APAKAH LELAKI SETARA DENGAN WANITA ?

MUSLIMAH

Apakah lelaki dapat setara dengan wanita, atau wanita harus setara dengan lelaki? itu pertanyaan tidak setara. Sakinah, mawaddah dan rahmah wacana misteri kesetaraan. Bisa terwujud bisa tidak. Ketenteraman, cinta, kasih sayang akan lahir jika suami-isteri dapat mewujudkan misteri kesetaraan menjadi kesetaraan nyata, sebagaimana kehendak Allah SWT. Sesuatu yang abstrak. Menuntut kesetaraan dari yang tidak setara, itulah ketidaksetaraan. Menuntut ketidaksetaraan dari yang setara, itu pun ketidaksetaraan. Menyesuaikan ketidaksetaraan kepada ketidaksetaraan, itulah kesetaraan. Membuat kesetaraan menjadi kesetaraan, itulah kesetaraan.

Jadi kesetaraan bukan seperti menghitung dua kali dua, empat, atau mengukur panjang kali lebar, bujur sangkar. Manusia tak mampu saling mengukur kapasitas. Manusia dikodratkan menjadi yang diukur, bukan yang mengukur. Yang disetarakan, bukan yang menyetarakan. Secara fisik, lelaki dengan lelaki saja terlalu banyak ketidak setaraannya. Dari 7.5 milyar manusia di dunia, 3 milyar lelaki. Wakhtilaafu alwaanihim wa alsinatihim, wajahnya tak ada yang setara, warna kulitnya tak ada yang setara, tinggi badannya tak ada yang setara dan bahasanya tak ada yang setara. Andaikata ada yang setara, maka terjadilah ketidaksetaraan untuk mengenal  identitas, karena semua lelaki wajahnya sama setara, semua lelaki warna kulitnya sama setara, semua lelaki tinggi badannya sama setara, dan itu berarti telah menumpuk ketidaksetaraan. Karena akan merepotkan polisi mencari buronan, guru repot mengenali murid, kepala kantor repot mengurus karyawan. Istri susah mengenal suami.


Apalagi lelaki banding wanita, lebih banyak ketidaksetaraannya. Namun, apakah ketidak setaraan itu suatu keburukan bagi manusia? Apakah ketidak setaraan itu betul-betul ketidaksetaraan yang harus dinafikan dan disesalkan? Apakah ketidak setaraan bersifat biologis yang memang sudah dari sananya, itu, mengurangi harkat dan derjat kemualiaan manusia. Bukankah, ketidak setaraan bagi manusia, tidak mengapa, asal berupa kesetaraan bagi Allah. Jangan sampai setara menurut manusia ternyata tidak setara bagi Allah. Lagi pula, kalau itu dianggap ketidaksetaraan, kenapa Allah mengatakan manusia sebagai ‘fii ahsani taqwiim’ (dalam bentuk paling sempurna atau paling setara)?


Jadi bentuk lelaki sudah paling sempurna, demikian juga bentuk jasad wanita sudah paling sempurna. Karenanya, hak-kewajiban lelaki disesuaikan dengan biologisnya, hak-kewajiban perempuan juga begitu.Seorang lelaki menjadi lelaki adalah yang terbaik untuk dirinya. Seorang wanita menjadi wanita adalah yang terbaik untuk dirinya. Kurang apa lagi? Suami kepala rumah tangga, tanggungjawab,  mengayomi, melindungi dan memenuhi keperluan. Kapan? Jika pasangan memahami hak dan kewajiban. Itulah kesetaraan.


Secara zohir saja, fisiknya beda. Lelaki yang menonjol bagian bawahnya, wanita yang menonjol bagian atasnya. Namun, ketidak setaraan fisik, kodrat alamiah, sifat-sifat khusus--antara suami-isteri--apabila dapat memenuhi perintah Allah dan Rasul-Nya, itulah kesetaraan. Gender tak mungkin setara, tapi keharmonisan antara dua jenis gender yang berbeda, itulah kesetaraan. Apa Kewajiban utama istri? Apa Kewajiban utama suami? Kalau saling memahami dan saling isi, itu namanya kesetaraan.


Bukan menurut undang-undang manusia, tapi perintah Allah dan rasul-Nya.Adapun undang-undang manusia hanya bersifat memfasilitasi agar seluruh perintah Allah dan sunnah Nabi-Nya dapat diamalkan dengan baik,  menaati dan melayani suami. Menyayang dan membimbing isteri.


Apalagi, kalau wanita mau disetarakan dengan lelaki, itu lebih tidak setara. Feminin kok mau jadi maskulin. Atau, maskulin mau jadi feminin. Ujung-ujungnya operasi kelamin. Atau berpura-pura mengganti kelamin. Itu namanya pemalsuan kodrat, lelaki keperempuan-perempuanan, perempuan kelelaki-lelakian. Maka sempurnalah ketidaksetaraan. Makin tak setara karena  menyesali atau menolak kodrat. Yang menolak atau menyesali kodrat indikator kekufuran dan ketidakbersyukuran. Lelaki disetarakan dengan perempuan malah makin tak setara. Perempuan haid, hamil, melahirkan, nifas dan menyusui. Lalu ada masa iddah dan ada cuti ibadah.
Apa lelaki agar dikatakan setara lalu minta diberi haid, hamil, melahirkan, nifas dan menyusui. Kalau wanita ada masa iddah ada cuti ibadah, agar disebut setara lelaki juga minta masa iddah? Tiap bulan perempuan dapat cuti ibadah seminggu, salatnya tak perlu diqodho (diganti). Lelaki tak ada cuti ibadah. Lalu mau disetarakan, agar laki-laki pakai masa iddah juga. Bagaimana cara menghitungnya dan bagaimana jadinya,  lelaki kan tidak haidh ? Apa lelaki harus dibikin haid dulu. Dan lelaki disuruh hamil dulu ? Gila… !


Kalau kesetaraan gender dijadikan undang-undang, akan semakin menjadi-jadi lah ketidaksetaraan. Ketidaksetaraan yang didukung dan dilindungi undang-undang.Semakin banyak lah orang menukar alat kelamin. Semakin banyak lelaki yang keperempuan-perempuanan, semakin banyak perempuan kelelaki-lelakian. Semakin banyak kawin sejenis, semakin banyak manusia bersifat hewani. Kakak beradik kawin sejenis di rumah sendiri. Semakin banyak turun azab dan bencana dan semakin hancurlah suatu bangsa.
Manusia ada dan hidup di dunia karena takdir. Bukti;  nasibnya, rezekinya, jodoh/keturunannya dan ajal/kematiannya, sudah takdir. Cuma, Allah merahasiakan itu dalam prosesnya, untuk menguji manusia. Dan karena itu diperintahkan berusaha untuk mendapat yang halal dan baik. Jual beli tidak kurangi timbangan, tidak riba, tidak riswah, tidak mencuri. Hubungan lelaki-wanita tidak terlepas bebas, tapi terbatas awas. Berkumpul harus dilandasi pernikahan. Dus,  harus berusaha untuk kehidupan akhirat. Diperintahkan untuk beriman dan mengusahakan keimanan. ‘…Fatazawwaduu, fainna khoirozzaadi attaqwa..’ (berbekallah kamu, dan sebaik-baik bekal adalah takwa).


Dengan kata lain, memperbanyak bekal akhirat. Untuk dunia, empat perkara sudah ditetapkan sejak empat bulan dalam kandungan. Sedangkan takdir, kuasa Allah yang tak ada campur tangan siapapun. Tidak minta jadi manusia, tapi jadi manusia. Tidak minta jadi orang kaya, tapi jadi orang kaya. Tidak minta jadi orang miskin, tapi jadi orang miskin. ‘…Watuzillu mantasyaa’ watu’izzu mantasyaa’ biyadikal khair..’.(memuliakan yang Engkau kehendaki dan menghinakan yang Engkau kehendaki, dengan kuasa-Mu sendiri).


Hewan dan seluruh makhluk ada dan berada karena takdir. Bukan karena kemauan sendiri. Seorang anak lahir bukan kehendaknya atau kehendak ayah-ibunya, tapi karena takdir (ketentuan) Allah. Seorang lelaki bukan karena ingin menjadi lelaki, tapi ikut takdir.Wanita ? Sama saja. Orang Arab jadi arab bukan karena ingin jadi arab, tapi ia ditakdirkan jadi arab. Orang ajam sama saja. Kenapa tak dijadikan arab semua, atau ajam semua, atau kulit putih semua, atau kulit hitam semua. Ternyata ada maksud Allah yang lebih besar, ‘…lita’aarofuu..’ (agar mereka saling mengenal). Tapi saling mengenal itu bukan maksud, hanya keperluan. Sedang maksudnya yang lebih besar, lebih mulia dan lebih kekal abadi, itulah ketakwaan.’… Inna akromakum ‘inda Allahi atqookum..’ (sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah di antara kamu, yang paling takwa). Ternyata, status gender, tatus sosial, kaya- miskin bukan syarat kemuliaan, kan ? Syarat kemuliaan adalah takwa. Taat perintah Allah, ikut cara Rasulullah saw.Berlandas iman yang sempurna.


Abdurrahman Lubis ,Pemerhati masalah keislaman.                             
Share on Google Plus

About Rizal Palangiran

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar:

Posting Komentar

WHAT IS YOUR OPINION?