sudah menamatkan buku Iqra. Setelah bisa membaca tulisan Arab, sedikit demi sedikit, ia mulai menghafal surat-surat pendek.
Ketekunannya menghafal Alquran berbuah manis. Selama di pesantren itu, ia mampu menghalaf sembilan juz Alquran. Melihat semangat Muslim yang begitu tinggi, KH Umar Budihargo mengirimnya ke salah satu pondok pesantren khusus tahfiz selama enam bulan.
Sekembalinya dari pondok tahfiz, Muslim mengikuti ujian SMP dan dia lulus dengan hasil yang memuaskan. Sering kali dalam shalat-shalat malam, Muslim menangis mensyukuri hidayah Allah. Ia juga kadang sering berdoa meminta kepada Allah agar tetap istiqamah untuk belajar agama Islam lebih mendalam lagi.
Doanya terkabul. Muslim menjadi salah satu santri yang ditunjuk untuk mengikuti tes seleksi melanjutkan studi ke kota Nabi SAW, yaitu Madinah al-Munawarah. Tanpa sengaja, Muslim sempat bertemu dan berbincang-bincang langsung dengan salah satu syekh penguji dari Madinah. Bermodalkan bahasa Arab sebisanya, Muslim memberanikan diri menceritakan sebagian dari kisah hidupnya.
Sang Syekh sangat tertarik dengan cerita kehidupan dan kemualafannya. Ulama dari Madinah itu meminta Muslim untuk membawa ijazah dan ingin mengujinya langsung. Sembari menunggu pengumuman hasil tes penerimaan dari Madihah, KH Umar Budihargo memberi amanah kepada Muslim untuk memegang pondok di Gunung Kidul, Karangmojo, Yogjakarta pada 1997.
Setahun kemudian, pengumuman hasil tes itu keluar. Ia menjadi salah seorang peserta yang terpilih untuk menimba ilmu di kota Madinah. Pada Ramadhan tahun 1999, ia sempat pulang ke Tanah Air. Ia bermaksud untuk mengajak kedua orangtua dan adik-adiknya untuk memeluk Islam.
Saat itu – pascareferendum — keluarganya sedang mengungsi di Kupang, NTT. Muslim pun bertemu dengan keluarganya, dan ia menyampaikan ajakannya itu. Namun, hidayah hanya milik Allah SWT. Saat itu, keluarganya belum merespons dakwahnya untuk memeluk Islam.
Ia akhirnya kembali ke Madinah dengan hati yang sedikit kecewa. Meski begitu, Muslim tak pernah berhenti berdoa agar keluarganya segera dibukakan pintu hatinya untuk menerima Islam. Doanya akhirnya dikabulkan. Pada 2003, keluarganya berkunjung ke Yogyakarta dan pada pertengahan tahu itu pula, kedua orangtua dan empat adiknya bersyahadat dan memeluk Islam.
Yulio Muslim da Costa tak pernah berhenti bersyukur. Hidayah Allah SWT yang menuntunnya menjadi seorang Muslim menjadi berkah bagi kehidupannya. Ia mengaku begitu besar nikmat yang diberikan Sang Khalik kepada dirinya setelah memeluk Islam. Salah satu nikmat yang dirasakannya adalah pemahaman ilmu agama Islam.
Tujuh tahun lamanya Muslim menimba ilmu di kota Rasullullah SAW. Dari 1998 hingga 2005, ia akhirnya menjadi sarjana Syariah. Ilmu itu digunakannya sebagai modal dan bekal dakwah Islam. Bahkan, sampai saat ini ia selalu aktif mengkader anak-anak dari kampungnya untuk disekolahkan di pesantren di daerah Jawa dan sekitarnya dan mengajak orang-orang untuk masuk dalam agama Islam.
Setelah menyelesaikan studinya, Muslim memilih untuk berjuang bersama orang-orang Islam di bumi pertiwi, karena orang-orang Islam Indonesia memiliki semangat juang yang tinggi. Muslim kembali ke Yogyakarta dan dipercaya KH Umar Budihargo untuk memegang Pondok Tahfiz Putra dan Taklim bahasa Arab yang berada di Gunung Sempu, Kasihan, Bantul, DIY.
Lika-liku kehidupannya yang berawal dari nol sampai sekarang telah membuatnya belajar banyak hal. Selama 13 tahun meniti hidup di kota Gudeg, ia selalu dipertemukan Allah SWT dengan kawan-kawan yang berjuang di jalan Allah.
Sampai akhirnya, dengan berniat karena Allah semata, Muslim pun berhijrah dengan mencari suasana baru di kota Bogor, tepatnya Ciawi, beserta keluarga yang selalu mendukung setiap langkah beliau sampai sekarang. Pada 2006, Muslim diberi amanah dan kepercayaan oleh Yayasan Bina Duta Madani untuk memegang Pondok Tahfiz Putra dan Studi Bahasa Arab di Pondok Pesantren Bina Madani Bogor Jawa Barat.
Pesantren ini bertujuan mencetak para hafiz yang mengamalkan dan mendakwahkan ilmunya. Muslim selalu berdoa semoga Allah senantiasa memberikan keistiqamahan dalam agama Islam, dan diberikan sebaik-baik penerus yang bermanfaat. Saat ini, ia telah dikaruniai tiga orang putera, yaitu Yasir Muslim Dacosta, Ayub Muslim Dacosta dan Saad Muslim Dacosta.
4. Jazon Cruz
“Alhamdulillah, saya mendapatkan hidayah Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan masuk Islam sejak tahun 2006,” ujar Jazon Cruz, mengawali pembicaraan.
“Saya sebenarnya agak ragu, ketika diminta berkisah tentang jalan hidup yang saya tempuh, dan bagaimana saya mendapatkan hidayah Allah Subhanahu Wa Ta’ala,” sambungnya.
Wajar saja. Sebab, Cruz tak mau terjebak pada ketenaran semu sebagaimana yang terjadi pada sebagian orang, hanya karena mereka masuk Islam. Ia juga sadar, dirinya memiliki tantangan yang serupa. Apalagi mengingat statusnya sebagai seorang pendeta cukup kenamaan di kotanya.
“Namun, sekali lagi saya katakan, semoga saya tidak terjebak pada sikap riya karena memeluk agama yang dibawa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ini. Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala, menjauhkan sifat itu dari diri saya,” harapnya.
Oleh sebab itu, ketika dimintai laman www.islamreligion.com untuk menuturkan perjalanan hidupnya. Cruz meminta agar penekanan kisah hidupnya fokus pada ‘kerja’ Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang telah memberinya sejumput hidayah. “Sebab, siapa pun takkan mungkin masuk Islam dan tulus mengikuti ajaran Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, jika ia tidak mendapat hidayah Allah Subhanahu Wa Ta’ala,” ujarnya.
Jason Cruz lahir dalam keluarga Katolik Roma yang secara resmi tinggal di New York, AS. Sebenarnya, sang ibulah yang murni Katolik Roma. Sedangkan ayahnya seorang Presbiterian yang ‘terpaksa’ masuk Katolik hanya agar dapat menikahi sang bunda. “Kami selalu ke gereja tiap hari Minggu. Saya juga menjalani katekismus, komuni pertama, dan konfirmasi di Gereja Katolik Roma,” tuturnya.
Ketika masih belia, Cruz sudah merasa mendapat panggilan Tuhan. Panggilan ini ia tafsirkan sebagai panggilan imamat Katolik Roma. Ia pun mengungkapkannya pada sang bunda, “Ibu sangat bahagia mendengarnya, dan langsung mengajak saya untuk bertemu pastor di paroki setempat,” ungkapnya.
Sayangnya, si pastor tak terlalu senang diusik oleh kedatangan mereka. Ia bahkan menyarankan agar si bocah tidak terjun ke dunia imamat. Hal itu membuat Cruz sangat sedih. “Kejadian itu sangat menjengkelkan saya, bahkan hingga hari ini. Saya tak tahu bagaimana kondisinya akan berbeda, jika saja responsnya sedikit positif,” kata dia.
Sejak ditolak memenuhi seruan Tuhan di paroki tersebut, Cruz menjalani kehidupan yang lain; tenggelam dalam dunia malam. Apalagi, tak lama setelah kejadian di paroki, kedua orang tuanya bercerai. Cruz sangat kehilangan sosok ayah yang tak lagi hadir di dekatnya.
Sejak usia 15 tahunan, Cruz mulai lebih tertarik dengan klub malam ketimbang Tuhan.
Usai lulus SMA dengan nilai yang memuaskan, ia pun masuk universitas dengan mudah. Namun, karena targetnya hidupnya yang tak jelas dan tak menentu, Cruz pun drop out (DO) dari bangku kuliah.
Ia kemudian pindah ke Arizona—tempatnya menetap hingga kini—ketimbang menyelesaikan kuliah dan meraih gelar sarjana. “Inilah yang saya sesalkan hingga kini,” ujar Cruz. “Setelah tinggal di Arizona, kehidupannya saya malah jadi kian parah.”
Ia mulai mengenal narkoba dan kian tenggelam dalam dunia malam dan pergaulan bebas. Demi mendapatkan obat-obat terlarang—dengan pendidikan yang pas-pasan, Cruz rela menjalani pekerjaan kasar dan hina. “Kalau tidak begitu, saya tidak dapat menikmati narkoba, pergaulan bebas, dan dunia malam,” ujarnya.
Selama masa-masa kelam ini, Cruz sempat bertemu dan bergaul dengan orang Muslim. Si Muslim rupanya seorang mahasiswa asing yang kuliah di salah satu kampus di Arizona. “Dia mengencani salah seorang teman saya, dan kerap menemani kami ke pesta dan klub-klub malam,” ungkapnya.
Cruz dan si Muslim memang tidak pernah bicara soal agama, apalagi tentang Islam. Namun demikian, ia kerap bertanya tentang ajaran dan budaya Islam kepada si Muslim. Si Muslim dengan senang hati menceramahi Cruz tentang Islam, walau yang bersangkutan tidak menunjukkan diri sebagai Muslim sejati. “Apa yang dia katakan, sangat berbeda dengan apa yang ia lakukan,” kata Cruz.
Gaya hidup Cruz yang buruk berlanjut selama beberapa tahun. Ia pun sempat trauma, karena beberapa orang yang dikenalnya meninggal. Ia juga pernah ditikam dalam sebuah tawuran.
“Yang dapat saya katakan adalah walau bagaimana pun buruknya kondisi yang anda alami, Allah Subhanahu Wa Ta’ala pasti akan membalikkan keadaan anda, insya Allah,” kata dia. Saya segera berubah setelah benar-benar bersih dari narkoba. Salah satu bagian proses menjauhkan diri dari narkoba adalah dengan menjalin hubungan dengan yang Mahakuasa.”
Dalam upaya pencarian akan Tuhan ini, Cruz melewati sejumlah tahapan berliku sebelum mengenal Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Sayang, ia tidak menemukan kebenaran (Allah Subhanahu Wa Ta’ala) pada awalnya. Sebaliknya, ia mencoba mempelajari Hinduisme karena dianggap dapat mengakhiri penderitaan yang ia alami.
Cruz begitu serius mendalami ajaran Hindu. Ia bahkan mengubah namanya dengan nama Hindu.
“Saat itu aku merasa terbebas dari kecanduan obat-obatan. Hidupku lebih positif. Tapi itu tidak bertahan lama, Allah Subhanahu Wa Ta’ala menunjukan padaku bahwa Hindu bukanlah jalan menuju kebenaran hakiki,” kenang dia.
Meninggalkan ajaran Hindu, Cruz kembali pada agama Katolik Roma. Oleh gereja, ia ditawarkan untuk menjadi menetap di sebuah gereja di New Mexico. Bertepatan dengan tawaran itu, keluarganya—Ibu, kakak dan adiknya—memutuskan untuk pindah ke Arizona. Saat itu, ia mulai memiliki hubungan dekat dengan orang banyak.
Cruz pun mulai menjalani program seminari. Bertahun-tahun ia ikuti pogram tersebut sehingga akhirnya berhasil menjadi pastor. Ia ditugaskan gereja untuk mempelajari tradisi agama lain di daerah Metro Phoenix. “Peran baru saya adalah menjalin hubungan antaragama,” kata dia.
Sembari menjalankan tugasnya itu, Cruz juga menyambi sebagai pekerja di Biro Kesehatan Perilaku. Ia kunjungi sejumlah tempat ibadah agama lain, termasuk masjid. Dalam kunjungannya ke masjid, Cruz merasa ada kesempatan emas untuk belajar tentang Islam. Oleh seorang Muslim, ia diminta untuk mendatangi Masjid di Tempe, Arizona.
Sesampainya di masjid itu, Cruz segera membaca buku-buku tentang Islam. Setelah membaca, ia begitu terkejut. “Saya belum tahu, kalau rasa terkejutku itu merupakan bentuk hidayah dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Saya pun kembali mengunjungi masjid itu dan banyak berdialog dengan Imam Ahmad Al-Akoum,” tuturnya.
Al-Akoum, adalah Direktur Regional Masyarakat Muslim Amerika. Ia seorang yang begitu terbuka bagi penganut agama lain untuk berdiskusi tentang Islam. Banyak warga AS yang mencari informasi tentang Islam dari Al-Akoum. “Mengikuti kelas bimbingan Akoum, saya melihat Islam adalah kebenaran hakiki. Beberapa waktu kemudian, saya mengucapkan dua kalimat syahadat di masjid yang sering saya kunjungi, Alhamdulillah,” kata dia.
Menjadi Muslim, Cruz banyak mengalami perubahan. Keluarganya sedih, sebab Cruz memeluk agama yang ditakuti anak-anaknya. Ia pun berusaha memberikan pemahaman yang baik tentang Islam kepada mereka.
Tidak mudah memang bagi Cruz untuk menjalani identitas barunya sebagai Muslim. Ia sempat mengalami stres, lalu memutuskan untuk kembali berdiskusi dengan Al-Akoum tentang masalah yang dialaminya. “Al-Akoum mengatakan padaku bahwa tahun pertama sebagai Muslim tentu merupakan masa yang paling sulit. Ia lalu menyarankan untuk banyak berkomunikasi dengan Muslim lainnya,” kata dia.
Benar saja, saran Al-Akoum itu membuat iman Cruz semakin mantap. Ia mulai mendapatkan pekerjaan, yakni sebagai manajer pada sebuah program pencegahan penyalahgunaan alkohol dan narkoba, serta HIV dan hepatitis untuk populasi berisiko.
Selama itu pula, Cruz mulai menikmati identitasnya sebagai Muslim. Ia sangat aktif menjadi sukarelawan. Bahkan, ia dinominasikan menjadi kepala Dewan Masjid Tempe. “Insya Allah, jika Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengizinkan, saya ingin mendalami ilmu fikih guna memajukan kepentingan Islam dan umat yang saya cintai. Semua ini adalah karunia Allah Subhanahu Wa Ta’ala,” pungkasnya.
5. Gotfridus Goris Seran
Sejak kecil ia sangat suka mendengar lantunan azan. Gotfridus Goris Seran. Begitulah nama asli pria calon pastor asal Kupang tersebut. Ia mengubah namanya dengan mengambil dua nama Nabi dan Rasul sekitar 20 tahun silam, saat ia memeluk agama Islam.
“Saya ingat betul saat itu 29 November 1992, saat saya sedang kuliah pascasarjana di UI Salemba. Teman-teman saya sudah menjadi pastor di Amerika Latin, Afrika, Australia, Jepang, banyak,” ungkap Seran memulai kisahnya menemukan Islam.
Sejak kecil, Seran rupanya telah dipersiapkan oleh orang tuanya untuk menjadi pastor Katolik. Tak heran, ia yang kini merupakan salah seorang pejabat di Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Bogor menempuh pendidikan sekolah dasar hingga menengah atas di seminarium, sekolah pencetak para pastor. “Seminarium itu dalam bahasa familiar mungkin disebut kaderisasi. Kalau di Islam, mungkin seperti pesantren, madrasah,” jelas Seran.
Layaknya pesantren yang mencetak para dai atau ustadz, pendidikan di seminarium membutuhkan waktu empat tahun dengan setahun persiapan. Mata pelajaran umum tetap diajarkan di sekolah khusus ini.
Setiap tahun harus melalui ujian, baik ujian umum maupun ujian agama. Jika lulus dalam ujian agama, lulusannya dianggap faqih dalam agama dan dapat menjadi juru dakwah. Bagi Seran, ujian umum bukanlah perkara sulit. Tetapi, entah mengapa ia tak lulus ujian agama atau yang disebut ujian seminari.
Seran kecil juga sangat menyukai lantunan azan yang disiarkan di radio ataupun televisi. Di daerah asalnya, Timor Timur, atau tempat tinggalnya, Kupang, azan bukanlah sesuatu yang dapat didengar setiap saat.
Hal itu lantaran tak ada masjid di sana. Maka, lantunan azan hanya bisa ia dengar lewat siaran radio ataupun televisi. Ia merasa ada “sesuatu” di balik panggilan shalat itu.
Di sekolah Katolik, Seran mengambil pelajaran Islamologi. Meski saat itu belum berislam, Seran sudah mengenal Islam dari sisi ilmu budaya. Bisa jadi, inilah langkah kecilnya untuk memulai perjalanan panjangnya menuju agama rahmatan lil alamin tersebut.
Meski tak lulus ujian seminari, yayasan Katolik pemilik sekolah seminari memberikan beasiswa sarjana karena melihat kecerdasan Seran. Ia pun melanjutkan pendidikan, tetapi bukan untuk mendalami teologi, melainkan ilmu pemerintahan.
Meraih gelar sarjana, Seran kembali mendapat beasiswa untuk menempuh pendidikan jenjang magister.
“Saya mendaftar S-2 di UI dan UGM. Dua-duanya diterima, tapi saya memilih UI. Padahal, kebanyakan pemuda dari tempat kita memilih UGM. Entah mengapa saya memilih UI. Jika tidak memilih ke Jakarta, mungkin cerita saya akan berbeda,” kata dia.
Sebuah mimpi
Pindah ke Ibukota membentangkan jalan kehidupan baru bagi Seran. Satu hal yang membuatnya girang, ia dapat mendengar azan, lima kali sehari, secara langsung tanpa melalui radio atau televisi.
“Tak tahu mengapa, saya merasa terhanyut sedih setiap mendengar azan. Bahkan, saya sering kali menangis tersedu-sedu sendiri di kamar kos di Salemba saat mendengar azan,” ujarnya tersipu.
Hingga suatu hari, lewat tengah malam, Seran bermimpi. Ia seakan dibawa ke suatu tempat yang sangat gelap, benar-benar gelap hingga tak mampu melihat apa pun. Kemudian, tiba-tiba muncul sebuah titik cahaya dari sebuah tempat.
Cahaya tersebut lambat laun makin besar. Dari cahaya itu, muncul sesosok tubuh berjubah, tetapi tak terlihat rupa wajahnya. Sosok tersebut kemudian berjalan menghampirinya. Sesaat kemudian, Seran terbangun. Ia terdiam dengan perasaan penuh tanya. Mimpi itu terasa sangat nyata bagi Seran. Pagi harinya, Seran menemui ibu kos dan menceritakan mimpinya. Ibu kos yang beragama Islam itu pun menjawab, “Kamu sudah dekat, Nak.”
Seran makin bertanya-tanya, pertanda apakah ini? Apanya yang sudah dekat? Sejak itu, Seran terus memikirkan mimpinya. Ia pun mencoba bertanya kepada sejumlah orang terkait mimpi itu. Akhirnya, Seran meyakini, lokasi munculnya cahaya dalam mimpinya adalah Ka’bah, kiblat umat Islam.
Sebulan setelah mimpi itu, ia pun merasa mantap untuk menjadi Muslim. “Pengalaman mimpi itu, entah apa itu hidayah atau apa, tapi dari situ akhirnya masuk Islam. Hari Minggu tanggal 29, pagi-pagi saya ke Masjid Agung Sunda Kelapa, kemudian membaca syahadat,” ungkapnya.
Seran juga mendapatkan sertifikat, sajadah, Al-Quran, dan buku tuntunan shalat. “Saya ingat betul, warna buku itu putih-ungu. Tapi, saat itu saya nggak bisa baca sama sekali. Setelah itu, saya belajar,” tutur pria murah senyum itu.
Setelah menjadi Muslim, Seran giat mempelajari Islam, cara beribadah, dan mengimani seluruh sendi rukun iman. Pada Maret mendatang, ia berniat mengajak keluarganya beribadah umrah.
Ia ingin melihat langsung Ka’bah yang ada dalam mimpinya. Seperti dalam mimpinya, ia pun ingin melihat Ka’bah dari sebuah bukit. “Saya ingin membuktikan mimpi saya.”
Lapang Dada Hadapi Tantangan
Seusai menempuh pendidikan magister, Seran pulang ke Kupang. Ia berkewajiban mengajar sebagai dosen di kampus Katolik yang telah memberinya beasiswa. Betapa tak enak hatinya saat itu. Keluarga dan pemberi beasiswa tentu berharap banyak darinya, tetapi ia justru pulang sebagai Muslim.
Sejak awal, Seran sudah menyadari bakal menghadapi risiko dan tantangan itu. Maka, ia pun tak merasa gamang. Ia siap menghadapi tantangan demi tantangan dengan lapang dada. Tekadnya semakin bulat kala sebuah mimpi kembali mengisi tidur malamnya. Kali ini, Seran melihat bumi terbelah dua.
Ia berada di satu sisi sementara keluarganya berada di sisi lain. Dari mimpi itu, pahamlah ia bahwa jalannya telah berbeda dengan keluarganya.
Sehari, dua hari, Seran merasa terasing di kampung halamannya. Dalam berkarier, ia pun tak mendapat hak ataupun kesempatan yang sama. Tak jarang orang menganggap Seran memeluk Islam hanya karena sang istri yang ia nikahi tak lama setelah berislam.
Seran membantah tudingan itu. Sebab, ia memeluk Islam dengan tulus, sepenuh jiwa dan raga. “Saya bukan karena mau menikah dengan Muslimah. Kalau masuk Islam karena wanita, itu agama jadi bernilai sangat rendah,” ujarnya.
Bertahan beberapa tahun, ia kemudian merasa jalannya semakin berat. Lagi-lagi, Seran mendapat petunjuk dari mimpi. Ia bermimpi berada dalam kondisi yang menakutkan, gelap, hujan lebat, dan petir yang sambar-menyambar.
Bumi seakan sedang mengalami masa akhirnya, Kiamat. Dalam kondisi yang sangat mencekam itu, Seran melihat asma Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang bercahaya terang.
Ia pun lalu memutuskan untuk meninggalkan Kupang dan kembali ke Jakarta pada 2001. Ia ingin hijrah ke tempat yang lebih baik. Padahal, saat itu, Seran tak memiliki apa pun, baik pekerjaan maupun tempat tinggal di Ibukota.
Ia akhirnya memilih tinggal di Bogor, kota kelahiran sang istri. Berkat pertolongan Allah Subhanahu Wa Ta’ala , Seran segera mendapat pekerjaan. Sekali melamar menjadi dosen di Universitas Djuanda (Unida) Bogor, ia langsung diterima.
Hingga kini, ia masih mengajar di kampus tersebut, selain menjadi kepala sosialisasi di KPU Kabupaten Bogor. Kini, ia hidup bahagia bersama istri dan ketiga anaknya: Ridho Islam Seran, Ilham Islam Seran, dan Riskia Islam Seran.
Mengenai nama anak-anaknya, Seran memang sengaja membubuhkan kata ‘Islam’, lalu diikuti nama keluarga, Seran. “Saya dan istri ingin mereka dikenal sebagai Seran Muslim. Jadi, kalau pergi ke Kupang biar diidentifikasi Islam. Ada Seran yang Muslim,” pungkasnya.
sumber : klik !
Ketika Dirks duduk di bangku SMP, gereja Menthodis di kota tempatnya tinggal ditutup, sehingga ia dan keluarganya pindah ke gereja Methodis di kota lain yang terdekat. Gereja itu lebih besar sedikit dibandingkan gereja di kotanya. Pada masa itulah, Dirks mulai merasa terpanggil untuk menjadi pastor dan mulai memusatkan perhatiannya untuk mengabdi pada gereja.
Dirks yang mulai berangkat remaja aktif dalam organisasi Methodist Youth Fellowship, yang mengantarnya menjadi salah satu pengurus konferensi dan ketua distrik. “Saya juga menjadi ‘penceramah’ tetap dalam acara tahunan Youth Sunday,” kata Dirks.
Aktivitas khutbahnya mulai menarik perhatian masyarakat luas. Dirks memberikan khutbahnya di berbagai tempat, selain di gereja. Pada usia 17 tahun, ia sudah menjadi mahasiswa di Harvard College. Tekadnya menjadi pastor sudah bulat. Oleh sebab itu, ia juga mendaftarkan diri ke kursus perbandingan agama yang berlangsung selama dua semester. Pengajar kursus itu adalah Wilfred Cantwell Smith, yang memiliki spesifikasi sebagai pakar Islam.
“Selama kursus, saya tidak terlalu perhatian pada Islam dibandingkan perhatian saya pada agama lain, seperti Hindu dan Budha. Kedua agama yang saya sebut terakhir terlihat lebih mempengaruhi batin dan masih asing buat saya,” tutur Dirks.
“Sebaliknya, Islam terlihat mirip dengan agama Kristen yang saya anut. Karenanya, saya tidak terlalu konsentrasi penuh pada Islam. Tapi, saya masih ingat tugas karya tulis tentang konsep wahyu dalam Al-Quran. Untuk memenuhi tuntutan dan standar kursus yang ketat, saya berhasil menemukan sebuah perpustakaan dimana terdapat sekitar 12 buku tentang Islam, yang semuanya ditulis oleh penulis non-Muslim. Saya juga menemukan dua terjemahan berbeda dalam bahasa Inggris tentang arti Al-Quran,” sambung Dirks.
Di Harvard ia dijuluki “Hollis Scholar” karena Dirks menjadi salah satu calon mahasiswa teologi yang selalu diperhitungkan di akademinya. Ia lalu menjadi pastor muda di United Methodist Church, dan tak berapa lama kemudian mendapat lisensi sebagai pastor dari gereja tersebut.
Dirks lulus dari Harvard College tahun 1971. Ia lalu mendaftarkan diri ke Harvard Divinity School dan mendapat gelar Master of Divinity pada tahun 1974, setelah sebelumnya ditahbiskan masuk dalam jajaran kepastorang United Methodist Churc. Selama menyelesaikan pendidikan seminarinya, Dirks juga menyelesaikan program pendidikan untuk menjadi rohaniwan di Rumah Sakit Peter Bent Brigham di Boston. Setelah itu, ia bertugas sebagai pastor di dua gereja United Methodist di daerah terpencil di Kansas, selama beberapa tahun.
Menerima Islam
Dirks mulai berminat pada Islam setelah ia berkenalan dan berinteraksi dengan sejumlah orang Arab Amerika yang kebetulan muslim, untuk keperluan menerjemahkan dokumen-dokumen bahasa Arab, karena pada saat itu Dirks dan istrinya sedang melakukan riset tentang sejarah kuda Arab.
Kontak pertamanya adalah seorang muslim bernama Jamal pada suatu musim panas di tahun 1991. Untuk membantu menerjemahkan dokumen berbahasa Arab, Jamal datang ke rumah Dirks. Sore hari, ketika akan pulang, Jamal meminta izin menggunakan kamar mandi di rumah Dirks untuk berwudu karena sudah tiba waktu salat. Jamal lalu mengambil meminta lembaran koran yang digunakannya sebagai sajadah.
“Tanpa saya sadari, ketika itu Jamal sebenarnya sudah mempraktekkan dakwah. Ia tidak mengomentari fakta bahwa kami non-Muslim, dia tidak ceramah apapun tentang agamanya pada kami. Dia hanya memberi contoh pada kami,” ujar Dirks.
Hampir satu setengah tahun berinteraksi dengan Jamal. Jamal tidak pernah menceritakan apapun tentang Islam atau bertanya tentang agama Dirks. Sebaliknya, Dirks justru mulai belajar dari Jamal, bagaimana ia salat tepat waktu, bagaimana ia berperilaku dalam berbisnis maupun bersosialisasi, dan terutama cara Jamal berinteraksi dengan dua anaknya.
Lewat Jamal, Dirks mulai berkenalan dengan keluarga Arab muslim lainnya. Dirks memperhatikan bagaimana keluarga-keluarga muslim itu menerapkan etika yang menurut Dirks, lebih tinggi dibandingkan etika yang diterapkan oleh keluarga-keluarga Amerika.
Setelah menyaksikan sendiri bagaimana kehidupan keluarga muslim, tahun 1992, Dirks mulai menanyakan pada dirinya sendiri pertanyaan-pertanyaan yang serius, dimanakah ia dan apa yang ia lakukan. Desember 1992, Dirks mengakui bahwa ia tidak menemukan pertentangan antara keyakinan religiusnya dengan ajaran Islam. Dirks merasa siap untuk mengakui bahwa Tuhan itu Esa dan mengakui Nabi Muhammad Saw. Ia menyingkirkan buku-buku tentang Islam yang ditulis penulis non-Muslim dan mulai membaca terjemahan Al-Quran. Tapi ia masih ragu-ragu untuk membuat keputusan.
Bulan Maret 1993, Dirks dan istrinya liburan ke Timur Tengah. Waktu itu bertepatan dengan bulan Ramadan. Ia dan istrinya memutuskan untuk mencoba ikut berpuasa. Dirks bahkan ikut salat dengan teman-teman muslim yang baru ia kenal selama menikmati liburan itu.
Akhirnya, sekembalinya dari Timur Tengah, Dirks dan istrinya memutuskan untuk mengucapkan dua kalimat syahadat. Setelah menjadi muslim, Dirks memperdalam pengetahuannya tentang Islam antara lain di Universitas Islam Imam Muhammad Ibn Saud di Arab Saudi pada tahun 1998. Tahun 1999. Dirks menunaikan ibadah umrah dan haji.
Sekarang, Dirks yang dikenal dengan nama Islam “Abu Yahya” menjadi salah satu cendekiawan muslim yang banyak menulis artikel dan buku tentang keagamaan. Ia juga menjadi memberikan kuliah tentang Islam di beberapa perguruan tinggi di AS, serta aktif dalam organisasi muslim di AS seperti ISNA, ICNA dan MAS.
3. Yulio Muslim da Costa
‘’Man Jadda Wajada.’’ (Barangsiapa bersungguh-sungguh, pastilah ia akan berhasil). Ungkapan seorang bijak yang biasa dihafal kalangan santri itu rupanya benar-benar diamalkan oleh Yulio Muslim da Costa, seorang mualaf asal Tmor Timur. Berkat kesungguhannya, ia mampu menghafal Alquran sebanyak 30 juz.
Sebelum memeluk Islam, ia bernama Yulio da Costa Freitas. Yulio terlahir dari keluarga yang amat sangat sederhana, 33 tahun silam, tepatnya 5 Januari 1977 di dusun Baruwali, Lautem, Timor-Timur. Awalnya, ia adalah seorang penganut agama Katholik yang terbilang aktif dalam aktivitas kegerejaannya.
Selain taat dengan keyakinannya, ia juga dipercaya sebagai pembantu pastor dalam setiap kegiatan rutinitas gereja, terutama dalam setiap acara misa mingguan. Seiring waktu, keimanannya mulai goyah. Setelah tiga tahun membantu pastor di gereja, Yulio mengaku sering mendengar bisikan di antara teman-temannya yang ragu akan kebenaran agama yang dipeluknya.
Terlebih, sanak saudaranya sudah banyak yang memeluk Islam. Hati Yulio pun semakin gundah. Perlahan-lahan keyakinannya terhadap agama Katholik yang dianutnya mulai meluntur. Ia pun mulai melirik agama Islam. Acara siraman rohani agama Islam yang ditayangkan televisi nasional mulai membetot perhatiannya.
Jalan menuju Islam akhirnya terbuka. Suatu hari, Ustaz Zakaria Fernandes, salah satu pamannya yang menjadi dai di Lautem mulai mendekati dan mengajaknya untuk masuk Islam. Yulio pun tertarik dengan ajakan sang paman. Terlebih, dengan masuk Islam, ia memiliki kesempatan untuk bersekolah di pulau Jawa.
Sebelum Yulio mengucapkan dua kalimah syahadat, jumlah pemeluk Islam di kampung halamannya masih bisa dihitung jari. Ia mengaku pernah menyaksikan, perayaan Idul Fitri di kampungnya hanya diikuti tak lebih dari 20 orang. Berjudi, berdansa, meminum sopi (minuman keras), dan memakan daging babi merupakan kebiasaan non-Muslim di kampung halamannya.
Yulio akhirnya hijrah dari tanah kelahiran dan agama yang dulu dianutnya. Ia bersama Ustaz Zakaria berangkat ke kota Dili, ibu kota Timor Leste sekarang. Sebelumnya, mereka sempat singgah di kota Bau Kau. Di kota itulah, Yulio masuk Islam dan mengucap dua kalimah syahadat di depan Ustaz Zakaria.
Peristiwa penting bagi kehidupan Yulio itu terjadi pada 28 Juni 1993, beberapa saat sebelum waktu Maghrib tiba. Sejak itu, ia hanya ingin dipanggil dengan nama Muslim, karena namanya telah berubah dari Yulio da Costa Freitas menjadi Yulio Muslim da Costa.
Setelah menjadi Muslim, ia sempat bertanya kepada sang paman apa yang harus dilakukan di awal keislamannya? Sang paman pun hanya berujar singkat agar Muslim tak terbebani, ‘’Ikuti saja apa pun yang imam lakukan dalam shalat.’’
Sejak saat itu, Muslim selalu mengikuti setiap gerakan yang dilakukan imam, bahkan di saat shalat dan imam selesai dan sang imam berzikir sambil menggerak-gerakkan bibirnya. ‘’Padahal, saat itu saya tak tahu apa yang diikuti itu. Terkadang kalau mengingat kenangan itu, saya selalu menertawakan diri sendiri,’’ tuturnya sembari tersenyum.
Sebelum berangkat ke Pulau Jawa, hampir dua pekan lamanya ia tinggal di Kota Dilli. Muslim mengaku sempat gelisah karena temen-temennya dari Kabupaten Moro mulai berdatangan. Belum ada satupun yang tahu di antara mereka, kalau dirinya telah pindah keyakinan.
Untuk menutupinya, ia berusaha bersikap biasa terhadap mereka. Bahkan karena ajakan temen-temennya, ia sempat tergoda kembali untuk melakukan judi. Satu hari sebelum keberangkatan ke Pulau Jawa pun, ia masih sempat bermain judi di Pasar Bekora, sampai sedikit bekal dari keluarganya pun habis. Akhirnya Muslim pun berbohong, dan mengaku kecopetan.
Kapal Kalimutu membawanya ke Pulau Jawa. Ia lalu tinggal di salah satu Pondok Pesantren Paciran Lamongan Jawa Timur, tempat Ustaz Zakaria pernah menimba ilmu beberapa tahun yang lalu. Di Paciran, Muslim sempat menimba ilmu sambil menunggu jemputan dari Pondok Pesantren Taruna Alquran Yogyakarta pimpinan KH Umar Budihargo.
Setibanya di Pondok Pesantren Taruna Alquran Yogyakarta, Muslim mengisi hari-harinya dengan mempelajari agama Islam. Berbekal semangat tinggi, ia akhirnya mampu membaca tulisan Arab. Hanya dalam hitungan tiga pekan, Muslim sudah menamatkan buku Iqra. Setelah bisa membaca tulisan Arab, sedikit demi sedikit, ia mulai menghafal surat-surat pendek.
Ketekunannya menghafal Alquran berbuah manis. Selama di pesantren itu, ia mampu menghalaf sembilan juz Alquran. Melihat semangat Muslim yang begitu tinggi, KH Umar Budihargo mengirimnya ke salah satu pondok pesantren khusus tahfiz selama enam bulan.
Sekembalinya dari pondok tahfiz, Muslim mengikuti ujian SMP dan dia lulus dengan hasil yang memuaskan. Sering kali dalam shalat-shalat malam, Muslim menangis mensyukuri hidayah Allah. Ia juga kadang sering berdoa meminta kepada Allah agar tetap istiqamah untuk belajar agama Islam lebih mendalam lagi.
Doanya terkabul. Muslim menjadi salah satu santri yang ditunjuk untuk mengikuti tes seleksi melanjutkan studi ke kota Nabi SAW, yaitu Madinah al-Munawarah. Tanpa sengaja, Muslim sempat bertemu dan berbincang-bincang langsung dengan salah satu syekh penguji dari Madinah. Bermodalkan bahasa Arab sebisanya, Muslim memberanikan diri menceritakan sebagian dari kisah hidupnya.
Sang Syekh sangat tertarik dengan cerita kehidupan dan kemualafannya. Ulama dari Madinah itu meminta Muslim untuk membawa ijazah dan ingin mengujinya langsung. Sembari menunggu pengumuman hasil tes penerimaan dari Madihah, KH Umar Budihargo memberi amanah kepada Muslim untuk memegang pondok di Gunung Kidul, Karangmojo, Yogjakarta pada 1997.
Setahun kemudian, pengumuman hasil tes itu keluar. Ia menjadi salah seorang peserta yang terpilih untuk menimba ilmu di kota Madinah. Pada Ramadhan tahun 1999, ia sempat pulang ke Tanah Air. Ia bermaksud untuk mengajak kedua orangtua dan adik-adiknya untuk memeluk Islam.
Saat itu – pascareferendum — keluarganya sedang mengungsi di Kupang, NTT. Muslim pun bertemu dengan keluarganya, dan ia menyampaikan ajakannya itu. Namun, hidayah hanya milik Allah SWT. Saat itu, keluarganya belum merespons dakwahnya untuk memeluk Islam.
Ia akhirnya kembali ke Madinah dengan hati yang sedikit kecewa. Meski begitu, Muslim tak pernah berhenti berdoa agar keluarganya segera dibukakan pintu hatinya untuk menerima Islam. Doanya akhirnya dikabulkan. Pada 2003, keluarganya berkunjung ke Yogyakarta dan pada pertengahan tahu itu pula, kedua orangtua dan empat adiknya bersyahadat dan memeluk Islam.
Yulio Muslim da Costa tak pernah berhenti bersyukur. Hidayah Allah SWT yang menuntunnya menjadi seorang Muslim menjadi berkah bagi kehidupannya. Ia mengaku begitu besar nikmat yang diberikan Sang Khalik kepada dirinya setelah memeluk Islam. Salah satu nikmat yang dirasakannya adalah pemahaman ilmu agama Islam.
Tujuh tahun lamanya Muslim menimba ilmu di kota Rasullullah SAW. Dari 1998 hingga 2005, ia akhirnya menjadi sarjana Syariah. Ilmu itu digunakannya sebagai modal dan bekal dakwah Islam. Bahkan, sampai saat ini ia selalu aktif mengkader anak-anak dari kampungnya untuk disekolahkan di pesantren di daerah Jawa dan sekitarnya dan mengajak orang-orang untuk masuk dalam agama Islam.
Setelah menyelesaikan studinya, Muslim memilih untuk berjuang bersama orang-orang Islam di bumi pertiwi, karena orang-orang Islam Indonesia memiliki semangat juang yang tinggi. Muslim kembali ke Yogyakarta dan dipercaya KH Umar Budihargo untuk memegang Pondok Tahfiz Putra dan Taklim bahasa Arab yang berada di Gunung Sempu, Kasihan, Bantul, DIY.
Lika-liku kehidupannya yang berawal dari nol sampai sekarang telah membuatnya belajar banyak hal. Selama 13 tahun meniti hidup di kota Gudeg, ia selalu dipertemukan Allah SWT dengan kawan-kawan yang berjuang di jalan Allah.
Sampai akhirnya, dengan berniat karena Allah semata, Muslim pun berhijrah dengan mencari suasana baru di kota Bogor, tepatnya Ciawi, beserta keluarga yang selalu mendukung setiap langkah beliau sampai sekarang. Pada 2006, Muslim diberi amanah dan kepercayaan oleh Yayasan Bina Duta Madani untuk memegang Pondok Tahfiz Putra dan Studi Bahasa Arab di Pondok Pesantren Bina Madani Bogor Jawa Barat.
Pesantren ini bertujuan mencetak para hafiz yang mengamalkan dan mendakwahkan ilmunya. Muslim selalu berdoa semoga Allah senantiasa memberikan keistiqamahan dalam agama Islam, dan diberikan sebaik-baik penerus yang bermanfaat. Saat ini, ia telah dikaruniai tiga orang putera, yaitu Yasir Muslim Dacosta, Ayub Muslim Dacosta dan Saad Muslim Dacosta.
4. Jazon Cruz
“Alhamdulillah, saya mendapatkan hidayah Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan masuk Islam sejak tahun 2006,” ujar Jazon Cruz, mengawali pembicaraan.
“Saya sebenarnya agak ragu, ketika diminta berkisah tentang jalan hidup yang saya tempuh, dan bagaimana saya mendapatkan hidayah Allah Subhanahu Wa Ta’ala,” sambungnya.
Wajar saja. Sebab, Cruz tak mau terjebak pada ketenaran semu sebagaimana yang terjadi pada sebagian orang, hanya karena mereka masuk Islam. Ia juga sadar, dirinya memiliki tantangan yang serupa. Apalagi mengingat statusnya sebagai seorang pendeta cukup kenamaan di kotanya.
“Namun, sekali lagi saya katakan, semoga saya tidak terjebak pada sikap riya karena memeluk agama yang dibawa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ini. Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala, menjauhkan sifat itu dari diri saya,” harapnya.
Oleh sebab itu, ketika dimintai laman www.islamreligion.com untuk menuturkan perjalanan hidupnya. Cruz meminta agar penekanan kisah hidupnya fokus pada ‘kerja’ Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang telah memberinya sejumput hidayah. “Sebab, siapa pun takkan mungkin masuk Islam dan tulus mengikuti ajaran Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, jika ia tidak mendapat hidayah Allah Subhanahu Wa Ta’ala,” ujarnya.
Jason Cruz lahir dalam keluarga Katolik Roma yang secara resmi tinggal di New York, AS. Sebenarnya, sang ibulah yang murni Katolik Roma. Sedangkan ayahnya seorang Presbiterian yang ‘terpaksa’ masuk Katolik hanya agar dapat menikahi sang bunda. “Kami selalu ke gereja tiap hari Minggu. Saya juga menjalani katekismus, komuni pertama, dan konfirmasi di Gereja Katolik Roma,” tuturnya.
Ketika masih belia, Cruz sudah merasa mendapat panggilan Tuhan. Panggilan ini ia tafsirkan sebagai panggilan imamat Katolik Roma. Ia pun mengungkapkannya pada sang bunda, “Ibu sangat bahagia mendengarnya, dan langsung mengajak saya untuk bertemu pastor di paroki setempat,” ungkapnya.
Sayangnya, si pastor tak terlalu senang diusik oleh kedatangan mereka. Ia bahkan menyarankan agar si bocah tidak terjun ke dunia imamat. Hal itu membuat Cruz sangat sedih. “Kejadian itu sangat menjengkelkan saya, bahkan hingga hari ini. Saya tak tahu bagaimana kondisinya akan berbeda, jika saja responsnya sedikit positif,” kata dia.
Sejak ditolak memenuhi seruan Tuhan di paroki tersebut, Cruz menjalani kehidupan yang lain; tenggelam dalam dunia malam. Apalagi, tak lama setelah kejadian di paroki, kedua orang tuanya bercerai. Cruz sangat kehilangan sosok ayah yang tak lagi hadir di dekatnya.
Sejak usia 15 tahunan, Cruz mulai lebih tertarik dengan klub malam ketimbang Tuhan.
Usai lulus SMA dengan nilai yang memuaskan, ia pun masuk universitas dengan mudah. Namun, karena targetnya hidupnya yang tak jelas dan tak menentu, Cruz pun drop out (DO) dari bangku kuliah.
Ia kemudian pindah ke Arizona—tempatnya menetap hingga kini—ketimbang menyelesaikan kuliah dan meraih gelar sarjana. “Inilah yang saya sesalkan hingga kini,” ujar Cruz. “Setelah tinggal di Arizona, kehidupannya saya malah jadi kian parah.”
Ia mulai mengenal narkoba dan kian tenggelam dalam dunia malam dan pergaulan bebas. Demi mendapatkan obat-obat terlarang—dengan pendidikan yang pas-pasan, Cruz rela menjalani pekerjaan kasar dan hina. “Kalau tidak begitu, saya tidak dapat menikmati narkoba, pergaulan bebas, dan dunia malam,” ujarnya.
Selama masa-masa kelam ini, Cruz sempat bertemu dan bergaul dengan orang Muslim. Si Muslim rupanya seorang mahasiswa asing yang kuliah di salah satu kampus di Arizona. “Dia mengencani salah seorang teman saya, dan kerap menemani kami ke pesta dan klub-klub malam,” ungkapnya.
Cruz dan si Muslim memang tidak pernah bicara soal agama, apalagi tentang Islam. Namun demikian, ia kerap bertanya tentang ajaran dan budaya Islam kepada si Muslim. Si Muslim dengan senang hati menceramahi Cruz tentang Islam, walau yang bersangkutan tidak menunjukkan diri sebagai Muslim sejati. “Apa yang dia katakan, sangat berbeda dengan apa yang ia lakukan,” kata Cruz.
Gaya hidup Cruz yang buruk berlanjut selama beberapa tahun. Ia pun sempat trauma, karena beberapa orang yang dikenalnya meninggal. Ia juga pernah ditikam dalam sebuah tawuran.
“Yang dapat saya katakan adalah walau bagaimana pun buruknya kondisi yang anda alami, Allah Subhanahu Wa Ta’ala pasti akan membalikkan keadaan anda, insya Allah,” kata dia. Saya segera berubah setelah benar-benar bersih dari narkoba. Salah satu bagian proses menjauhkan diri dari narkoba adalah dengan menjalin hubungan dengan yang Mahakuasa.”
Dalam upaya pencarian akan Tuhan ini, Cruz melewati sejumlah tahapan berliku sebelum mengenal Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Sayang, ia tidak menemukan kebenaran (Allah Subhanahu Wa Ta’ala) pada awalnya. Sebaliknya, ia mencoba mempelajari Hinduisme karena dianggap dapat mengakhiri penderitaan yang ia alami.
Cruz begitu serius mendalami ajaran Hindu. Ia bahkan mengubah namanya dengan nama Hindu.
“Saat itu aku merasa terbebas dari kecanduan obat-obatan. Hidupku lebih positif. Tapi itu tidak bertahan lama, Allah Subhanahu Wa Ta’ala menunjukan padaku bahwa Hindu bukanlah jalan menuju kebenaran hakiki,” kenang dia.
Meninggalkan ajaran Hindu, Cruz kembali pada agama Katolik Roma. Oleh gereja, ia ditawarkan untuk menjadi menetap di sebuah gereja di New Mexico. Bertepatan dengan tawaran itu, keluarganya—Ibu, kakak dan adiknya—memutuskan untuk pindah ke Arizona. Saat itu, ia mulai memiliki hubungan dekat dengan orang banyak.
Cruz pun mulai menjalani program seminari. Bertahun-tahun ia ikuti pogram tersebut sehingga akhirnya berhasil menjadi pastor. Ia ditugaskan gereja untuk mempelajari tradisi agama lain di daerah Metro Phoenix. “Peran baru saya adalah menjalin hubungan antaragama,” kata dia.
Sembari menjalankan tugasnya itu, Cruz juga menyambi sebagai pekerja di Biro Kesehatan Perilaku. Ia kunjungi sejumlah tempat ibadah agama lain, termasuk masjid. Dalam kunjungannya ke masjid, Cruz merasa ada kesempatan emas untuk belajar tentang Islam. Oleh seorang Muslim, ia diminta untuk mendatangi Masjid di Tempe, Arizona.
Sesampainya di masjid itu, Cruz segera membaca buku-buku tentang Islam. Setelah membaca, ia begitu terkejut. “Saya belum tahu, kalau rasa terkejutku itu merupakan bentuk hidayah dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Saya pun kembali mengunjungi masjid itu dan banyak berdialog dengan Imam Ahmad Al-Akoum,” tuturnya.
Al-Akoum, adalah Direktur Regional Masyarakat Muslim Amerika. Ia seorang yang begitu terbuka bagi penganut agama lain untuk berdiskusi tentang Islam. Banyak warga AS yang mencari informasi tentang Islam dari Al-Akoum. “Mengikuti kelas bimbingan Akoum, saya melihat Islam adalah kebenaran hakiki. Beberapa waktu kemudian, saya mengucapkan dua kalimat syahadat di masjid yang sering saya kunjungi, Alhamdulillah,” kata dia.
Menjadi Muslim, Cruz banyak mengalami perubahan. Keluarganya sedih, sebab Cruz memeluk agama yang ditakuti anak-anaknya. Ia pun berusaha memberikan pemahaman yang baik tentang Islam kepada mereka.
Tidak mudah memang bagi Cruz untuk menjalani identitas barunya sebagai Muslim. Ia sempat mengalami stres, lalu memutuskan untuk kembali berdiskusi dengan Al-Akoum tentang masalah yang dialaminya. “Al-Akoum mengatakan padaku bahwa tahun pertama sebagai Muslim tentu merupakan masa yang paling sulit. Ia lalu menyarankan untuk banyak berkomunikasi dengan Muslim lainnya,” kata dia.
Benar saja, saran Al-Akoum itu membuat iman Cruz semakin mantap. Ia mulai mendapatkan pekerjaan, yakni sebagai manajer pada sebuah program pencegahan penyalahgunaan alkohol dan narkoba, serta HIV dan hepatitis untuk populasi berisiko.
Selama itu pula, Cruz mulai menikmati identitasnya sebagai Muslim. Ia sangat aktif menjadi sukarelawan. Bahkan, ia dinominasikan menjadi kepala Dewan Masjid Tempe. “Insya Allah, jika Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengizinkan, saya ingin mendalami ilmu fikih guna memajukan kepentingan Islam dan umat yang saya cintai. Semua ini adalah karunia Allah Subhanahu Wa Ta’ala,” pungkasnya.
5. Gotfridus Goris Seran
Sejak kecil ia sangat suka mendengar lantunan azan. Gotfridus Goris Seran. Begitulah nama asli pria calon pastor asal Kupang tersebut. Ia mengubah namanya dengan mengambil dua nama Nabi dan Rasul sekitar 20 tahun silam, saat ia memeluk agama Islam.
“Saya ingat betul saat itu 29 November 1992, saat saya sedang kuliah pascasarjana di UI Salemba. Teman-teman saya sudah menjadi pastor di Amerika Latin, Afrika, Australia, Jepang, banyak,” ungkap Seran memulai kisahnya menemukan Islam.
Sejak kecil, Seran rupanya telah dipersiapkan oleh orang tuanya untuk menjadi pastor Katolik. Tak heran, ia yang kini merupakan salah seorang pejabat di Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Bogor menempuh pendidikan sekolah dasar hingga menengah atas di seminarium, sekolah pencetak para pastor. “Seminarium itu dalam bahasa familiar mungkin disebut kaderisasi. Kalau di Islam, mungkin seperti pesantren, madrasah,” jelas Seran.
Layaknya pesantren yang mencetak para dai atau ustadz, pendidikan di seminarium membutuhkan waktu empat tahun dengan setahun persiapan. Mata pelajaran umum tetap diajarkan di sekolah khusus ini.
Setiap tahun harus melalui ujian, baik ujian umum maupun ujian agama. Jika lulus dalam ujian agama, lulusannya dianggap faqih dalam agama dan dapat menjadi juru dakwah. Bagi Seran, ujian umum bukanlah perkara sulit. Tetapi, entah mengapa ia tak lulus ujian agama atau yang disebut ujian seminari.
Seran kecil juga sangat menyukai lantunan azan yang disiarkan di radio ataupun televisi. Di daerah asalnya, Timor Timur, atau tempat tinggalnya, Kupang, azan bukanlah sesuatu yang dapat didengar setiap saat.
Hal itu lantaran tak ada masjid di sana. Maka, lantunan azan hanya bisa ia dengar lewat siaran radio ataupun televisi. Ia merasa ada “sesuatu” di balik panggilan shalat itu.
Di sekolah Katolik, Seran mengambil pelajaran Islamologi. Meski saat itu belum berislam, Seran sudah mengenal Islam dari sisi ilmu budaya. Bisa jadi, inilah langkah kecilnya untuk memulai perjalanan panjangnya menuju agama rahmatan lil alamin tersebut.
Meski tak lulus ujian seminari, yayasan Katolik pemilik sekolah seminari memberikan beasiswa sarjana karena melihat kecerdasan Seran. Ia pun melanjutkan pendidikan, tetapi bukan untuk mendalami teologi, melainkan ilmu pemerintahan.
Meraih gelar sarjana, Seran kembali mendapat beasiswa untuk menempuh pendidikan jenjang magister.
“Saya mendaftar S-2 di UI dan UGM. Dua-duanya diterima, tapi saya memilih UI. Padahal, kebanyakan pemuda dari tempat kita memilih UGM. Entah mengapa saya memilih UI. Jika tidak memilih ke Jakarta, mungkin cerita saya akan berbeda,” kata dia.
Sebuah mimpi
Pindah ke Ibukota membentangkan jalan kehidupan baru bagi Seran. Satu hal yang membuatnya girang, ia dapat mendengar azan, lima kali sehari, secara langsung tanpa melalui radio atau televisi.
“Tak tahu mengapa, saya merasa terhanyut sedih setiap mendengar azan. Bahkan, saya sering kali menangis tersedu-sedu sendiri di kamar kos di Salemba saat mendengar azan,” ujarnya tersipu.
Hingga suatu hari, lewat tengah malam, Seran bermimpi. Ia seakan dibawa ke suatu tempat yang sangat gelap, benar-benar gelap hingga tak mampu melihat apa pun. Kemudian, tiba-tiba muncul sebuah titik cahaya dari sebuah tempat.
Cahaya tersebut lambat laun makin besar. Dari cahaya itu, muncul sesosok tubuh berjubah, tetapi tak terlihat rupa wajahnya. Sosok tersebut kemudian berjalan menghampirinya. Sesaat kemudian, Seran terbangun. Ia terdiam dengan perasaan penuh tanya. Mimpi itu terasa sangat nyata bagi Seran. Pagi harinya, Seran menemui ibu kos dan menceritakan mimpinya. Ibu kos yang beragama Islam itu pun menjawab, “Kamu sudah dekat, Nak.”
Seran makin bertanya-tanya, pertanda apakah ini? Apanya yang sudah dekat? Sejak itu, Seran terus memikirkan mimpinya. Ia pun mencoba bertanya kepada sejumlah orang terkait mimpi itu. Akhirnya, Seran meyakini, lokasi munculnya cahaya dalam mimpinya adalah Ka’bah, kiblat umat Islam.
Sebulan setelah mimpi itu, ia pun merasa mantap untuk menjadi Muslim. “Pengalaman mimpi itu, entah apa itu hidayah atau apa, tapi dari situ akhirnya masuk Islam. Hari Minggu tanggal 29, pagi-pagi saya ke Masjid Agung Sunda Kelapa, kemudian membaca syahadat,” ungkapnya.
Seran juga mendapatkan sertifikat, sajadah, Al-Quran, dan buku tuntunan shalat. “Saya ingat betul, warna buku itu putih-ungu. Tapi, saat itu saya nggak bisa baca sama sekali. Setelah itu, saya belajar,” tutur pria murah senyum itu.
Setelah menjadi Muslim, Seran giat mempelajari Islam, cara beribadah, dan mengimani seluruh sendi rukun iman. Pada Maret mendatang, ia berniat mengajak keluarganya beribadah umrah.
Ia ingin melihat langsung Ka’bah yang ada dalam mimpinya. Seperti dalam mimpinya, ia pun ingin melihat Ka’bah dari sebuah bukit. “Saya ingin membuktikan mimpi saya.”
Lapang Dada Hadapi Tantangan
Seusai menempuh pendidikan magister, Seran pulang ke Kupang. Ia berkewajiban mengajar sebagai dosen di kampus Katolik yang telah memberinya beasiswa. Betapa tak enak hatinya saat itu. Keluarga dan pemberi beasiswa tentu berharap banyak darinya, tetapi ia justru pulang sebagai Muslim.
Sejak awal, Seran sudah menyadari bakal menghadapi risiko dan tantangan itu. Maka, ia pun tak merasa gamang. Ia siap menghadapi tantangan demi tantangan dengan lapang dada. Tekadnya semakin bulat kala sebuah mimpi kembali mengisi tidur malamnya. Kali ini, Seran melihat bumi terbelah dua.
Ia berada di satu sisi sementara keluarganya berada di sisi lain. Dari mimpi itu, pahamlah ia bahwa jalannya telah berbeda dengan keluarganya.
Sehari, dua hari, Seran merasa terasing di kampung halamannya. Dalam berkarier, ia pun tak mendapat hak ataupun kesempatan yang sama. Tak jarang orang menganggap Seran memeluk Islam hanya karena sang istri yang ia nikahi tak lama setelah berislam.
Seran membantah tudingan itu. Sebab, ia memeluk Islam dengan tulus, sepenuh jiwa dan raga. “Saya bukan karena mau menikah dengan Muslimah. Kalau masuk Islam karena wanita, itu agama jadi bernilai sangat rendah,” ujarnya.
Bertahan beberapa tahun, ia kemudian merasa jalannya semakin berat. Lagi-lagi, Seran mendapat petunjuk dari mimpi. Ia bermimpi berada dalam kondisi yang menakutkan, gelap, hujan lebat, dan petir yang sambar-menyambar.
Bumi seakan sedang mengalami masa akhirnya, Kiamat. Dalam kondisi yang sangat mencekam itu, Seran melihat asma Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang bercahaya terang.
Ia pun lalu memutuskan untuk meninggalkan Kupang dan kembali ke Jakarta pada 2001. Ia ingin hijrah ke tempat yang lebih baik. Padahal, saat itu, Seran tak memiliki apa pun, baik pekerjaan maupun tempat tinggal di Ibukota.
Ia akhirnya memilih tinggal di Bogor, kota kelahiran sang istri. Berkat pertolongan Allah Subhanahu Wa Ta’ala , Seran segera mendapat pekerjaan. Sekali melamar menjadi dosen di Universitas Djuanda (Unida) Bogor, ia langsung diterima.
Hingga kini, ia masih mengajar di kampus tersebut, selain menjadi kepala sosialisasi di KPU Kabupaten Bogor. Kini, ia hidup bahagia bersama istri dan ketiga anaknya: Ridho Islam Seran, Ilham Islam Seran, dan Riskia Islam Seran.
Mengenai nama anak-anaknya, Seran memang sengaja membubuhkan kata ‘Islam’, lalu diikuti nama keluarga, Seran. “Saya dan istri ingin mereka dikenal sebagai Seran Muslim. Jadi, kalau pergi ke Kupang biar diidentifikasi Islam. Ada Seran yang Muslim,” pungkasnya.
sumber : klik !
0 komentar:
Posting Komentar
WHAT IS YOUR OPINION?