30 MALAM MENELUSURI INDIA - PERJALANAN DG. SHALEH KE INDIA (1-4)



Daeng Saleh (kiri) berpose bersama Duta Besar RI Untuk India HM Andi Ghalib (ist)

1. BAGIAN PERTAMA

KALAU anda ditawari perjalanan ke luar negeri, mungkin India menjadi pilihan yang kesekian. Berbeda dengan Ilham Andi Hafid. Baginya India merupakan daerah yang diimpikannya sejak kecil. Tak perlu menunggu tawaran, Ilham yang penyiar radio Makara Palopo, justru bersusah payah mengumpulkan uang untuk biaya ke India. Daeng Saleh atau Don Bachchan, begitu namanya dikenal di Radio tempatnya mengasuh acara Makara Bollywood, akhirnya mewujudkan impiannya berkelana ke India. Sekitar 30 Malam Daeng saleh berada di Negara berpenduduk nomor dua di dunia itu. Berikut laporannya sebagaimana diungkapkan kepada luwuraya.com, dengan gaya bertutur.

MODAL nekad, boleh jadi seperti itu penilaian banyak orang terhadap saya. Dengan tabungan pas-pasan ditambah sumbangan sukarela fans acara yang saya asuh di radio Makara. Akhirnya membulatkan tekad saya untuk ke India.

19 November 2011, Para fans melepas keberangkatan saya ke Makassar. Itu karena segala persiapan termasuk sebelumnya memburu tiket promo dari Asia Air, sudah saya peroleh. 21 November 2011 pertama kali saya menginjakkan kaki di Bandara Internasional Chatrapati Shivaji, Mumbai.

Itu, setelah menempuh perjalanan tujuh jam dari Kualalumpur. Tiba pada pukul 23.30 waktu di jam tangan yang kupakai dari Palopo. Tak pernah kubayangkan, akhirnya aku menjadi salah satu turis dari Indonesia.

Inilah perjalananku yang pertama ke luar negeri. Campur aduk perasaan ini, senang, haru dan tentu saja tetap cemas.Maklum baru kali ini saya meninggalkan negriku tercinta hingga ribuan mil.

Saya mungkin perlu menceritakan sedikit latar belakang kecintaanku terhadap semua hal berbau India. Dimulai sejak dibangku SD, saya selalu menyempatkan nonton Film India. Saya bahkan tak pernah melewatkan satu Film India pun lolos dari tontonanku. Bahkan diantaranya, ada Film yang kotonton hingga beberapa kali, hingga lagu-lagunya kuhafal.

Kebiasaan ini terbawa hingga SMP dan SMA. Dinding kamarku saja berdindingkan koleksi kaset lagu India. Kebanggaanku saat itu, aku sempat korespondensi dengan Amitha Bachan, salah satu aktor tenar India yang kukagumi.

Bahkan begitu fanatisnya saya terhadap hal yang berbau India, ketika remaja saya berobsesi memperistrikan orang India. Dan itu terkabul karena istriku, sekarang ini adalah blasteran India. Begitulah sedikit latar belakang saya terkait kecintaan terhadap India.

Kembali ke perjalanan saya ke India. Setibanya di Bandara, aku pun bergegas mencari hotel terdekat. Tak sulit mencari hotel di Mumbai, apalagi bandaranya berada di pusat kota. Akhirnya saya mendapat hotel yang tarifnya 250 rupee, kalau dirupiahkan, sekitar Rp400 ribu per malam.

Keesokan harinya saya mulai menelusuri Kota Mumbai, hingga ke sudut kotanya. Kesan saya, Kota ini begitu terang benderang bila malam hari. Benar-benar boros cahaya. Maklum, listriknya memakai tenaga Nuklir yang memang murah. Kota ini seolah tak pernah tidur.

Memasuki malam kedua nginap di hotel itu, tidur malam mulai terganggu dengan ketukan di pintu kamar. Rupanya pelakunya adalah PSK yang menawarkan jasa 'selimut malam'. Malam ketiga, masih seperti itu, hingga aku teringat perlakuan kriminal ala film bollywood.

Saya ngeri membayangkan karena boleh jadi PSK menganggap saya sebagai turis yang berduit. Selain ngeri membayangkan prostitusinya, saya juga ngeri membayangkan kejahatan ala mafia yang erat hubungannya dengan prostitusi. Ada satu hal yang saya cemaskan.

Bahasa Inggrisku nihil. Bahasa hindi juga pas-pasan. Terbayang kalau terjadi sesuatu bagaimana saya harus berkomunikasi. Seandainya mau bersabar tiga bulan belajar bahasa Inggris sebelum ke India, mungkin tak perlu secemas ini.

Tak tahan dengan gangguan ketukan pintu itu. Malam itu saya checout meninggalkan di hotelperkampungan di Mumbai bernama Kurla. Dari referensi dari film India, di daerah ini terdapat markas jamaah Tablig.

Bisa disebutkan markas terbesar jamaah tablig di Mumbai. Akhirnya saya memutuskan mencari tempat itu. Masalahnya , saat meninggalkan hotel , waktu menunjukkan pukul 12.00 malam. Saya lalu menumpang bajaj ,salah satu kendaraan khas di sana. Repotnya tidak semua orang di sana mengenal markas jamaah tablig itu.

Termasuk si sopir bajaj. Entahlah, pura-pura tidak tau atau memang tidak tahu. Dalam perjalanan di bajaj itu, rasa curiga saya justru muncul, karena menyodorkan saya rokok untuk saya isap. Bahkan terkesan memaksa untuk mengisap rokok lintingan sebesar tusuk bakso itu.

Lagi-lagi saya teringat di Film India, rokok seperti ini banyak digambarkan dibubuhi obat bius. Jangan-jangan dia berpikir, di tas saya banyak uang, lalu dia berniat memperdaya saya.

Saya mengisap sekenanya, lalu saya biarkan rokok itu mati sendiri. Tentu saja saya tak terpengaruh dengan reaksi rokok itu, karena tidak mengisapnya dengan sungguh-sungguh, hingga turun di tempat tujuan yakni Kurla.

Menelusuri Kurla dengan berjalan kaki mencari masjid yang saya anggap daerah yang aman untuk istirahat. Saat mendatangi dua masjid, ternyata tidak semua jamaah masjid mau menerima saya menginap. Boleh jadi penjaga masjid curiga. Saya malah diusir, dia mangumpat dalam bahasa setempat, saya dianggap orang gila.

Pukul 01.00 dinihari, mata seolah tak mau kompromi. Tapi saya masih melawan rasa ngantuk itu. Saya berjalan beratus meter karena bajaj sudah tidak ada. Saya sempat mau mencari hotel lain untuk menginap.

Bahkan, saya memutuskan untuk tidur di emper toko saja. Sayangnya, keadaan tidak memungkinkan karena emper toko sudah dijejali para gelandangan dan kawanan anjing. Dalam kegalauan itu, ada sekelompok anak muda yang begadang sambil bernyanyi dan bermain gitar.

Saya mendekati dan bergabung. Beberapa saat kemudian saya ikut bernyanyi bersama mereka. Mereka terlihat sangat kagum dengan kemampuan saya menyanyikan sejumlah lagu India. Singkatnya, saya larut dengan mereka dan bernyanyi bersama. Mereka terkagum-kagum karena semua lagu yang diperdengarkan lewat HPnya, kulalap habis.

Hingga mereka menyuguhkan saya minuman keras. Mungkin sejenis tuak India. Saya hanya mencicipinya sedikit, karena kuatir mereka tersinggung. Saya diperlakukan sedikit istimewa berkat menguasai lagu-lagu mereka.

Dari kekaguman itu lalu terjadi komunikasi, dan bertanya hendak kemana. Salah seorang dari mereka yang dipanggil Caca (orang yang dituakan) juga menanyakan hal itu. Saya lalu menceritakan bahwa tujuan saya ke Masjid tempat jamaah tablig berkumpul. Caca lalu menawarkan diri untuk mengantarkan saya ke Masjid Kurla dimaksud.

Saya lalu membonceng di sepeda motornya. Tak begitu lama di depan terlihat ada masjid yang di halamannya ada kolam, saya menjadi lega. karena saya merasa tak salah lagi. Inilah Masjid yang saya maksud.

Saya pun lalu berwudhu, lalu shalat dua rakaat sebagai rasa syukur saya sudah selamat berada di tempat yang benar. Namun, tak berapa lama seorang jamaah yang mungkin baru saja menunaikan shalat malam dan menyapa saya.

“Khon hai” dalam bahasa India berarti siapa kau? komunikasi pun bersambut karena saya menjelaskan bahwa saya turis dari Indonesia mau menginap semalam, dan berjanji meninggalkan Masjid itu keesokan harinya. Saya pun diizinkan, dengan catatan saya hanya boleh menginap malam itu saja.

Lalu saya pun dipersilahkan ke lantai dua masjid itu. Setelah shalat subuh, ternyata jamaah setempat memusyawarahkan saya. Kemudian saya diwawancarai. Saya pun menceritakan bahwa saya sebenarnya turis bermaksud mengunjungi tempat tempat wisata di India tetapi entah mengapa saya terpanggil juga untuk mengunjungi markas tablig di Nizamudin, Newdelhi.

Mereka antusias mendengar penjelasan saya, mereka seperti tergugah dan akhirnya diputuskan seorang dari jamaah ditugasi mengurusi tiket saya untuk berangkat ke New Delhi. Alhamdulillah, semua kebutuhan seperti pakaian dan tiket difasilitasi oleh jamaah tersebut.

2. BAGIAN KEDUA

DARI stasiun kereta di Mumbai, saya bergegas naik kereta yang akan membawa saya menuju New Delhi. Beruntung saya tidak berdesakan-desakan di gerbong kereta api. Karena mendapat tempat di kabin ber AC. Harga tiket seharga RS1.500 (1.500 Rupee) kalau dikurs RS1 sama dengan Rp220.

Perjalanan panjang dan sangat melelahkan karena Mumbai ke New Delhi ditempuh sekitar 20 jam. Bayangkan berangkat pukul 16.00 sore, tiba pukul 13.00 siang. Meski demikian, suasana suntuk tersebut sedikit terimbangi, karena di atas kereta ternyata masih punya sisi menyenangkan.

Dalam ruangan saya, terdiri dari tiga pasang ranjang, masing-masing berlantai tiga. Pas di depan saya, ada ibu satu anak, tapi berpenampilan seperti cewek. Lagi-lagi mengingatkan saya pada film India, khususnya pada Rakhee, salah satu artis India yang rupawan.

Dengan ibu inilah saya berbincang sedikit-sedikit, khususnya tentang film dan lagu India. Suasana pembicaraan sangat cair dan nyambung. Terlebih putra ibu itu yang berusia enam tahun, sangat akrab dengan saya. Itu karena fasilitas samsung galaxi tab milik saya, berisi ratusan lagu India, juga berisi beragam game, yang sudah pasti disenangi anak-anak. Komputer tablet inilah yang setia menemaniku, mungkin masih tergolong barang sangat mewah di sana. Sekitar inilah yang menjadi topik perbincangan selama perjalanan.

Namun demikian, saya bertekad tetap harus shalat, meski hanya beralaskan koran. Rupanya ini menarik perhatian penumpang yang berada dalam kabin yang umumnya beragama hindu. Puluhan stasiun kereta dilewati menjadi pemandangan tersendiri. Hanya saja esoknya pada pukul 5 pagi, pemandangan di luar sudah tak bisa dinikmati. Pemandangan di luar tertutup kabut tebal karena cuaca memang sangat dingin.

Akhirnya bangunan bangunan tinggi menjulang sudah mulai tampak. Saya berpikir mungkin inilah New Delhi. Dan ternyata benar inilah New Delhi yang sering menjadi lokasi shooting untuk produksi film. Saya turun di stasiun, kita harus melewati jembatan penyeberangan yang di bawahnya berjejer kereta api.

Setibanya di luar stasiun, berbagai tawaran dari sopir kendaraan umum berbagai model. Mulai taxi hingga bajaj berargo. Tapi saya memilih kendaraan yang unik yakni, Rikshaw, sejenis kendaraan becak. Modelnya unik karena di depannya berwujud sepeda, namun penumpangnya duduk di bak belakang.

Kendaraan inilah yang mengatarkan saya ke markas tablig di Nizamudin sekitar 20-an kilometer jaraknya. Nizamudin adalah salah satu nama ulama besar di India yang sangat terkenal, dialah tokoh Islam yang turut memajukan peradaban Islam di sana.

Berkat jasanya itu, nama ulama besar ini, selain diabadikan menjadi nama monument serta nama stasiun kereta. Di Nizamudin ini, merupakan daerah berkumpulnya para turis dari berbagai negara. Hal ini karena banyaknya bangunan bersejarah Islam.

Di Nizamudin ini saya mendengar informasi tentang pemahaman yang keliru yang muncul di Indonesia terhadap jamaah tablig di Nizamudin. Misalnya disebutkan ada masjid yang di dalamnya ada kuburan para ulama Islam yang disembah oleh jamaah tablig yang berkunjung ke sana. Padahal sebenarnya, areal Masjid Nizamudin terpisah dengan markas jamaah tablig.

Markas jamaah tablig itu sendiri berlantai enam. Markas inilah yang menjadi tujuan jamaah tablig dari seluruh dunia. Yang mengherankan, tidak diketahui dari mana pasokan makanan untuk ribuan orang yang memadati markas itu setiap harinya. Siapa pemasoknya dan bagaimana pendistribusiannya, hingga markas itu berlimpah makanan dan minuman dan beraneka buah-buahan.

Akhirnya saya masuk ke markas jamaah tablig, sekitar pukul 14.30. Saya disambut oleh Istiqbal (piket). Saya lalu ditanya; kamu siapa? dan dari mana? Dan rombongan kamu mana?. Maklum yang datang ke sana lazimnya berombongan. Paling sedikit 15 orang. Sementara saya hanya sendiri. Lalu saya jawab dalam bahasa urdu “mein turist from Indonesia, jamaah tablig nahin or me akela,” artinya saya turis dari Indonesia, saya bukan bersama jamaah. Tapi saya seorang diri.

Mendengar penjelasan saya, piket seperti terkejut dan sangat gembira. Saya langsung dirangkul dan semua tas bawaan saya diambilnya untuk dibawa. Bukan hanya itu, saya juga digendong ke atas lantai 3, yang selama ini dikenal sebagai tempat jamaah yang berasal dari Indonesia.

Sesampainya di atas, saya disambut oleh seorang Kiyai dari Jakarta, bernama KH.Drs Jafar. Saya langsung dipeluk, lalu disuguhi berbagai macam buah-buahan. Tak hanya itu saya juga dipijit dan dikipas. Benar-benar diperlakukan sebagaimana layaknya tamu agung.

Belakangan saya ketahui, tamu yang diperlakukan seperti itu karena dianggap sebagai tamu Allah. Mereka menolak mengatakan saya turis melainkan tamu Allah.

Yang menarik buat saya, jamaah setempat menginformasikan bahwa kedatangan saya ini, disebarkan untuk diketahui jamaah tablig lainnya yang berasal dari beberapa negara yakni di Bangladesh, Pakistan hingga ke Jakarta. Ada rasa bangga dalam diri saya. Begitu istimewanya kedatangan saya di markas tablig tersebut.

Selanjutnya kepada Kiyai Jafar, saya sampaikan juga keinginan saya untuk mengunjungi Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di New Delhi. Pak Kiyai yang pernah mengisi acara di stasiun TV Indosiar sebelum diasuh Ibu Dede, mengatakan dirinya cukup sering berceramah di KBRI dan berjanji membawa saya ke sana, keesokan harinya. Karena katanya pada hari Jumat besok itu, Kiyai akan bertindak selaku khatib pada shalat jumat di musallah KBRI itu.

Keesokan harinya, sekitar jam 9 pagi, saya dengan pak kiyai berangkat menuju KBRI. Setibanya di KBRI langsung menuju ke mushallah sambil bercerita dengan Dubes RI untuk India HM Ghalib. Setelah menunaikan shalat jumat, kami menuju ke dalam rumahnya yang hanya berjarak 100 meter dari mushallah. Saya kagum dengan pemandangan di kawasan KBRI yang begitu megah. Informasi yang saya dapat, KBRI ini memang sumbangan dari pemerintah India kepada Presiden RI pertama, Soekarno.

Kepada pak Ghalib, pembicaraan tidak terlalu banyak, sebab pak Ghalib tiba-tiba akan menuju ke luar kota, saya hanya menyampaikan maksud saya datang ke India, dan dia paham. Kepadanya, saya membuat janji pertemuan 25 hari ke depan dan diberikan kartu namanya. Saya pun lantas kembali ke markas Nizamudin.

Disini saya Tertasqyl (terpanggil,red) kemudian bergabung dengan jamaah tabligh yang lain untuk keluar berdakwah. Akhirnya, saya ikut dengan rombongan jamaah menuju ke Distrik Karnataka, daerah selatan India yang berjarak dua hari perjalanan dengan menggunakan kereta atau sekitar 2.800 kilometer dari New Delhi.

Pemandangan Karnataka cukup mengagumkan. Sekitar 100 km memasuki daerah ini, saya meliat gunung-gunung batu yang berbentuk aneh menjulang sepanjang jalan. Pemandangan ini persis dengan yang saya pernah lihat di film-film india, salah satunya yang berjudul ‘Sholay’ yang dibintangi oleh Dharmendra, Amitabh Bachchan, dan Gabbar Singh.

Menariknya lagi, daerah Karnataka ini termasuk daerah tandus. Kemarau panjang juga terlihat menjadi suasana lumrah di daerah ini, namun pertanian di Karnataka cukup subur. Tanaman gandum tumbuh subur dan hijau.

Di sekitar persawahan di Karnataka, juga kadang terlihat adanya bagunan megah diantara gubuk-gubuk kecil, inilah rumah dari Shimmedar atau biasa disebut sebagai ‘Tuan Takur’. Shimmedar ini berarti orang yang memiliki lahan dan menjadi tuan dari persawahan tersebut.

Di Rayadurg, Karnataka, kami tiba pukul 10.00 pagi, dan disambut antusias oleh jamaah setempat. Rombongan kami terdiri dari berbagai suku di Indonesia dan dipimpin oleh seorang amir yang berasal dari Bombay. Seperti jamaah lainnnya, kami tinggal dari masjid ke masjid. Hal ini sebenarnya meneladani sikap Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya yang melaksanakan syiar dari masjid ke masjid.

Di India sangat berbeda dengan Negara lainnya seperti Indonesia. Dimana semua binatang sangat dimuliakan. Hewan ternak dilepas bebas seperti sapi, babi, kambing , monyet, anjing dll dilepas berbaur. Dan ini menjadi pemandangan biasa.

Ciri khas India lainnya adalah burung gagak yang terbang menghiasi angkasa daerah tersebut. Penduduk India Selatan, umumnya berkulit hitam pekat. Umumnya mereka bermata pencaharian sebagai petani dan peternak. Tak heran di daerah ini banyak sekali kambing berseliweran. Hampir setiap rumah memelihara kambing atau sapi. Susu menjadi konsumsi utama. Saya bahkan dalam sehari meneguk susu sebanyak 20 gelas per hari di masjid. Gelasnya memang berukuran kecil terbuat dari stainless. Saya justru tak pernah melihat gelas dari kaca di daerah itu.(bersambung)


3. BAGIAN KETIGA


Setelah melalui wisata religi yang saya jalani selama 20 hari bersama jamaah Tablig di India dengan mengunjungi Distrik Karnataka, saya kembali kepada tujuan awal saya, yakni mengidam-idamkan bertemu dengan artis India. Atas tekad itu, ketika kembali Markas Nizamuddin di New Delhi, 21 Desember 2011, tepatnya disaat usai sholat subuh, saya sempat berdoa, agar diberikan jalan untuk bertemu kembali dengan Dubes RI untuk India Andi Muhammad Ghalib.

Sepertinya doaku terkabulkan, saat pagi akan sarapan dan mau mencari Chae (Teh india yang dicampur susu), tiba-tiba ponsel saya berdering dan tertulis disitu nama A Ghalib. Seakan tidak percaya, saya menerima telepon tersebut dan berbicara dengan Kedubes RI itu.Dalam pembicaraan singkat melalui telepon itu, pak Ghalib sempat menanyakan kabar saya, dan meminta agar saya datang ke rumahnya.

Alangkah senangnya hati saya, usai menerima telepon saya langsung sujud syukur dan cepat-cepat mandi dan bergegas ke rumah Andi Ghalib dengan mengendarai bajaj.Tepat pukul 10.00 saya tiba di KBRI itu untuk kedua kalinya.Saat itu, suasana di KBRI begitu ramai, tampak beberapa petugas tengah mempersiapkan sebuah acara. Ya, hari itu memang akan dilaksanakan acara silaturahmi terkait kunjungan sejumlah anggota DPR RI, rencananya akan dilaksanakan malam hari.

Sekitar pukul 10.30, rombongan anggota DPR RI itu tiba di rumah Kedubes RI, dan dilanjutkan dengan makan siang. Saya sempat diajak ngobrol sejumlah tamu tersebut, namun sangat singat, sebab rombongan anggota DPR RI itu akan mengunjungi sejumlah tempat di New Delhi. Saya pun turut diajak, namun saya tolak, dengan alasan ingin mengobrol lebih lama dengan pak Ghalib.

Seperti paham dengan maksud saya, setelah rombongan anggota DPR RI pergi, pak Ghalib kemudian memanggil Minister Counsellor dari Kedubes RI di India, Hendra Henny Andries, atau biasa disapa dengan nama Ibu Henny. Pak Ghalib meminta Ibu Henny ini untuk menemani saya jalan-jalan keliling New Delhi.

“Sekarang ini pak Ilham maunya apa?” Ibu Henny bertanya kepada saya saat akan berangkat meninggalkan rumah Kedubes RI. Saya jawab jika tujuan saya India mau ketemu dengan beberapa artis India.

“Wah disini itu gak ada artis pak, artis India itu ada di Bollywood, Mumbay, bagaimana kalau bapak saya ajak ke Studio televise saja untuk diwawancarai?”

Tadinya saya berpikir ibu Henny ini hanya bercanda, sebab mana mungkin ada stasiun televisi yang mau mewawancarai saya, tapi ternyata ibu Henny tidak main-main rupanya. Dia langsung menelpon kru salah satu stasiun televisi setempat dan mengajak saya ke sana.

Stasiun televisi ini bernama AAJ TAK atau TV Today.Biasa saya liat siaran televisi ini di Indonesia melalui parabola.Dilantai dua kami sudah di sambut Deputy Editor TV Today, Ritual Joshi.Ritual Joshi ini juga seorang pembaca berita di stasiun televisi tersebut.Setelah sempat diajak melihat-lihat rumah produksinya, saya kemudian diajak ke studio untuk sesi wawancara.

Disitu, saya duduk satu meja dengan ibu Henny yang bertindak sebagai penerjemah dan Ritual Joshi sebagai presenternya.Hati saya sangat senang, sebab meski mimpi saya untuk bertemu artis belum terkabul, tetapi saya sudah bisa muncul di televisi India.

Usai sesi wawancara, kami tidak berlama-lama di situ, sebab saya diajak oleh Ibu Henny untuk menuju ke Stasiun Radio yang masih satu gedung dengan TV Today.Stasiun radio itu bernama OYE Radio, salah satu saluran radio untuk segmen anak muda.

Disini, saya diajak masuk ke ruang siar OYE Radio. Rasa kagumku kembali kumat, sebab suasana di dalam ruang siar itu sangat jauh berbeda dengan ruang siar yang biasa saya tempati di Radio Makara FM. OYE Radio ini seperti Radio Prambors yang kerap memutar lagu-lagu anak muda, seperti Remix Bollywood.

Di dalam ruang siar, saya kemudian disambut oleh beberapa kru OYE Radio.Ibu Henny sempat bercerita sesaat dengan kru yang ada, semetara saya sibuk merekam suasana sekitar ruang siar dengan kamera computer tablet milik saya. (Bisa dilihat videonya disini)

Saya sempat ‘diuji’ oleh beberapa kru yang ingin mengetes kemampuan saya menyanyikan lagu India, dan seperti biasa, saya melahap habis semua lagu yang di request.Sayangnya, saya tidak bisa berlama-lama di stasiun OYE Radio ini, sebab waktu sudah menunjukkan pukul 17.00.

Ibu Henny mengajak saya untuk kembali ke KBRI untuk persiapan acara sebentar malam. Sebab pada acara itu, saya diminta oleh pak Ghalib untuk membawa dua lagu india di hadapan para anggota DPR RI saat acara ramah tamah. Padahal, andaikan tidak kemalaman, saya barangkali akan lanjut ke Kantor Redaksi Koran Hindustan Times.

Tepat jam 20.00 tamu-tamu sudah mulai datang, acaranya bertempat di ruang aula lantai dua Kantor KBRI. Suasana dalam ruangan itu dibuat mewah, lengkap dengan penataan Band dan dimainkan oleh pegawai KBRI.

Semua sekedar saya tambahkan, bahwa semua supir di KBRI senang sama saya, karena setiap saya bergabung dengan mereka semua, saya diajak bernyanyi dan kami semua berjoget.

Pukul 20.30 acara sudah di mulai.Tampak tamu undangan anggota DPR RI, menteri dan pelajar Indonesia yang ada di India.

Tepat jam 21.30, saat sesi istirahat, saya kemudian diminta untuk bernyanyi. Saya kemudian memilih dua lagu yakni Mere Naina Sawaan Badhon, dan Rothe Hue.Hampir semua orang bertepuk tangan dan ikut bersorak disaat saya bernyanyi, padahal suara saya membawakan lagu pasti sangat jauh dari penyanyi aslinya.Saya berada dipanggung cukup lama, sebab saya juga sempat bercertia tujuan saya datang ke India dan pengalaman saya selama 20 hari di India Selatan.

4. BAGIAN 4

KEHIDUPAN DI India yang sesungguhnya tak seperti yang selalu digambarkan di film-film yang bergelimang kemewahan. Kalau diprosentase, masyarakatnya lebih banyak yang miskin. Meski demikian, menurut informasi delapan orang terkaya di dunia ada di India.

Ini bisa berarti, kalau ada orang India yang kaya, kekayaannya kelewatan. Sebaliknya bila miskin, sangat keterlalauan. Menelusuri sejumlah kota hingga distrik di India, saya memperoleh kesan kotanya sembraut, dan begitu akrab dengan kekumuhan. Di dalam kota sekelas New Delhi saja. Di pelbagai sudut mata memandang, saya menemukan kesan kumuh.

Ini mungkin karena memang kebijakan pemerintahnya mengharamkan adanya pergusuran. Sebagai orang yang berasal dari 'pelosok', penilaian saya , Jakarta masih jauh lebih berkelas. Salah satu ukurannya, di India, sangat jarang saya melihat mobil mewah dan mulus. Kalaupun ada mobil mahal yang berseliweran, pada bodinya penuh goresan, bahkan terdapat bekas kalau mobil itu pernah diserempet.

Lalu kemana mobil mulus dan mewah yang banyak saya saksikan di film bollywood itu? Mungkinkah hanya menjadi barang pajangan di showroom atau hanya menjadi penghuni garasi? atau memang hanya dipakai sebagai asesoris di film-film entahlah. India memang negeri impian. Setidaknya negeri impianku. Yang selalu menggoda dan membawa saya ke mimpi-mimpi tentang gemerlapnya dunia keartisan dan perfileman di India.

Betapapun, semua ini tak mengurangi kekagumanku terhadap hal yang berbau India. Masyarakat yang bisa melupakan gengsi produk impor dan bangga dengan produk lokalnya sendiri. Perjalanan saya ke India, memang belum cukup bisa menyelami keragaman kehidupan di India. Tapi setidaknya, bisa sedikit menjadi kesan berarti buat saya.

Sebagian kesan inilah yang saya ungkapkan kepada Dubes RI di India Andi Ghalib. Dalam perbincangan saya dengan beliau, saat menjamu tamu dari DPR RI, mantan Jaksa Agung di era Presiden Habbie itu, menanyakan kesan-kesan yang saya saksikan selama berada di India.

Puang-- demikian panggilan hormat saya kepada beliau, kadang tertawa terbahak-bahak bila mendengar saya bercerita tentang sisi kehidupan yang saya saksikan. Namun terkadang dia seolah merenung, ketika menceritakan pengalaman saya bertablig dengan mendatangi puluhan masjid dan distrik di wilayah India bagian selatan.

Kalau saja, bukan persoalan visa saya yang sudah mau mati. Mungkin saya masih ingin berkelana di India, Banyak obyek wisata yang terkenal di India, belum sempat saya kunjungi. Pusat industri film bollywood, juga belum kesampaian. Dan satu lagi saya belum bertemu artis film Amitha Bachan yang sangat saya idolakan.

Banyak agenda yang telah rapi tersusun sebelum berangkat, ternyata tidak bisa terpenuhi, karena perjalanan wisata itu berubah menjadi perjalanan wisata religi. Manusia memang hanya bisa berencana, tapi tuhan punya kuasa mengabulkan atau tidak rencana itu

sumber : LUWURAYA.COM

Share on Google Plus

About Rizal Palangiran

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

5 komentar:

  1. Terima kasih nih sudah ikut menyebarkan cerita dg Saleh... Tp alangkah bijaknya jika turut menyertakan sumber tulisan agar kita sama-sama menghargai karya seseorang. Bravo.....

    BalasHapus
  2. @LUWURAYA: sebenarnya waktu bagian pertama sampai ketiga diposting, sumbernya sudah dicantunkan. mungkin waktu diedit utk nambah bagian ketiga, sumbernya jadi hilang. thanks sdh diingatkan :)

    BalasHapus
  3. Alhamdulillah , Bp sudah sampai ke India , sama yang Bapak alami dengan saya hanya saja tujuan kita berbeda . Saya mencari anak kakek saya disana Alhamdulillah saya ketemu

    BalasHapus
  4. Cuma mo nanya ... modal berapakah kesana? ... trus pulangnya gimana? khan perginya cari tiket yang promo ... sungguh perjalanan yang nekat ... klo aku sih nggak berani don ... apalagi nggak bisa bahasa india ...

    BalasHapus

WHAT IS YOUR OPINION?